Perubahan Iklim Menjadi Krisis Iklim

- Editor

Minggu, 7 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Abrasi yang terjadi menyisakan sedikit endapan pasir dengan tanaman mangrove yang mati di pesisir utara Pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/3/2019). Sekitar lima tahun lalu kawasan tersebut merupakan kawasan pantai yang banyak dikunjungi warga. Laju abrasi dengan berbagai faktor pemicunya seperti perubahan iklim, rusaknya kawasan mangrove membuat garis pantai menghilang.

 Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
29-03-2019

Abrasi yang terjadi menyisakan sedikit endapan pasir dengan tanaman mangrove yang mati di pesisir utara Pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/3/2019). Sekitar lima tahun lalu kawasan tersebut merupakan kawasan pantai yang banyak dikunjungi warga. Laju abrasi dengan berbagai faktor pemicunya seperti perubahan iklim, rusaknya kawasan mangrove membuat garis pantai menghilang. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa 29-03-2019

CATATAN IPTEK
Bencana siklon tropis menjadi bukti bahwa perubahan iklim agar dipandang sebagai krisis iklim untuk meningkatkan perhatian dan keseriusan kita. Dampak perubahan iklim pada bencana dan krisis kian nyata.

Nusa Tenggara Timur yang lebih banyak dikisahkan sebagai daerah kering dan kekurangan air, tiba-tiba dilanda banjir hebat dan longsor pada Minggu (4/4/2021). Bencana yang dipicu oleh munculnya siklon tropis Seroja di sekitar Pulau Rote ini melanda 11 kabupaten dan kota di Pulau Timor, Lembata, Rote, Sabu Raijua, Sumbawa, hingga Adonara.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Selasa (6/4), korban jiwa mencapai 84 orang dan hilang 103 orang. Melihat dampaknya, bencana hidrometeorologi kali ini memiliki sebaran paling luas dan paling mematikan dalam tiga dekade terakhir di NTT.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebelumnya, 22 orang tewas karena banjir di Sumba Timur pada November 1991. Pada Mei 2000, banjir melanda Belu menewaskan 126 orang.

Banjir juga pernah melanda Timor Tengah Selatan pada 3 November 2010 yang menewaskan 31 orang dan 7 hilang. Namun, banjir-banjir di masa lalu ini cenderung sporadis di satu wilayah atau pulau.

Bencana kali ini lebih menyerupai banjir dan longsor pada 2 April 2003 yang menewaskan 30 orang di Ende, Larantuka, Ngada, dan Sikka. Sama seperti kali ini, banjir pada tahun 2003 itu juga dipicu oleh siklon tropis Inigo yang terbentuk di Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor.

Pertumbuhan siklon di dekat Indonesia, seperti Seroja dan Inigo ini merupakan anomali karena siklon tropis biasanya tidak tumbuh atau melintas wilayah khatulistiwa. Namun, studi Erwin Mulyana dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2018 menunjukkan, anomali itu telah beberapa kali terjadi.

Di antara anomali itu, siklon Cempaka termasuk paling merusak. Awalnya bibit siklon ini muncul di Samudra Hindia, sekitar 240 kilometer (km) selatan Cilacap pada pada Minggu (26/11/2017). Sehari kemudian pusaran angin menguat sambil bergerak mendekat Pulau Jawa.

Setelah terbentuk menjadi siklon tropis Cempaka, pusaran angin raksasa ini ternyata terus mendekati daratan Jawa. Hingga Selasa, pukul 19.00, siklon ini mencapai titik terdekat dengan daratan, 50 km sebelah timur laut Pacitan, Jawa Timur. Setelah itu, baru perlahan siklon bergerak menjauhi wilayah Indonesia dengan meninggalkan kehancuran dan kematian puluhan orang.

Selain anomali siklon, lima tahun terakhir kita juga menyaksikan pecahnya rekor hujan harian tertinggi di sejumlah wilayah. Misalnya, hujan harian 384,1 milimeter (mm) pada 17 Juni 2016 di Minangkabau merupakan tertinggi sepanjang sejarah. Berikutnya, rekor hujan di Yogyakarta pecah pada 29 November 2017 dengan 364,1 mm; Kalimantan Barat pada 7 Desember 2019 sebesar 327,5 mm; Kalimantan Selatan 14 Februari 2021 sebesar 270 mm; dan baru-baru ini di Kupang sebesar 332,1 mm terekam pada 5 April 2021.

Krisis iklim
Menguatnya siklon dan ekstremitas cuaca merupakan konsekuensi perubahan iklim yang semakin nyata. Lebih banyak perubahan yang sebenarnya telah terjadi, tetapi berlangsung perlahan sehingga kita tidak menyadarinya, di antaranya meningkatnya suhu global 0,08 derajat celsius per dekade dan kenaikan muka air laut 4,4 mm per tahun.

Dalam skala umur kita, perubahan ini mungkin terlihat kecil. Namun jika kita ukur sejak 1880-an, suhu Bumi telah bertambah lebih dari satu derajat celcius dan muka air laut telah naik sekitar 24 centimeter, dengan tren semakin cepat.

Peningkatan suhu telah mendekatkan kita pada titik kritis Bumi, yaitu nilai ambang di mana batas ekologi, teknis, ekonomi, dan spasial atau yang dapat diterima secara sosial. Begitu titik kritis ini terlampaui, daya dukung Bumi untuk menyangga kehidupan bakal melemah. Bumi mungkin masih eksis, tetapi manusia pasti bakal sulit bertahan.

Saat ini saja, perubahan itu telah memicu banyak hal. Misalnya dari sektor pangan, kajian peneliti dari University of Maryland dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change pada Kamis (1/4) menunjukkan, produktivitas pertanian global turun 21 persen sejak 1960-an akibat perubahan iklim. Temuan ini menjadi alarm besarnya tantangan pangan ke depan.

Untuk menyadarkan kita gentingnya situasi, The Guardian sejak 2019 telah mengusulkan untuk mengganti istilah perubahan iklim (climate change) dengan darurat iklim (climate emergency) atau krisis iklim (climate crisis). Menurut mereka, perubahan iklim tidak lagi mencerminkan keseriusan situasi global.

Mereka juga menyarankan menggunakan istilah perusakan iklim untuk menegaskan adanya ulah kita dalam perubahan yang terjadi. Misalnya, meningkatnya intensitas siklon tropis karena perusakan iklim.

Perubahan ini memang tidak bisa dipandang sebagai mengganti istilah belaka. Namun harus membangunkan kesadaran bahwa kerusakan yang kita lakukan terhadap biosfer atau ruang hidup di Bumi ini sudah mendekati ambang. Karenanya, perlu perubahan segera, dalam hal mitigasi maupun adaptasi.

Mitigasi yang bisa dilakukan di antaranya mencegah lebih lanjut kerusakan dengan menekan seminimal mungkin emisi karbon. Sedangkan adaptasi menuntut kita menyesuaikan dengan perubahan lingkungan karena perusakan yang telanjur terjadi, termasuk dengan potensi semakin banyaknya hujan ekstrem dan berkurangnya intensitas hujan tahunan.

Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 7 April 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB