Sumber daya manusia disingkat SDM kita, bukanlah sesuatu yang bisa diadakan dan ditingkatkan dengan segera. Seketika tersadar kenyataan ini tatkala mengantar teman yang mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit baru, mewah, di pinggiran Jakarta yang digembar-gemborkan sebagai kawasan masa depan.
Keprigelan paramedis membuat kami ragu. Setelah pasien terkatung-katung lama, dokter muncul. Keputusan dokter mengagetkan: gegar otak, harus dioperasi otaknya.
Keluarga dan kami semua tidak menyangka seburuk itu situasinya. Belum lagi biayanya. Di tengah kepanikan, sosok yang kami tuakan dan hormati di Bogor memberi nasihat: bawa pulang saja. Entah karena penanganan sosok tadi, atau keajaiban Yang Kuasa, rekan tadi membaik keadaannya dalam dua hari. Hari ketiga dia jalan-jalan di gang lingkungan kami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Andai operasi dilakukan dan batok kepalanya dibuka, sampai catatan ini dibikin jangan-jangan dia masih terbaring di rumah sakit. Sungguh kami harus belajar bersyukur, bukan memendam geram: dokter tadi yang harus dioperasi otaknya.
Ah, kalau diamati, berapa banyak rumah sakit baru, umumnya mewah, bermunculan terutama di kawasan-kawasan baru? Kesehatan, sebagaimana pendidikan, sekarang menjadi komoditi mahal. Pertanyaannya—selain di mana negara—dari mana mereka mendapatkan tenaga medis termasuk dokter? Saya pernah ke rumah sakit mata, yang gedungnya baru, magrong-magrong. Disuruh mendaftar terlebih dahulu. Dokter akan ada tiga hari kemudian….
Dokter jelas tidak bisa dicetak dengan seketika. Toh, pada bidang pekerjaan yang kecakapannya diandaikan bisa didapat lewat training singkat, keadaannya sami mawon. Itu bisa kita lihat di restoran maupun kafe-kafe yang menjamur seiring bermunculannya mal dan hotel baru.
Saya mengalami berhadapan dengan waiter yang menjawab pertanyaan mengenai spesifikasi menu yang disodorkannya dengan serampangan. Ngawur. Ketika saya memesan kentang goreng yang saya ucapkan sebagai french fries, dia tanya, medium atau well done. Saya angkat kaki. Tak terbayang makan kentang setengah matang.
Bidang yang berhubungan dengan konstruksi atau bangunan tak kalah parah. Siapa pun yang pernah berhadapan dengan tukang, pasti pusing. Kalau tak tahan bisa muntah darah. Dunia pertukangan bangunan di Indonesia adalah dunia yang paling tidak profesional. Ia berevolusi dari sistem kerja para tukang, yang di Jawa didasarkan pada ke-kober-an mereka.
”Kober” artinya ketersediaan waktu, availability, bukan capability alias kecakapan. Seorang tukang tidak akan menjawab secara spesifik keahliannya. Sebaliknya, apa-apa bisa. Kayu? Bisa. Listrik? Bisa. Air atau plumbing? Bisa. Lantai? Bisa. Semua bisa. Bisa di sini artinya punya ketersediaan waktu, kober. Basisnya amatirisme, bukan profesionalisme.
Begitu mereka mengerjakan, amburadul. Keadaan seperti itu bukan hanya terjadi di bidang-bidang pekerjaan yang bersifat teknis, tetapi sampai ke lembaga-lembaga yang bersifat intelektual.
Kini marak perdagangan paket-paket pembenahan organisasi perusahaan berikut peningkatan SDM. Teman saya, yang seluruh usahanya gagal, kini mendirikan lembaga pelatihan manajemen dan motivasi. Kliennya banyak.
Ini memang musimnya motivasi-motivasian. Mungkin karena aspirasi mulya meningkatkan kemampuan SDM itu. Salah kaprahnya, lembaga intelektual kadang menyelenggarakan pelatihan bersifat teknis, seperti layaknya sedang membenahi pabrik sepatu.
Sejumlah perusahaan kemudian juga mendandani karyawannya dengan seragam. Semboyan-semboyan yang berhubungan dengan etos kerja disebarkan.
Apakah dengan itu manusia berubah?
Belum tentu. Para anggota DPR juga memiliki dress code busana formal, bagus, jam tangan, cincin, semua serba mahal. Hanya saja, kita semua tahu, penampilan yang perlente dan gemebyar tersebut kemungkinan dianggap perlu, untuk membungkus isi yang busuk.
Oleh: Bre Redana
Sumber: Kompas, 28 September 2014