Sains Genetika untuk Pendidikan Sejarah

- Editor

Sabtu, 29 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penelitian sains genetika tentang migrasi nenek moyang Indonesia mengubah pemahaman sejarah. Pendidikan sejarah di sekolah dan kampus harus cepat beradaptasi dengan perkembangan pesat sains genetika. Saat ini, pelajaran sejarah masih menggunakan teori yang sudah banyak terkoreksi oleh penelitian genetika.

Hal itu terungkap dalam seminar ”Asal-usul Genetika Nenek Moyang Bangsa Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sejarah” yang dilaksanakan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan (Unimed), di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (27/4/2019).

Para pembicara adalah Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo, Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara Ketut Wiradnyana, Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Fauziyah Harahap, dan pengampu mata kuliah pendidikan sejarah Unimed, Ichwan Azhari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ichwan mengatakan, pada Kurikulum 2013 yang digunakan hingga sekarang, pembelajaran tentang migrasi nenek moyang Indonesia masih berpedoman pada teori migrasi Melayu Tua dan Melayu Muda. Teori itu menyebut, Nusantara pertama kali dihuni pada 3.000-4.000 tahun lalu oleh Melayu Tua. Setelah itu, diikuti gelombang migrasi kedua Melayu Muda.

”Padahal, ilmu genetika membuktikan, Nusantara telah dihuni nenek moyang Papua sejak 50.000 tahun lalu,” ujar Ichwan.

Teori tersebut juga menyatakan, Melayu Tua di Sumatera antara lain suku Batak Toba, Batak Karo, dan Nias. Suku Nias disebut awalnya menghuni Pulau Sumatera, lalu menyeberang ke Kepulauan Nias dan Mentawai. Ternyata, hasil penelitian genetika menunjukkan, DNA suku Nias berbeda dengan orang Sumatera. DNA orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan orang Taiwan.

Ichwan mengatakan, pendidikan sejarah terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru. Ilmu sejarah juga ditopang berbagai ilmu, seperti geologi, arkeologi, bahasa, dan kebudayaan. ”Karena itu, ilmu genetika seharusnya mudah diadaptasi menjadi penopang pendidikan sejarah ke depan,” ujarnya.

Menurut Herawati, sains genetika sangat penting untuk menopang pendidikan sejarah di sekolah dan kampus. Sains genetika membuka perspektif lebih luas tentang sejarah migrasi nenek moyang Indonesia. ”Penelitian genetika menunjukkan keragaman genetika di Nusantara. Ada banyak gelombang migrasi nenek moyang Indonesia,” ucapnya.

Wiradnyana mengatakan, berdasarkan penelitian arkeologi, paling tidak ada lima gelombang migrasi manusia modern di Sumatera. (NSA)

Sumber: Kompas, 28 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB