Dilihat dari asalnya, sains dan teknologi di Indonesia sampai menjelang Perang Dunia II dapat dikatakan mempunyai singularitas yang unik, yakni dari Belanda untuk keperluan metropolis. Namun dilihat dari sejarah pembentukan dan pengembangannya, sains dan teknologi di masa itu merupakan adonan dari setidaknya dua buah keinginan: sains murni untuk pengembangan ilmu dan sains terapan untuk teknologi sederhana yang mendukung kebutuhan metropolis dan pembengkakan ekonomi.
Dalam periode tersebut sumbangan iptek dari ”pribumi” masih marginal, walaupun Indonesia sudah terkenal sebagai penghasil sains terutama, dan teknologi yang canggih. Pendirian Technische Hogeschool di Bandung (1920) dan Sekolah Kedokteran di Jakarta pada dekade sebelumnya adalah pembuka mata terhadap adanya sains dan teknologi di metropolis, Eropa. Namun status sains sebagai usaha sistematik untuk merambah dan merunut rahasia alam di kala itu masih merupakan lingkup pekerjaan para kolonialis. Baru sedikit orang pribumi memperoleh hak luhur dan keuntungan usaha luhur ilmiah.
Keadaan seperti itu tidak mengingkari pelarikan sejarah sains secara umumnya di negara yang sekarang disebut negara berkembang. Dalam perspektif sejarah baru, tidak hanya dilihat iptek di dalam proses kolonialisasi, tetapi iptek sebagai sejarah kolonialisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang dimaksud di sini ialah pengetahuan dan kekuasaan sebenarnya merupakan dua sisi sebuah mata uang. Pemberian kehormatan dan kesadaran untuk meneliti masih merupakan privilege segolongan kecil yang telah terimbas oleh falsafah hedonist-liberitarian.
Baru pada masa kemerdekaan, tumbuh banyak universitas dengan krida meneliti dan menerapkan sains. Namun keadaan ekonomi, dan terutama, status visonary pada saat itu, penelitian sebagai kelembagaan baru sampai fase embrionik. Tentu bagi beberapa cabang ilmu pengetahuan yang telah mengakar selalu dapat ikut menambah informasi kepada the existing body of knowledge. Kebanyakan cabang lain masih harus bergulat memperkenalkan kehadirannya di Bumi Nusantara ini sambil menerima tamparan atau setidaknya tudingan sebagai ”ulah yang tidak bermanfaat”. Padahal jalan yang telah dititi oleh para peneliti masih berada di ujung jalan; dan mereka perlu memperoleh dorongan setidaknya untuk dapat mengembangkan laboratorium kalibrasi, laboratorium testing,. Laboratorium pengembangan adalah impian para ilmuwan iptek.
TIDAK kalah pentingnya ialah keadaan masyarakat yang tidak hanya kondusif tetapi juga mendukung untuk mengerti penelitian sebagai aset nasional. Hal itu hanya dapat tumbuh langgeng jika para ilmuwan juga bersedia mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada ”pers” dan masyarakat. Banyak cara, tergantung dari bidang keilmuan, untuk memperlihatkan daya guna pekerjaan itu kepada masyarakat. Salah satu di antaranya ialah dengan publikasi ilmiah, sebagai pertanggungjawaban budaya.
Karya tulis ilmiah hendaknya dipacu agar forum pertukaran gagasan profesional dapat terbentuk. Cara itu juga merupakan cara menyebarkan dan mengembangkan ide. Sebagaimana disinggung secara singkat, karya tulis ilmiah juga merupakan ”deklarasi”. Karena itu harus dilihat sebagai pertanggungjawaban hasil kerja.(kepada pemberi dana yakni rakyat, Pemerintah ataupun organisasi sponsor ilmiah lain).
Oleh karena sifatnya, karya tulis ilmiah merupakan deklarasi yang terbuka untuk kritik. Penulis yang dapat melepaskan diri dari kritik akan tumbuh sebagai sosok yang dipercaya tentu saja dengan mempertanggungjawabkan secara elegan dan ilmiah dan tidak mencampuradukkan masalah pribadi dengan substansinya. Karya tulis ilmiah adalah satu pemilikan intelektual yang harus dihargai dan dilindungi.
Pada akhirnya, pembicaraan ini harus menguraikan makna kerja sama sebagai sarana membudidayakan tanggung jawab ilmiah dan mencari terobosan strategik. Hasil kerja terbaik putra bangsa harus dapat dianggap sebagai aset budaya, tidak kalah keunggulannya dari pemasok medali emas Olimpiade atau olahraga lain.
Lebih dari itu, secara sosiologis, kerja sama (ilmiah) merupakan sarana mobilisasi untuk memacu diri ke front depan. Dan tujuan riil ialah memanfaatkan kepercayaan dan modal intelektual maupun fisik, regional, yang dipunyai oleh suatu lembaga atau negara. Hasil samping yang bisa diperoleh ialah penginderaan talent (bakat) dan sumber daya manusia.
Lagi pula kerja sama jangan hendaknya hanya dipandang sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan ekonomi sesaat. Lebih utama kalau kita daya gunakan untuk membangun kepercayaan institusional dan personal. Kepercayaan seperti ini lebih langgeng sifatnya.
Bambang Hidayat, Observatorium Bosscha, ITB dan Jurusan Astronomi, ITB