Perguruan tinggi di Indonesia menganut tridarma pendidikan, meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Karena itu, perguruan tinggi didorong berinovasi untuk mengatur kiprah para dosen mulai dari yang muda hingga guru besar untuk menegakkan tridarma tersebut.
Dalam hal ini, diutamakan riset yang masih tertinggal, sesuai keunggulan setiap perguruan tinggi.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti, di Jakarta, Senin (15/1), mengatakan, pemimpin perguruan tinggi dapat mengatur tridarma dengan inovasi sehingga tidak terjebak hanya di pengajaran. Penguatan riset harus dilakukan dengan mengatur pembagian beban kerja dosen dengan memetakan minat mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Karier di perguruan tinggi bukan hanya di struktural, melainkan juga sebagai pimpinan akademik di bidang masing- masing lewat pusat riset yang dikembangkan sesuai dengan keunggulan perguruan tinggi,” kata Ghufron.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti.
Wakil Forum Rektor 2017 yang juga Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mengatakan, saat ini beban pekerjaan dosen masih terlalu bertumpu di pengajaran (darma pendidikan), bahkan tidak jarang mengajar di sejumlah kampus untuk menutupi kebutuhan pokok. Akhirnya, darma riset menjadi kedodoran.
Jumlah SKS dikurangi
Menurut Asep, produktivitas riset dari dosen, bahkan guru besar, harus dapat ditumbuhkan. Untuk itu, sejumlah kebijakan diterapkan, seperti dikuranginya jumlah satuan kredit semester (SKS) S-1 menjadi 130 dari sekarang yang sampai 144 SKS. Dosen mengajar maksimum 9 SKS per semester, sementara sisanya wajib untuk riset dan penulisan karya ilmiah atau paper.
Mendorong budaya riset di kalangan dosen masih menjadi tantangan. Universitas Al Azhar Indonesia mendongkrak produktivitas riset antara lain dengan menyediakan insentif riset bagi para dosen. Selain itu, dosen wajib menulis paper berbasis riset untuk ikut jurnal atau seminar terindeks. Setiap semester ada workshop untuk menulis research paper dengan syarat peserta wajib membawa drafnya. Ada internal paper reviewer sebelum dikirim ke jurnal, termasuk pembahasaan.
Kemudian, para dosen wajib mengajak riset sampai ke penulisan dari program studi yang berbeda, dari universitas lain, dan bahkan dari luar negeri untuk meningkatkan keterbukaan wawasan sains dan keterhubungan intelektual. Hal ini akan menggairahkan para dosen untuk riset dan publikasi.
Rektor Institut Teknologi Bandung Kadarsah Suryadi mengatakan, perguruan tinggi tidak cukup hanya menghasilkan profesional yang siap bekerja di dunia usaha dan industri. Perguruan tinggi juga harus mendorong lahirnya peneliti yang semakin dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing bangsa. Selain itu, entrepreneur dan inovator juga harus disiapkan.
”Prinsipnya perguruan tinggi harus ada keseimbangan untuk menghasilkan lulusan yang siap mengisi tumbuhnya lapangan kerja dan juga peneliti. Selain itu, juga dibutuhkan entrepreneur dan inovator yang jumlahnya biasanya sekitar 4 persen dari lulusan,” kata Kadarsah. (ELN)
Sumber: Kompas, 16 Januari 2018