Rumah Kita Bersama

- Editor

Minggu, 16 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mungkin sebagian dari kita bermimpi bisa melanjutkan hidup di Negeri Antariksa Asgardia yang didirikan ilmuwan Rusia kelahiran Azerbaijan, Igor Ashurbeyli (53). Negeri Antariksa Asgardia dibangun dengan konsep filosofis, legal, dan iptek.

Secara filosofis, Asgardia melayani kemanusiaan seluruhnya dan setiap orang tanpa membedakan tingkat kesejahteraan dan kekayaan negara tempat kelahiran mereka.

Asgardia adalah perwujudan dari kondisi noosphere—suatu kondisi perkembangan evolutif yang didominasi oleh kesadaran, pikiran, dan relasi antarpribadi. Asgardia menjadi cermin kemanusiaan di antariksa tanpa ada pemisahan berdasarkan negara, agama, dan kebangsaan. Di Asgardia semua warga adalah ”saudara sebumi” (earthlings).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Esensi Asgardia adalah (menciptakan) perdamaian di luar angkasa, mencegah konflik- konflik yang terjadi di bumi berpindah ke luar angkasa.

Memotret tanggapan sebagian warga bumi terhadap tawaran di atas, memikirkan apakah tawaran Asgardia adalah penipuan menjadi bukan hal yang terpenting. Keinginan lebih dari 100.000 manusia pindah ke negeri antariksa bukan lagi sekadar bahan olok-olok. Keinginan itu merupakan refleksi ketercerabutan manusia dari ke-bumi-annya. Bumi tak lagi dipandang sebagai sebuah rumah bersama (manusia).

Kepentingan manusia untuk bertahan hidup ditempatkan di atas segalanya. Di atas kepentingan bumi. Bumi, sebuah sistem dengan bagian-bagiannya: biosfer, atmosfer, hidrosfer, dan geosfer yang saling berinteraksi dengan suatu cara yang kompleks dan non-linier. Ada yang menyebut ada dua bagian lagi, yaitu cryosphere (bagian es) dan psikosfer (dikaitkan dengan kemanusiaan).

Wakil Presiden Amerika Serikat periode 1993-2001, Al Gore, membawa persoalan lingkungan hidup, keteraniayaan bumi, sampai tahap ancaman terhadap kemanusiaan dalam film dokumenternya yang kedua, An Inconvenient Sequel: Truth to Power, yang diputar pada 28 Juli 2017 di AS. Film itu merupakan kelanjutan film pertamanya, An Inconvenient Truth. Dalam film yang berdurasi 1 jam 38 menit tersebut, Al Gore mengunjungi dan menunjukkan berbagai lokasi yang terdampak perubahan iklim, seperti banjir besar yang merupakan ulangan 90 tahun di Miami, Florida.

Al Gore pun menunjukkan bagaimana bagian es dari Greenland yang berupa es abadi sebagian lokasinya telah berubah menjadi sumur dan aliran sungai. Cerita gletser yang meleleh telah menjadi fakta berulang. Di baliknya ada kisah kematian beruang kutub yang sedang hibernasi akibat longsornya gua-gua.

Juga dimunculkan badai Haiyan yang menghantam Filipina, yaitu Kota Tacloban. Sekitar 6.000 orang meninggal. Bencana lain yang bakal bergulir semakin besar, yaitu gelombang pengungsi. Sebuah studi di Universitas Cornell menyebutkan, pada 2100 sekitar 2 miliar orang atau seperlima populasi dunia akan menjadi pengungsi iklim akibat naiknya permukaan air laut (Kompas, 28/6). Demikian penelitian dari Universitas Cornell di New York, AS, seperti dikutipsciencedaily.com, Senin (26/6).

Di sisi lain, film tersebut memuat optimisme karena lahirnya Perjanjian Paris yang berisi komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, sebagian negara tetap enggan, seperti India.

Penolakan penting muncul dari Presiden AS Donald Trump yang menyatakan, AS akan keluar dari Perjanjian Paris. ”Tidak ada yang bisa menggantikan peran AS (dalam menghadapi perubahan iklim),” ujar Al Gore yang kecewa.

Al Gore dengan tegas menyatakan, perilaku manusia menggunakan bahan bakar fosil penyebab emisi gas rumah kaca telah dan akan menelan lebih banyak korban. Ini bukan lagi soal lingkungan, melainkan merupakan sebuah isu moral. ”(Isu perubahan iklim) Ini adalah persoalan kemanusiaan!” serunya.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “Rumah Kita Bersama”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB