Polusi udara berupa logam berat timbal dan merkuri masih melayang- layang di ruang udara yang dihirup warga di sejumlah lokasi. Di perairan dan tanah, paparan logam berat pun ditemukan. Langkah ini membutuhkan penguatan peraturan dan pengawasan di lapangan yang melibatkan banyak pihak.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Pandangan Lingkungan Hidup 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (15/1), di Jakarta. Diskusi itu disimak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Diskusi itu menghadirkan pembicara, antara lain Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah; Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati; Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan; dan jurnalis harian Kompas, Brigitta Isworo. Pembicara lain adalah Prof Asep Warlan Yusuf dari Universitas Parahyangan dan Sonia Buftheim dari Bali Fokus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nur Hidayati menyatakan, Indonesia agar berani menghentikan perizinan pembuangan limbah ke badan air. Langkah ini dibutuhkan karena Indonesia belum menetapkan beban pencemaran maksimal pada sungai. Contohnya, badan Sungai Citarum jadi tempat pembuangan 2.700 industri sedang atau besar dan 53 persen tak terkelola (Kompas, 4/1).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Kendaraan terjebak kemacetan dari arah Senayan menuju Semanggi di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Kamis (15/6/2017). Selain pemborosan energi, kemacetan juga menjadi salah satu penyumbang utama polusi udara di perkotaan.
Pemulihan membutuhkan penghentian pembuangan beban pencemaran baru. Tanpa langkah ini, pemulihan tak pernah sebanding dengan penambahan pencemaran. Di sisi lain, pencemaran industri merupakan sumber pencemar yang mudah dikontrol karena operasional industri butuh izin dari pemerintah.
Namun, Indonesia belum menetapkan beban pencemaran maksimal. Ini bertujuan menentukan pencemaran logam berat yang tak bisa terurai dan bersifat akumulatif dalam lingkungan dan tubuh.
Pencemaran udara
Terkait pencemaran udara, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin memaparkan kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan. Hasil kajian itu menunjukkan kandungan timbal (Pb) tertinggi di udara di pinggiran Surabaya (0,510 mikrogram per meter kubik) dan kota Surabaya (0,208 µg/m3), serta Serpong (0,266 µg/m3).
”Tingginya kadar Pb di udara ambient ini merupakan petunjuk adanya proses smelter (peleburan logam) yang menggunakan bahan baku Pb di sekitarnya, seperti daur ulang aki bekas,” katanya.
Smelter rumahan ini mengemisikan Pb dengan kadar amat tinggi ke udara, di kisaran 1,5 – 6 µg/m3. Tidak mengherankan jika itu menyebabkan tingginya kadar Pb di dalam darah masyarakat sekitar smelter, terutama anak-anak di kisaran 11-65 mikrogram per desiliter. Itu berarti jauh di atas ambang batas menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 10 µg/dL.
Pada smelter berizin yang berada di Tangerang, Banten, bukan jaminan bebas pencemaran timbal. Emisi timbal dari pabrik bisa terbawa angin sampai radius 20 kilometer.
Untuk itu, baku mutu ambient udara pada logam berat harus diperketat. Selain itu, industri baterai (aki) harus menerapkan extended producer responsibility atau kewajiban menarik kembali produknya agar tak jatuh ke tangan smelter rumahan yang minim pengelolaan emisi.
Hal itu terbukti di lapangan dengan penemuan cacat fisik, cacat mental, down syndrome, tremor, penurunan intelegensi, hingga kematian.
Pencemaran tanah
Kajian Bali Fokus 2017, paparan logam merkuri pada tanah terjadi pada aktivitas pertambangan emas skala kecil di Kasepuhan Cisitu (Jawa Barat), Pongkor (Bogor, Jawa Barat), Sekotong (Lombok Barat), dan Bombana (Sulawesi Tenggara). Cemaran merkuri pada beras di Cisitu adalah yang tertinggi, 1.800 bagian per miliar (part per billion/ppb) atau jauh di atas standar aman kandungan merkuri dalam beras dari FAO (30 ppb) dan Standar Nasional Indonesia (50 ppb).
Hal itu disebabkan keunikan sifat merkuri bersifat anorganik tetapi berubah jadi metilmerkuri bersifat organik saat berada di tanah dan air. Metilmerkuri bisa terserap tanaman, termasuk beras dan sayuran.
Menghadapi berbagai tantangan ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengapresiasi berbagai masukan. ”Hanya dengan cara begini kita bisa menyelesaikan masalah lingkungan,” katanya.
Ia memastikan akan membedah berbagai instrumen lingkungan yang dinilai tak efektif dalam mengerem kerusakan dan pencemaran lingkungan. Instrumen analisis mengenai dampak lingkungan terkesan di masyarakat hanya sebagai pelengkap ”cap” dan dokumen copy-paste. (ICH)
Sumber: Kompas, 16 Januari 2018