Ronald A Harris, Tsunami Aceh Mengubah Hidupnya

- Editor

Sabtu, 1 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Prof Ronald A. Harris, Ph.D, geolog dari Universitas Brigham Young, AS

Kompas/Ahmad Arif (AIK)
14-07-2017

untuk tulisan sosok

Prof Ronald A. Harris, Ph.D, geolog dari Universitas Brigham Young, AS Kompas/Ahmad Arif (AIK) 14-07-2017 untuk tulisan sosok

Ronald A Harris (60) tengah menikmati libur Natal di rumah keluarga di Provo, Negara Bagian Utah, Amerika Serikat, saat menerima kabar dari ibu mertuanya tentang gempa dan tsunami besar di Aceh pada 26 Desember 2004 pagi tersebut. Tsunami Aceh telah mengubah cara pandangnya tentang ilmu geologi dan mengubah jalan hidupnya.

Ron ternyata benar terjadi… gempa besar di Sumatera, Indonesia, seperti yang kamu khawatirkan,” seru mertua melalui telepon.

Segera saja profesor geologi dari Universitas Brigham Young yang biasa dipanggil dengan Ron atau Harris ini mencari informasi di televisi. Benar saja, gempa berkekuatan lebih dari M 9,2 mengguncang bawah laut Samudra Hindia. Gempa itu memicu tsunami yang menghancurkan Aceh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Saya tak akan pernah lupa momen itu. Tiba-tiba saya merasakan tangan ini berlumuran darah,” kisah Harris, ditemui di sela-sela survei untuk mencari jejak paleotsunami atau tsunami tua di Bali, pertengahan Juli 2017 lalu.

“Sebagai ilmuwan saya merasa gagal menyampaikan peringatan yang seharusnya bisa menyelamatkan banyak nyawa.”

Pada tahun 2002 atau dua tahun sebelum bencana itu, Harris sebenarnya telah memublikasikan paper ilmiah tentang potensi gempa raksasa yang bisa mengancam wilayah barat Sumatera. Paper yang dipublikasikan di jurnal Universitas Brigham Young ini ditulis bersama mantan muridnya yang juga dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Carolus Prasetyadi.

Dalam paper berjudul”Who’s Next? Assessing vulnerability to geophysical hazards in densely populated regions of Indonesia” disebutkan bahwa zona kegempaan di Indonesia yang paling berbahaya berada di daerah paling padat penduduk di bagian barat Sumatera. Sistem subduksi ini tidak mengalami gempa signifikan (seismic gap) selama 130-150 tahun dan dikhawatirkan bisa melepaskan gempa tiba-tiba dengan kekuatan lebih dari M 8.

Harris dan Prasetyadi juga memublikasikan tulisan ini dalam jurnal ilmiah Fakultas Teknologi Mineral UPN Veteran, selain menulis di koran lokal Yogyakarta. “Kami hanya menyebut bagian barat Sumatera. Tetapi, jika kami melakukan penelitian lebih dalam, mungkin akan ketemu Aceh,” jelas Harris.

Seminggu setelah tsunami Aceh, sejumlah wartawan datang ke kampusnya untuk mewawancarai Harris. Di antara mereka ada yang bertanya, prediksi Harris soal tsunami yang tidak dipedulikan pihak terkait.

Harris langsung menyanggah, “No, no…. Bukan seperti itu. Mereka bukan tidak peduli, melainkan tidak tahu. Ini salah kita, salah saya juga yang tidak cukup memperingatkan.”

Dia lalu meminta wawancara dihentikan karena tak sanggup lagi berkata-kata. Kepedihan dan rasa penyesalan menghantui hingga membuatnya jatuh sakit. “Saya terpukul dan trauma. Sebagai ilmuwan, saya merasa tidak cukup berbuat untuk kemanusiaan,” katanya. “Tsunami Aceh telah mengubah cara pandang saya tentang ilmu geologi, bahkan telah mengubah jalan hidup saya.”

Titik balik
Harris mempelajari geologi Indonesia sejak 30 tahun lalu. Awalnya dia meneliti tumbukan lempeng di Alaska, Amerika Utara, untuk studi pada jenjang master di Universitas Alaska.

Ketika mengambil doktoral di University College London, dia menyadari bahwa Indonesia seperti prototipe Alaska di masa lalu. Pergerakan aktif lempeng di Indonesia saat ini seperti yang terjadi di Alaska 150 juta tahun lalu. Jadi, kalau mau belajar Alaska, harus ke Indonesia.

“Tahun 1987, untuk pertama kali saya ke Indonesia, mendarat di Kupang (Nusa Tenggara Timur) dari Darwin (Australia). Saat itu musim kemarau, suasana panas sekali. Namun, antrean di bandara ternyata panjang dan lama. Tiga jam menunggu saya ambruk, tahu-tahu sadar sudah di rumah sakit. Welcome to Indonesia,” kisah Harris.

Dia tertarik untuk mempelajari pergerakan tektonik aktif Indonesia. “Tak ada negara lain seperti ini. Fokus saya saat itu geologi dan geofisika,” ucapnya.

Sejak tahun 1991 Harris bekerja sebagai geolog di United States Geological Survey (USGS). Saat itulah dia mulai mengumpulkan banyak data sejarah bencana geologi di Indonesia dan menyadari banyaknya penduduk Indonesia yang berada di bawah ancaman gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api.

Hingga pada 1997, dia mendapatkan beasiswa Fulbright untuk meneliti di Indonesia sekaligus menjadi profesor tamu di UPN Pembangunan Veteran Yogyakarta. Harris mulai fokus pada kajian tentang mitigasi bencana alam dan menulis paper dengan tema itu, salah satunya yang kemudian diterbitkan pada tahun 2002 tentang bahaya gempa besar di barat Sumatera.

“Saat itu saya mengira sudah cukup dengan memublikasikan hasil penelitian di jurnal. Sebagai geolog, kami tidak menyadari pentingnya melibatkan disiplin lain, seperti bidang komunikasi, untuk menyampaikan hasil kajian kepada masyarakat. Saya tidak menyadari gap antara sains dan masyarakat di Indonesia hingga gempa dan tsunami Aceh 2004,” tuturnya.

Setelah tsunami Aceh itu, Harris merasa menjadi orang yang berbeda. “Saya merasa lebih punya koneksi dan punya tanggung jawab kepada manusia lain dibandingkan dengan sekadar sebagai geolog yang hanya meneliti batu,” ujar Harris.

Dia semakin intensif melakukan kajian ke banyak wilayah Indonesia dengan fokus utamanya mencari deposit tsunami tua dan jejak gempa di masa lalu. Hampir tiap tahun dia ke Indonesia. “Dengan mengetahui jejak gempa bumi dan tsunami di masa lalu, kita bisa memprediksi kemungkinan keberulangannya di masa depan,” katanya.

Tak hanya mencari deposit tsunami tua, Harris juga mengedukasi ke sekolah-sekolah di daerah rawan bencana. Dia dibantu mahasiswanya dan para akademisi lain dari bidang ilmu sosial yang diajaknya turut serta ke Indonesia. Kegiatan ini terutama didukung oleh In Harm Way, sebuah organisasi nonprofit yang didirikan Harris setelah tsunami Aceh untuk melakukan edukasi kebencanaan.

Harris seperti menanggung beban tanggung jawab yang tak seharusnya dia tanggung sendiri. Sebagai orang asing, dia sadar betul batas kemampuannya. Karena itu, dia seperti tak lelah mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk terlibat dalam kegiatan kesiapsiagaan. Di Bali, selain mempresentasikan hasil risetnya ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan anak-anak sekolah, dia juga mengajak penggiat budaya untuk terlibat.

“Pendidikan bencana adalah kunci. Kita harus membawa pesan tentang kesiapsiagaan dan evakuasi mandiri ini menjadi viral. Di sini pentingnya keterlibatan banyak orang, terutama orang-orang setempat,” ujarnya.

Prof Ronald A. Harris, Ph.D, geolog dari Universitas Brigham Young, AS
Kompas/Ahmad Arif (AIK)

KOMPAS/AHMAD ARIF

RONALD A HARRIS

Lahir:
29 Juni 1957 di Eugene, Oregon, AS

Pekerjaan:
Dosen dan profesor di Departemen Geologi, geolog di Universitas Brigham Young, AS, sejak 2001

Pendidikan:
PhD University College London, Inggris (1989)
MSc Geophysical Institute, Universitas Alaska, Fairbanks, Alaska, AS (1985)
BSc Univesitas Oregon, Eugene, Oregon, AS (Juni 1982)

Harris telah menerbitkan 65 paper ilmiah di jurnal internasional
Penerima sejumlah penghargaan riset

AHMAD ARIF
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “Tsunami Aceh Mengubah Hidupnya”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:20 WIB

Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:15 WIB

Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS

Sabtu, 12 Agustus 2023 - 07:42 WIB

Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB