Tingkat penggunaan rokok elektrik, terutama pada remaja, terus meningkat. Padahal, penggunaan rokok ini berisiko tinggi terhadap berbagai masalah kesehatan. Perlu aturan tegas mengendalikan konsumsi produk tersebut.
Risiko kesehatan akibat penggunaan rokok elektrik sama besarnya dengan rokok konvensional. Bahkan, beberapa risiko jauh lebih berat dari penggunaan rokok konvensional. Namun, penggunaan rokok elektrik kini menjadi gaya hidup remaja.
Dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Feni Fitriani, di Jakarta, Sabtu (5/6/2021), mengatakan, remaja yang menggunakan rokok elektrik dapat meningkatkan potensi menggunakan rokok konvensional sampai tujuh kali lipat. Hal itu disebabkan nikotin yang terkandung dalam rokok elektrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Cairan dalam rokok elektrik mengandung berbagai bahan berbahaya. Selain nikotin yang menyebabkan adiksi atau kecanduan, rokok elektrik mengandung nitrosamine, gliserol, logam berat, dan particulate matter yang bersifat toksik dan karsinogenik,” tuturnya.
Penelitian yang dilakukan di RSUP Persahabatan kepada 71 laki-laki menunjukkan, kadar kotinin urine (metabolisme nikotin dalam urine) pada pengguna rokok elektrik mencapai 276,1 ng/ml (nanogram per mililiter). Ini lebih besar dari kadar kotinin urine pada pengguna rokok konvensional (223,5 ng/ml) dan bukan perokok (5,21 ng/ml). Sebanyak 76,5 persen laki-laki yang menggunakan rokok elektrik mempunyai ketergantungan nikotin.
Feni menambahkan, pengguna rokok elektrik pun lebih mudah mengalami penyakit paru kronik, termasuk asma, bronkitis, dan emfisema (kerusakan alveolus) dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Pengguna rokok elektrik juga berisiko tiga kali lipat mengalami penyakit paru.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS telah mengidentifikasi penyakit baru yang berkaitan dengan cedera paru akibat rokok elektrik. Penyakit yang disebut dengan Evali (cedera paru terkati produk rokok elektrik ataupun vaping) ini berisiko tinggi menyebabkan kematian.
”Berbagai dampak dari penggunaan rokok elektrik ini harus disampaikan secara masif kepada masyarakat. Penggunaan rokok elektrik pada remaja justru terus meningkat, sementara aturan terkait rokok elektrik masih lemah,” ucap Feni.
Prevalensi meningkat
Data Kementerian Kesehatan pada 2016 menunjukkan, prevalensi perokok elektrik usia 10-18 tahun sebesar 1,2 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 10,9 persen pada 2018. Sebagian besar pengguna rokok elektrik juga menggunakan rokok konvensional. Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan, pengguna rokok elektrik yang juga mengonsumsi rokok konvensional sebanyak 96,7 persen.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA—–Sejumlah produk rokok elektrik dan rokok konvensional dipajang dalam acara forum diskusi terkait dorongan kebijakan rokok elektrik, Selasa (25/6/2019) di Jakarta.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyampaikan, peraturan yang lebih tegas perlu diberlakukan untuk penggunaan rokok elektrik. Saat ini belum ada aturan yang spesifik mengatur produk rokok tersebut.
Rokok elektrik juga tidak terbukti bisa menjadi terapi untuk menghentikan kebiasaan merokok. Penggunaan rokok elektrik pun tidak memenuhi prinsip terapi pengganti nikotin yang biasanya diberikan pada terapi henti rokok. Pada dasarnya terapi pengganti nikotin diberikan pada orang yang sudah berhenti merokok. Penggunaan terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy) bertujuan untuk mencegah atau mengatasi efek henti rokok seperti withdrawal.
”Penggunaan NRT juga tidak boleh menimbulkan risiko baru yang tidak didapat dari merokok. Yang terpenting, NRT seharusnya disupervisi oleh tenaga medis profesional. Semua prinsip ini tidak dapat ditemukan dari penggunaan rokok elektrik,” ucap Agus.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 6 Juni 2021