Produksi rokok di Indonesia lima tahun terakhir melebihi proyeksi peta jalan industri produk tembakau yang disepakati para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, pengendalian lebih ketat dan tegas mendesak dilakukan.
Hal itu disampaikan dua pembicara pada sesi terakhir 1st Indonesia Conference on Tobacco or Health 2014, Sabtu (31/5), di Jakarta. Keduanya adalah Wakil Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan dan Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Djaka Kusumartata.
Pada peta jalan industri produk tembakau dan kebijakan cukai 2007-2020, produksi maksimal rokok tahun 2020 diasumsikan 260 miliar batang. ”Namun, sejak tahun 2009, volume itu terlampaui,” kata Abdillah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Produksi rokok periode 2009-2012 ialah 267,4 miliar batang (2009), 289,1 miliar batang (2010), 310,2 miliar batang (2011), dan 326,8 miliar batang (2012). ”Tahun 2013, produksi rokok sekitar 360 miliar batang. Untuk itu, konsumsi rokok perlu dikendalikan dan peredarannya diawasi karena rokok berdampak negatif. Bukan peta jalannya yang direvisi,” ujar Abdillah.
Salah satu instrumen pengendalian konsumsi rokok adalah penerapan cukai dan pajak. Kenaikan cukai rokok adalah jalan tengah yang menguntungkan bagi negara dan industri rokok.
Akan tetapi, penerapan cukai rokok selama ini pun belum efektif mengendalikan konsumsi rokok. Sistem tarif cukai yang rumit menyebabkan rentang harga lebar antar-golongan rokok, Rp 250-Rp 680 per batang. Harga itu masih terjangkau bagi anak-anak, remaja, dan penduduk miskin.
Harga terjangkau, iklan, dan kemasan rokok yang vulgar berkontribusi pada kenaikan prevalensi merokok penduduk. Tahun 1995, sebanyak 27 persen penduduk di atas 15 tahun merokok, sedangkan tahun 2011 menjadi 36 persen. Adapun prevalensi merokok remaja 15-19 tahun yang pada 1995 sebesar 7 persen menjadi 20 persen pada 2010.
Melihat angka produksi rokok dan sistem tarif cukai sekarang, Djaka mengatakan, upaya pengendalian rokok melalui cukai belum maksimal.
Menurut dia, rokok jenis sigaret kretek mesin yang menguasai 68,5 persen pasar dikenai cukai rata-rata 54 persen dari harga jual eceran, rokok sigaret putih mesin yang menguasai pasar 6 persen dikenai cukai rata-rata 55,86 persen, sedangkan cukai rata-rata untuk sigaret kretek tangan yang menguasai pasar 25,5 persen ialah 34,53 persen. Tarif cukai setiap jenis rokok belum mencapai batas maksimal 57 persen seperti diatur UU No 39/2007 tentang Cukai. (ADH)
Sumber: Kompas, 2 Juni 2014