Pribumi

- Editor

Sabtu, 8 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kulit saya coklat dan rambut nyaris lurus. Mata tidak sipit. Sepanjang ingatan, kami turun-temurun dari Jawa, walaupun ayah memberi nama berbau Arab. Setidaknya, sudah empat generasi, nama keluarga kami berbau Arab.

Tampilan fisik saya di atas, pasaran di Asia Tenggara. Asalkan tidak berbicara, saya mudah menyaru di pasar-pasar Malaysia atau Thailand. Bahkan, saat tinggal di Jepang, beberapa kali saya dikira orang setempat dan diajak bicara dalam bahasa lokal.

Di Singapura, sopir taksi cas-cis-cus mengajak bicara Mandarin, bahkan memberi selamat tahun baru Imlek. Sambil berterima kasih, saya katakan saya tidak merayakan Imlek. Ketika saya bilang “asli” Jawa, Indonesia, dia tak percaya. Yakin dia mengatakan, pasti saya keturunan China juga meski berkulit coklat. “Orang Jawa banyak yang campur. Keponakan saya di Surabaya menikah dengan Jawa, anaknya mirip Bapak,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ucapan sopir taksi ini seperti menyederhanakan pemikiran pakar genetika populasi asal Italia, Luigi Luca Cavalli-Sforza (2000). Menurut Sforza, ciri fisik berbeda, misalnya warna kulit hitam atau putih, tak lebih sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda. Secara ilmiah, tidak ada alasan menjadi rasis.

Orang berkulit putih karena tubuh mereka tidak mengembangkan unsur melanin-dari kata Yunani melas yang berarti ‘hitam’-sebagai proteksi terhadap sinar matahari. Sebaliknya, masyarakat di zona tropis, mengembangkan warna kulit hitam untuk mengatasi terpaan sinar matahari. Maka, menurut Steve Olson (2003), perbedaan bentuk manusia, tak lebih dari kecelakaan sejarah dan lelucon biologis. Tak lebih dari persoalan topeng atau kostum yang bisa berubah-ubah.

Perjalanan leluhur
Sebagai bagian dari riset “asal-usul manusia Indonesia”, sampel darah saya telah diuji oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi. Ternyata, jejak genetika dalam darah saya justru “membenarkan” prasangka sopir taksi di Singapura itu.

Uji DNA dengan marka mitokondria mengelompokkan saya dalam haplogrup F1a1a. Menurut Soarez (2008), kelompok genetik F1a1a terbentuk di China bagian selatan sekitar 9.000 tahun lalu, kemudian menyebar ke kawasan barat dan selatan Asia Tenggara, seperti Thailand dan Semenanjung Malaysia.

Penanda F merupakan tipe Austroasiatik, yang bermigrasi secara bergelombang ke Nusantara hingga zaman es terakhir sekitar 20.000 hingga 6.000 tahun lalu. Saat itu, bagian barat Nusantara (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) masih menyatu dengan daratan Asia. Migrasi ini jauh sebelum kedatangan penutur Austronesia dari Taiwan (out of Taiwan) ke Nusantara sekitar 5.000 tahun lalu. Perlu dipahami, migrasi yang terjadi bisa jadi tidak searah, sangat mungkin bersifat timbal balik.

Tanda 1a1a di belakang huruf F menunjukkan mutasi gen yang menandai persinggahan leluhur. Semakin panjang huruf dan angka di belakang F, artinya semakin banyak persinggahan selama migrasi dari China selatan sebelum tiba di Jawa.

Jadi, secara maternal atau melalui garis ibu, setidaknya saya memiliki trah China selatan. Walaupun kalau dirunut lebih jauh lagi, gen saya mengabarkan migrasi nenek moyang dari Afrika.

Analisis genetik beragam populasi manusia membuktikan, semua manusia modern atau Homo sapiens berasal dari Afrika yang secara bergelombang menyebar ke berbagai belahan dunia sekitar 120.000 tahun lalu dan 60.000 tahun lalu (out of Afrika). Sebagian kemudian tiba di Papua sekitar 50.000 tahun lalu.

Dengan latar belakang genetik ini, pantaskah saya disebut pribumi, sebagaimana klaim pengunjuk rasa pekan lalu?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan pribumi sebagai “penghuni asli; yang berasal dari tempat bersangkutan”. Jelas bahwa secara bergenerasi saya lahir di Indonesia, bahkan sebelum negara ini terbentuk, nenek moyang saya telah menetap di Jawa.

Mengacu pada definisi itu, bolehlah saya mengklaim diri sebagai “pribumi”, yang oleh Belanda diejek sebagai “inlander” dan dipersamakan dengan anjing. Pengumuman yang dipasang di sejumlah tempat menyebutkan “Verboden voor honden en inlanders” berarti ‘Inlander dan anjing tidak boleh masuk’.

Namun, sekalipun pribumi, ternyata saya bukan orang asli. Tak ada yang benar-benar asli, kecuali mungkin manusia purba seperti Homo erectus atau Java Man, yang diperkirakan menghuni Jawa sekitar 700.000-1 juta tahun lalu. Belakangan ditemukan Homo floresiensis yang diperkirakan mendiami Pulau Flores 100.000-60.000 tahun lalu. Tetapi, bisa jadi, mereka pun dulu bermigrasi entah dari mana.

Daripada mempersengketakan pribumi dan nonpribumi-dikembangkan kolonial Belanda untuk diskriminasi-apa tidak lebih baik memikirkan persoalan besar negeri ini, seperti ketimpangan sosial dan degradasi lingkungan pemicu bencana?–AHMAD ARIF
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Pribumi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB