Pestisida Bisa Memicu Ledakan Ulat Grayak Jagung

- Editor

Sabtu, 20 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Petani disarankan tidak menggunakan pestisida untuk mengatasi serangan ulat grayak jagung (Spodoptera frugiperda) yang menyerang di sejumlah daerah. Penggunaan pestisida hanya akan meningkatkan resistensi hama penyakit dari Amerika Tengah ini dan memicu meledaknya serangan di kemudian hari.

“Ulat grayak ini tak akan efektif dilawan dengan pestisida. Itu justru akan memicu masalah baru jika petani memakai pestisida. Jangan mengulang kesalahan petani padi yang kini tergantung pada pestisida dengan dosis terus bertambah sementara hamanya kian resisten,” kata Kepala Departemen Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Suryo Wiyono, Jumat (19/7/2019).

–Ciri-ciri fisik hama baru ulat grayak jagung atau Spodoptera frugiperda dari Amerika Tengah yang kini telah mewabah di sejumlah daerah di Indonesia. Sumber: Dewi Sartiami dkk, IPB, 2019

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebelumnya, para peneliti dari Departeme Perlindungan Tanaman IPB telah menemukan serangan ulat grayak jagung di berbagai daerah. Sejak ditemukan di Pasaman Barat, Sumatera Barat, pada 26 Maret 2019, ulat yang bersifat invasif itu telah ditemukan di hampir semua wilayah Sumatera, Jawa Barat, Banten Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat.

“Hal yang paling kami khawatirkan jika ulat ini sudah sampai di Jawa Timur, Sulawesi dan juga NTT (Nusa Tenggara Timur di mana jagung menjadi salah satu komoditas pangan utama,” kata Suryo.

Guru Besar Ahli Pengendalian Hama Terpadu IPB Aunu Rauf , dalam lokakarya, mengatakan, begitu masuk ke wilayah Indonesia, ulat grayak susah dibendung, karena bisa menyebar terbawa angin. Apalagi, imago atau indukan ulat ini saat dalam bentuk ngengat memiliki kemampuan terbang hingga 100 kilometer dalam semalam.

“Sekarang ulat grayak ini sudah dalam proses menyebar dan di beberapa tempat mulai mengalami naturalisasi. Hal yang bisa dilakukan adalah memperkuat ekosistem, misalnya dengan sistem tumpang sari dengan tanaman yang bisa mengusir mengusir ulat grayak,” katanya.

Menurut Aunu, ngengat pembawa ulat grayak ini biasanya juga meletakkan telurnya pada tanaman jagung saat usia masih muda. Oleh karena itu, menjadi penting pemantauan tanaman sejak dini.

Aunu menambahkan, sekitar 50 persen ulat grayak Spodoptera frugiperda yang ditemukan di Indonesia telah terserang parasitoid Telenomus sp. Secara alami, parasitoid endemik Asia, termasuk di Indonesia, ini bisa membunuh ulat grayak dari Amerika Tengah. “Bahkan, beberapa tahun lalu, Amerika juga mengimpor Telenomus ini untuk mengatasi masalah ulat grayak di sana,” kata Aunu.

Jasa ekosistem itu harus bisa diperkuat. Secara alami, jika parasitnya cepat berkembang, predatornya akan berdaptasi dengan cepat. Jangan sampai keseimbangan ekologi itu justru dirusak dengan penggunaan pestisida yang bisa jadi justru mematikan predatornya.

–Penyeberan ulat grayak jagung dari Amerika Tengah ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Sumber: IPB, 2019

Seminggu
Menurut Suryo, para peneliti dari IPB telah mengisolasi musuh alami hama ulat grayak jagung ini. Di antara yang dikembangkan adalah cendawan patogen Metarrhizium, serangga parasitoid Telenomus sp, dan virus NpV. “Sekarang sedang dikonsolidasikan, mudah-mudahan minggu depan sudah bisa dilakukan diseminasinya ke publik,” kata Suryo.

Untuk daerah yang belum terserang, menurut Suryo harus dilakukan monitoring intensif, khususnya daerah yang berbatasan dengan yang telah terserang. “Monitoring ngengat dan telurnya. Kalau ditemukan sebaiknya dikumpulkan sejak fase telur dan kemudian dimusnahkan,” ungkapnya.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 20 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB