Perubahan Iklim, Menakar Komitmen di Tengah Ancaman

- Editor

Selasa, 14 November 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tahun 2017 menjadi tahun terpanas dalam tiga tahun terakhir, tanpa ada El-Nino. Asumsinya, penyebab utama kenaikan suhu global adalah aktivitas manusia, yang mengemisikan gas rumah kaca.

Dunia harus menyerap miliaran ton gas rumah kaca (GRK)- ekuivalen gas karbon dioksida (CO2). Faktanya, komitmen penurunan emisi yang terkumpul dari 196 negara atau para pihak tidak sesuai target dalam Kesepakatan Paris. Target kesepakatan adalah membatasi kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius dan dengan upaya keras menahan kenaikan sampai 1,5 derajat celsius pada 2030 dibandingkan dengan suhu rata-rata pada era praindustri.

Menurut laporan PBB mengenai kesenjangan emisi 2017, agar suhu tidak naik lebih dari 2 derajat celsius, emisi GRK harus di bawah 42 gigaton ekuivalen CO2 (GtCO2e). Dari niatan kontribusi nasional (NDC), semua negara yang telah masuk, ada kekurangan penurunan emisi 11-13 GtCO2e. Sementara untuk menahan kenaikan sampai 1,5 derajat celsius, penurunan emisi masih kurang sekitar 16-19 GtCO2e.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada 2016, konsentrasi gas karbon dioksida sebagai GRK terkuat di atmosfer mencapai 403,3 bagian per juta (parts per million/ppm). Untuk menahan kenaikan suhu tak melebihi 2 derajat celsius, batas konsentrasi CO2 di atmosfer adalah 40 persen di atas rata-rata praindustri.

Menurut para ilmuwan dalam Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), ada “kemungkinan” membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat celsius jika konsentrasi CO2 tak melebihi 450 ppm. Angka 400 ppm tercapai tahun 2015.

Penurunan emisi bisa dilakukan dengan dua cara: menekan emisi ke atmosfer atau menyerap GRK di atmosfer. James Hansen, ilmuwan di bidang iklim, mengatakan, “Kenyataan ini diabaikan pemerintah seluruh dunia.” Hansen 30 tahun lalu mengumumkan pada Kongres AS bahwa perubahan iklim tengah terjadi. Menyitir apa yang disampaikan banyak pemimpin dunia, “kita sudah bergerak ke arah tepat”, menurut dia pernyataan itu “tak lagi memadai”.

Hansen dari Columbia University juga menjabat sebagai kepala dari NASA’s Goddard Institute for Space Studies sampai 2013. Ia berbicara di sela-sela kesibukan perundingan ribuan pejabat yang berlangsung di Bonn, Jerman, dalam Pertemuan Para Pihak Ke-23 Kerangka Kerja PBB Konvensi Perubahan Iklim. Pertemuan itu untuk melahirkan panduan penerapan Kesepakatan Paris yang bakal mulai dilaksanakan pada 2020.

Menurut Hansen, menjaga kenaikan hanya sampai 1,5 derajat celsius amat bagus. Persoalannya, kata Hansen, “Seberapa cepat bisa dilakukan?” Jika terlambat, kita akan kehilangan semua pantai kita.

Di tengah kekhawatiran Hansen itu, perundingan di Bonn telah diawali dengan usulan “pembedaan pedoman” implementasi Kesepakatan Paris. Tanggung jawab yang semula dibagi ke semua negara anggota secara adil karena menyerahkan pada kemampuan masing-masing, terancam kembali tersegregasi antara negara maju dan berkembang.

Rupanya “dendam sejarah perubahan iklim” terus membayangi. Negara maju berutang iklim karena telah mengemisikan GRK sejak zaman Industri. Alasan kekhawatiran kini berlapis: komitmen kurang keras, sedangkan implementasi pun belum jelas bagaimana, ini bisa memperlambat aksi. Hal yang telah terpisah sulit disatukan lagi. Semoga tidak demikian adanya. (BRIGITTA ISWORO LAKSMI)

Sumber: Kompas, 14 November 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB