Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta setiap pihak berpegang pada data untuk merekomendasikan atau memberikan usulan terkait perlindungan spesies tanaman maupun satwa dilindungi. Langkah Manggala yang mengeluarkan 10 jenis tanaman dalam kategori daftar merah Badan Konservasi Dunia atau IUCN dari dilindungi menjadi tidak dilindungi itu pun berbasis data.
Data itu bersumber dari rencana kerja tahunan (RKT) serta Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan yang disampaikan pemegang konsesi penebangan kayu (Izin Usaha Pemanfaatan HasiL Hutan Kayu-Hutan Alam/IUPHHK-HA). Hasil inventarisasi dari kegiatan survei/cruising 100 persen pada blok konsesi menunjukkan ke-10 jenis tanaman yang awalnya dilindungi tersebut ternyata melimpah di alam.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Anak-anak rimba nyaman bermain dalam hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Inventarisasi sementara menunjukkan keberadaan 10 (jenis) pohon masih ada dibuktikan dengan produksi dari izin yang diberikan pemerintah kepada swasta memang masih ada produksinya,” kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (12/2/2019) di Jakarta.
Keberadaan potensi tersebut disampaikan pemegang IUPHHK-HA saat mengajukan RKT. Ia meyakinkan RKT tersebut disetujui KLHK sebelum penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 20 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Produksi melimpah
Karena produksinya melimpah, KLHK pun memutuskan mengeluarkan 10 jenis tanaman dari daftar dilindungi melalui Peraturan Menteri LHK no 106 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Permenlhk 20/2018. Ke-10 spesies tersebut masuk dalam kategori daftar merah IUCN yang delapan diantaranya dikategorikan sangat kritis, terancam punah, dan rentan punah. Bahkan 5 diantaranya endemik atau hanya dapat dijumpai di daerah tersebut.
Tanaman endemis tersebut yaitu damar pilau (Agathis borneensis, terancam punah, endemis Borneo), palahlar mursala (Dipterocarpus cinereus, kritis, endemis Mursala Sibolga), palahlar nusakambangan (Dipterocarpus littolaris, kritis, endemis Pulau Nusakambangan), kokoleceran (Vatica bantamensis, kritis, endemis Ujung Kulon), dan upan (Upuna borneensis, terancam punah, endemis Borneo). Tanaman lain yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri, rentan punah), medang lahu (Beilschmiedia madang, terancam punah), kayu besi maluku (Intsia palembanica, terancam punah), kempas kayu raja (Koompassia excels, risiko rendah) dan kempas malaka (Koompassia malaccensis, risiko rendah).
BIRO HUMAS KLHK—Data Kelimpahan Potensi Kayu
“P106 (Permenlhk 106) bukan tidak peduli pada masukan. Tapi kita ingin realita dulu lah. Setelah nanti kita lihat sama-sama, kita lakukan pelan-pelan. Kita pakai komitmen sebuah jenis atau satwa yang harus dilindungi atau yang tidak boleh dilakukan apa-apa, pertimbangannya mekanisme akademik,” katanya.
Ia menyatakan KLHK menghargai masukan saat ini agar jenis-jenis kayu tersebut kembali dilindungi. Namun, ia meminta para pihak juga menyampaikan data. Di sisi lain, pihaknya akan mengerahkan peneliti Badan Litbang dan Inovasi KLHK beserta LIPI untuk mencari data pembanding dari data yang disuguhkan pemegang konsesi melalui RKT maupun SIPUHH.
Dhio Teguh Ferdyan, pengkampanye Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengatakan kelonggaran yang diberikan pemerintah kepada pemegang izin IUPHHK-HA bertolak belakang dengan semangat perlindungan keanekaragaman hayati dan penegakan hukum dari peraturan sebelumnya. Ia mengkhawatirkan aturan itu rawan dan memicu pemilik izin lebih masif lagi dalam menebang/memanfaatkan pohon yang awalnya dilindungi.
“Dengan mempertimbangkan rendahnya populasi dan tingginya tingkat keterancaman, seharusnya KLHK tetap menjadikan spesies tersebut dalam kategori dilindungi, bukan malah membuka peluang dan memberikan kebebasan pemanfaatan kayu terancam punah,” kata Dhio sambil menyebutkan posisi ke-10 tanaman tersebut dalam daftar merah IUCN.
Pemberlakuan PermenLHK No 106 tahun 2018 dikhawatirkan membuka ruang bagi para pemburu kayu-kayu eksotis bernilai ekonomi tinggi untuk memperdagangkannya secara masif. Itu bisa menyebabkan kehancuran keanekaragaman hayati di hutan.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 Februari 2019