Guna mendukung pengembangan kompetensi di era revolusi industri 4.0, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi membebaskan nomenklatur program studi. Namun, sejumlah perguruan tinggi negeri dianggap resisten. Regulasi untuk mengantisipasi hal itu tengah disiapkan.
Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, kini sudah ada sekitar 100 program studi (prodi) baru yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Di antaranya, supply chain management, manajemen logistik, dan smart technology. Sebagian besar ada di perguruan tinggi swasta. Prodi baru dari perguruan tinggi negeri masih minim.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir memberi kuliah umum “Dampak Revolusi Industri 4.0” di kampus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Biasanya, PTN resisten terhadap perubahan. Segera saya akan bertemu sejumlah rektor untuk membahas regulasinya,” kata Nasir di sela-sela kuliah umum “Dampak Revolusi Industri 4.0” di kampus Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
Nasir menjelaskan, pertemuan dengan rektor itu sekaligus membicarakan apa yang diinginkan dan dihadapi PTN. Diharapkan, nantinya dapat menemui titik temu yang sesuai dengan harapan pemerintah, yakni melakukan perubahan guna menyesuaikan kebutuhan industri di era saat ini.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Suasana kuliah umum “Dampak Revolusi Industri 4.0” oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir di kampus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
Bahkan, menurut Nasir, sejumlah rektor PTN meminta disiapkan regulasi untuk menata prodi baru. “Karena (PTN) ini aset pemerintah, ada ketakutan untuk melakukan perubahan atau takut hilang kesempatan. Pada pertemuan nanti, akan dibicarakan regulasi seperti apa yang diperlukan,” katanya.
Nasir menambahkan, perguruan tinggi harus berani melakukan terobosan dan mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama. Itulah jalan untuk menyesuaikan diri dengan revolusi industri 4.0.
Apabila tak mengikuti perkembangan, maka akan digilas teknologi. “Itu sudah hukum alam. Sebab, negara pemenang bukan karena jumlah penduduknya, tetapi karena memiliki inovasi dan teknologi. Menghadapi semua itu, perguruan tinggi dituntut untuk berubah,” kata Nasir.
Hal itu, kata Nasir, juga upaya untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) PT di Indonesia. Saat ini, APK PT di Indonesia hanya 34,58 persen dengan jumlah total sekitar 7,5 juta mahasiswa (15 persen vokasi) di 4.700 PT. Di Malaysia, APK PT sudah mencapai lebih dari 38 persen, Singapura (78 persen), dan Korea Selatan bahkan 92 persen.
Wakil Rektor II Undip, Darsono mengemukakan, terobosan dan inovasi penting dan terus dilakukan, termasuk FEB yang telah berusia 59 tahun. FEB kini telah memiliki laboratorium keuangan Bloomberg, yang menunjang proses belajar mengajar dan penelitian bagi mahasiswa dan dosen.
Hal tersebut, menurut Darsono, dilakukan melalui upaya keras, demi peningkatan daya saing di tingkat global. “FEB salah satu pendorong kemajuan universitas, baik dari akreditasi internasional maupun nasional yang nantinya diharapkan akan menjadi kampus kelas dunia” ucap Darsono.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Nasional, Iskandar Fitri, menuturkan, dalam menghadapi revolusi industri 4.0, pembentukan karakter menjadi tugas utama. “Apabila itu sudah terlaksana, transfer pengetahuan akan lebih mudah,” ucap Iskandar.–ADITYA PUTRA PERDANA
Editor CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Sumber: Kompas, 13 Maret 2019
—————————————
Sistem Perkuliahan Digital Vital di Era Revolusi Industri 4.0
Pemerintah pusat terus mendorong penerapan sistem perkuliahan berbasis digital. Hal itu dapat dimulai dengan flipped classroom atau kelas terbalik, kombinasi tatap muka dan daring, hingga sepenuhnya daring. Metode seperti itu akan sangat dibutuhkan di era revolusi industri 4.0.
”Transformasi digital terjadi di banyak bidang saat era revolusi industri 4.0. Seperti pada sistem pembelajaran, jika secara konvensional tatap muka, nantinya menjadi online learning. Kami terus dorong,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir pada kuliah umum bertema ”Dampak Revolusi Industri 4.0” di Kampus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
Menurut Nasir, pada kelas terbalik, materi disampaikan sebelumnya secara daring sehingga sesi belajar di kelas diisi dengan diskusi dan kegiatan problem solving. Apabila hal itu sudah berjalan, maka dilakukan kombinasi kuliah daring dan tatap muka, hingga pada akhirnya sepenuhnya daring.
Nasir menuturkan, sejumlah negara seperti Jepang dan Amerika Serikat sudah menerapkan itu. ”Saat sudah sepenuhnya daring, 1 dosen mengajar 1.000 mahasiswa. Saat ini, untuk PTN, perbandingan mahasiswa dan dosen ialah 1:20 untuk eksakta dan 1:30 untuk ilmu sosial,” ujarnya.
Perguruan tinggi di Indonesia yang tengah mengembangkan universitas siber ialah Universitas Nasional, bekerja sama dengan Hankuk University of Foreign Studies Korea. Sebelum diluncurkan, kerja sama dilakukan, antara lain dalam pelatihan tenaga kerja dan bimbingan belajar.
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Nasional Iskandar Fitri menuturkan, kebanyakan orang masih menganggap universitas siber hanya terkait dengan perkuliahan. ”Padahal, ini juga tentang aspek tata kelolanya. Aktivitas sekecil apa pun menggunakan teknologi secara daring,” katanya.
Dalam mengembangkan sistem itu, lanjut Iskandar, ada tantangan yang dihadapi. Salah satunya diperlukan sistem yang mengintegrasikan seluruhnya. Termasuk terkait dengan data kehadiran dosen yang perlu diintegrasikan dengan bagian keuangan, sumber daya manusia, dan bidang lainnya.
Jang Youn Cho dari Hankuk University of Foreign Studies Korea menuturkan, dalam paradigma baru yang dapat digunakan guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, kuliah daring secara real time sangat penting. Mahasiswa dituntut terus berlatih menerapkannya hingga terbiasa.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Jang Youn Cho dari Hankuk University of Foreign Studies Korea (tengah) mendapatkan kenang-kenangan dari Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Suharnomo di sela-sela diskusi di kampus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
Inovasi dan kewirausahaan
Selain itu, dalam menghadapi revolusi industri 4.0, mahasiswa juga perlu diberi pengetahuan tentang koding dan pemrograman. Bukan hanya untuk mahasiswa eksakta, melainkan juga untuk pihak lainnya. Menurut Nasir, ini penting untuk mengembangkan inovasi yang kemudian menjadi kewirausahaan.
Ia menambahkan, sertifikasi kompetensi pada satu bidang menjadi hal penting. ”Lulusan mesti memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan organisasi profesi. Sebab, ke depan yang dilihat bukan hanya ijazah dari mana, melainkan juga kompetensi apa yang dimiliki,” kata Nasir.–ADITYA PUTRA PERDANA
Editor CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Sumber: Kompas, 13 Maret 2019