Perbedaan BMKG dan Badan Geologi Membingungkan Masyarakat

- Editor

Kamis, 3 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengkhawatirkan aktivitas Anak Krakatau bisa kembali memicu tsunami susulan di Selat Sunda. Namun demikian, Badan Geologi cenderung beranggapan potensinya kecil. Perbedaan pandangan ini bisa membingungkan masyarakat.

?Kepala Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam pertemuan di Kementeran Koordinator Maritim Rabu (2/1/2019) telah memaparkan tentang adanya rekahan di Anak Krakatau dari hasil pemotretan dengan pesawat dan analisis geologi kelurusan dari citra satelt radar. Dikhawatirkan, hal ini bisa memicu longsoran baru sehingga memicu tsunami susulan.

?Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, informasi ada retakan di tubuh Anak Krakatau yang bisa memicu tsunami susulan itu didapat dari hasil survei Kepala BMKG dengan memakai pesawat TNI Angkatan Udara. “Besok pagi akan terbang lagi untuk survei,” ungkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN–Erupsi Gunung Anak Krakatau terlihat dari KRI Torani 860 saat berlayar di Selat Sunda, Lampung, Selasa (1/1/2019). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyatakan Gunung Anak Krakatau masih berada di level III (Siaga).

?Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebenarnya juga diundang dalam rapat koordinasi ini. Namun, hingga pertemuan usai, mereka tidak datang. Dihubungi terpisah, Sekretaris Badan Geologi,Radmono Purbo mengatakan, “Retakan pascaerupsi gunung api merupakan hal wajar.“

?Fenomena ini, menurut Radmono, terjadi di banyak gunung api lainnya, seperti Merapi setelah letusan tahun 2010 maupun letusan Gunung Kelud tahun 2014. “Mungkin yang baru melihat gunung api akan kaget melihat perubahan bentuk gunung setelah meletus, tetapi retakan-retakan ini biasa. Jadi, tidak perlu khawatir. Kesimpulan kami masih sama, tidak ada lagi potensi tsunami yang disebabkan Anak Kratau,” ungkapnya.

?Sebelumnya, Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar juga menyebutkan, berdasarkan evaluasi seismik dan data visual, potensi untuk timbulnya tsunami dari aktivitas Gunung Anak Krakatau amat kecil. Ketinggian Anak Krakatau disebutkan tinggal 110 meter dari permukaan laut dari semula 338 mdpl (Kompas, 2/1/2019). ?

Hasil pemantauan ini telah dikirim Badan Geologi ke Gubernur Lampung, Gubernur Banten, BMKG, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 31 Desember 2018. Disebutkan, posisi kawah Anak Krakatau saat ini sudah di permukaan atau di bawah permukaan sehingga tipe letusannya berubah dari strombolian atu semburan lava pijar dari magma yang dangkal menjadi surtseyan. Erupsi jenis ini dinilai tidak akan menimbulkan tsnami karena terjadi di permukaan air dan material terlempar ke udara secara total.

Perbedaan ini, membingungkan masyarakat dan pemerintah daerah. Basith Djomal, Ketua Kampung Siaga Bencana Labuan, Kabupaten Pandeglang mengatakan, informasi tentang munculnya retakan baru di Anak Krakatau yang berpotensi memicu tsunami susulan kini telah menyebar di masyarakat dan memicu kepanikan.

?Kepala Seksi Kesiapsiagaan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tanggamus, Lampung, Fina Oktasari juga mengatakan, bingung menyikapi rekomendasi BMKG yang bertolak belakang dengan keterangan Badan Geologi. “Perbedaan dua lembaga itu membuat kami yang di daerah bingung. Saat ini rekomendasi yang dikeluarkan Pemda Tangamus mengikuti BMKG,” kata dia.

Pendangkalan laut
?Sementara berdasarkan laporan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal), ditemukan ada pendangkalan dasar laut dan perubahan bentuk morfologi Gunung Anak Krakatau setelah terjadinya erupsi dan longsoran yang memicu tsunami di perairan Selat Sunda pada 22Agustus lalu.

?Hasil tersebut diperoleh setelah KRI Rigel-933 melakukan survei hidro-oseanografi dan investigasi di area longsoran Gunung Anak Krakatau pada tanggal 29 hingga 30 Desember 2018.

Kepala Pushidrosal Laksda TNI Harjo Susmoro menyebutkan, dari data hasil survei hidro – oseanografi Pushidrosal tahun 2016 dan data Multi Beam Echosounder (MBES) terbaru, perairan di Selatan Gunung Anak Krakatau mengalami perubahan kontur kedalaman 20 hingga 40 m lebih dangkal. Hal ini karena tumpahan magma dan material longsoran Anak Krakatau ke laut.

?Selain itu, menurut Harjo, dari pengamatanradar dan analisis dari citra ditemukan adanya perubahan morfologi bentuk Anak Gunung Krakatau. Sekitar 401.000 meter persegi atau lebih kurang sepertiga bagian lereng di sisi sebelah barat hilang dan menjadi cekungan kawah menyerupai teluk. Pada cekungan kawah ini masih dijumpai semburan magma gunung Anak Krakatau yang berasal dari bawah air.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 3 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB