Pengembangan mikroalga, ganggang berukuran mikro dari laut, untuk bahan baku biodiesel di Indonesia lamban. Padahal, sumber daya mikroalga melimpah karena garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Percepatan pemanfaatan mikroalga sebagai bahan baku biodiesel bergantung pada kemauan politik pemerintah, terutama dalam mendanai riset energi baru terbarukan.
“Mengikuti target energi baru terbarukan 23 persen dari semua sumber energi tahun 2025 pun terlambat,” ujar peneliti di Laboratorium Bioenergi dan Bioproses Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Swastika Praharyawan, di Cibinong Science Center-Botanical Garden, Cibinong, Bogor, Kamis (19/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika pemerintah tak segera mewujudkan biodiesel dari mikroalga, Indonesia akan kian tertinggal. Di Amerika Serikat, perusahaan Solazyme yang berdiri sejak 2003 membuat bahan bakar turunan mikroalga untuk pesawat jet, dinamakan Solajet.
Di Malaysia, perusahaan Algaetech aktif mengkaji pemanfaatan mikroalga bagi bahan pangan dan sumber energi. Perusahaan itu juga punya proyek pemanfaatan karbon dioksida dari pembangkit listrik untuk budidaya alga di Batam, Kepulauan Riau, Indonesia.
Produktivitas tinggi
Menurut Swastika, produksi mikroalga bagi energi memberi lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kelapa sawit yang jadi penghasil biodiesel. Riset terbaru menunjukkan, spesies tertentu mikroalga menghasilkan biodiesel 30 kali daripada sawit per hektar per tahun.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Mahasiswa riset pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agnes Yuliana, menjelaskan cara mengisolasi DNA dalam Open House LIPI di Cibinong Science Center-Botanical Garden, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (19/11). LIPI menyosialisasikan hasil-hasil riset bioteknologinya kepada publik.
Produksi mikroalga tak butuh lahan produktif seperti sawit. Sebab, lahan hanya untuk menempatkan kolam perbanyakan mikroalga. “Jadi, mikroalga tak mengorbankan kebutuhan lahan bagi tanaman pangan,” ujarnya.
Sejauh ini, LIPI memiliki sejumlah jenis mikroalga potensial untuk biodiesel, seperti Nannochloropsis sp, Chlorella sp, dan Scenedesmus sp. Spesies-spesies itu lipid rendah, sekitar 30 persen, dan berpotensi menghasilkan biodiesel 10 kali jumlah biodiesel dari kelapa sawit per hektar per tahun. Namun, produktivitas mikroalga di LIPI baru dua kali produktivitas sawit.
Riset juga mencari mikroalga dengan lipid mengandung asam lemak berikatan rangkap satu lebih banyak, yakni asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid/MUFA).
Dalam open house LIPI, para peneliti bioteknologi memperkenalkan teknologi seperti kultur jaringan tanaman, inseminasi buatan ternak, dan rekayasa genetika. Menurut Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Riset Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Syamsidah Rahmawati, potensi bioteknologi di Indonesia besar mengingat sumber daya hayati melimpah, tetapi minat remaja menjadi peneliti bioteknologi rendah. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 November 2015, di halaman 13 dengan judul “Pengembangan Mikroalga Masih Lamban”.