Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil memijahkan ikan tuna sirip kuning di luar habitatnya. Pemijahan itu awal dari pembudidayaan ikan jenis pelagis sehingga mengurangi tekanan di alam.
Penelitian unit pelaksana teknis Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol di Bali itu dirintis tahun lalu. Dari pemijahan perdana pekan lalu, dihasilkan sekitar 10 juta embrio tuna.
”Dua bulan lagi terlihat bentuk tunanya,” kata Achmad Poernomo, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang membawahkan BBPPBL, Senin (26/1) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pencapaian itu, menurut Achmad Poernomo, menjadikan Indonesia negara pertama yang membudidayakan tuna dari tahap pemijahan. Ikan pelagis itu sulit dibudidayakan karena berkarakter penjelajah.
Selama ini, ikan tuna (Thunnus albacares) didapat dengan penangkapan di alam. Hal itu mengakibatkan populasi di perairan Indonesia terancam.
Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI), status eksploitasi tuna jenis albacore, madidihang, mata besar, dan tuna sirip biru selatan sangat mengkhawatirkan. Statusnya tereksploitasi penuh (fully exploited) hingga tereksploitasi berlebih (over-exploited). Hanya tuna jenis cakalang yang tereksploitasi sedang (moderate).
Indonesia tercatat punya potensi ikan tuna terbesar di dunia. Produksinya mencapai 613.575 ton per tahun dengan nilai penjualan Rp 6,3 triliun per tahun.
Penurunan produktivitas
Sebanyak 70 persen tangkapan ikan tuna Indonesia diekspor ke Thailand, Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Komoditas ini menghadapi tantangan penurunan produktivitas, ukuran yang mengecil, dan daerah penangkapan ikan yang cenderung ke laut lepas.
Achmad mengatakan, kondisi itu mendorong para penelitinya menemukan metode pembiakan yang tidak bergantung pada alam. Metode tersebut dijalankan BBPPBL sejak tahun 2013.
Tim peneliti menggunakan satu unit keramba jaring apung berdiameter pelampung 50 meter, ukuran mata jaring 2,5 inci. Kedalaman jaring 9 meter.
Calon induk diperoleh dari perairan Laut Bali utara sebanyak 114 ekor berukuran 0,5-1 kilogram. Tuna dianggap sebagai indukan jika berukuran 20-30 kilogram dengan waktu pemeliharaan satu tahun.
Di keramba jaring apung, peluang hidup indukan tuna mencapai 80 persen. Makanan diberikan dua kali sehari. Pakan berprotein tinggi itu dibuat dari ikan layang dan cumi-cumi dengan rasio 1:1 dan vitamin 2,5 persen dari jumlah pakan ikan.
Pemijahan pertama 21 Januari 2015 sebanyak 400.000-500.000 butir. ”Keberhasilan dalam pemijahan karena tim peneliti terus melakukan pengkajian teknologi, baik konstruksi kolam pemijahan, teknik pengelolaan induk dalam pemijahan, dan pengelolaan pakan dan air,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Long Line Indonesia Dwi Agus mengapresiasi pencapaian pemijahan tersebut. Namun, peralihan pelaku usaha penangkapan tuna ke budidaya tuna dinilai sulit. Investasi awal budidaya tuna dinilai jauh lebih mahal dibandingkan dengan perikanan tangkap dengan tingkat keberhasilan perlu dibuktikan.
Di dunia, budidaya tuna yang berhasil baru di Australia, tetapi sebatas pembesaran. Adapun di Jepang, budidaya tuna untuk pembesaran tuna masih tahap awal. (ICH/LKT)
Sumber: Kompas, 27 Januari 2015