Pemerkosa, Jiwa-jiwa yang Kerdil

- Editor

Selasa, 24 Mei 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sebulan terakhir, pemerkosaan perempuan merebak di sejumlah daerah. Kejadian itu seolah mengulang maraknya pemerkosaan anak laki-laki dua tahun lalu. Namun, penanganan kejahatan kemanusiaan itu masih sporadis, berkutat pada proses penghukuman dan abai mencegah terus berjatuhannya korban.

Inilah kejahatan manusia paling brutal sejak zaman purba Pemerkosaan tak hanya demi menunjukkan dominasi jender dan kelas, tetapi juga alat politik atas nama kebencian dan penghilangan etnis tertentu.

Pandangan kuno yang bias jender menganggap pemerkosaan sebagai kejahatan atas kepemilikan, merampas keperawanan seseorang yang dianggap milik orangtua. Pemerkosaan dinilai jadi upaya mempertontonkan kekuasaan lelaki yang daIam pandangan banyak budaya dianggap superior.
Sebagai kejahatan atas integritas manusia, pemerkosaan jadi soal kompleks. ”Memaknai pemerkosaan semata urusan seksual, khususnya persetubuhan, mereduksi kompleksitas masalah,” kata dosen psikologi klinik Fakultas Psikologi UI, Nathanel Sumampouw, di Jakarta. Jumat (20 5).
Psikiater yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD dr Soetomo, Surabaya, Nalini Muhdi, mengatakan, pemerkosa bukan ingin mencari kepuasan seksual. Pemerkosa ialah orang yang butuh menunjukkan dominasi atas ketidakberdayaan orang lain melalui tindakan seksual. “Seksualitas hanya jadi alat,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemerkosa biasanya memiliki sindrom infenoritas amat kuat dan citra diri (self esteem) buruk. Dengan memerkosa, mereka ingin meninggikan rasa percaya diri. Jadi, pemerkosaan tak hanya soal ketidakmampuan menahan nafsu, tetapi ada yang salah dalam jiwa pelaku.
”Masalah pemerkosa itu ada diantara telinga, bukan di antara pangkal paha,” kata Richard Seely, Direktur Program Penanganan Intensif Agresivitas Seksual Minnesota, AS, dalam artikel ”The Mind of The Rapist”, Newsweek, 22 Juli 1990.

Hal itu didukung riset Howard Barbaree yang dikutip Daniel Goleman dalam ”New Studies Map The Mind of The Rapist”, nytimes.com. 10 Desember 1991. Pemerkosa biasanya marah, depresi, dan merasa tak berharga beberapa saat sebelum pemerkosaan terjadi. Saat ada perempuan calon korban membuatnya marah, maka pemerkosaan terjadi.

Karena soal superioritas, lanjut Nalini, pemerkosaan tak terkait dengan seks bebas, legalisasi prostitusi, status perkawinan, apalagi cara perempuan berperilaku ataupun berbusana.

Buktinya, di negara-negara yang membebaskan urusan seksual warganya, negara yang membolehkan membeli cinta, atau negara yang mengatur ketat tindak tanduk dan busana perempuan, tingkat pemerkosaannya bisa tetap tinggi.

Banyak pula pemerkosa yang sejatinya beristri atau bisa membeli seks. Namun, mereka tak bisa menyalurkan hasrat seksualnya karena istri atau penjaja cintanya lebih superior.

Penyebab
Inferioritas pemerkosa dipicu banyak hal, mulai dari pola asuh yang membuat mereka merasa kerdil, tak berdaya mengatasi masalah atau kesulitan hidup, budaya, hingga trauma masa kecil. Berbagai faktor biopsikososial itu membuat profil psikologi pemerkosa amat bervariasi.

Meski punya ibu, pemerkosa tetap tega menyakiti korban karena mereka bisa jadi berpandangan salah atas ibunya Kekerasan dan perendahan ibu atau perempuan bisa ditangkap anak sebagai cara benar memperlakukan perempuan.

Terkait trauma masa kecil, anak korban kejahatan seksual bisa menjadi pelaku pemerkosaan di masa depan. Itu tak otomatis, bergantung pada penanganan dan dukungan sosial setelah pemerkosaan.

Robert Prentky dari Sekolah Kedokteran Universitas Boston menilai, 23 persen pemerkosa ialah tipe oportunis yang memerkosa secara impulsif atau bergerak sesuka hati dan jarang tertangkap. Adapun 25 persennya ialah pemerkosa digerakkan fantasi romantis aneh dan biasanya tertangkap.

Bagian terbesar, 32 persen, adalah pemerkosa pendendam yang biasanya menyakiti demi menjatuhkan martabat korban. Selanjutnya, 11 persen pemerkosa marah atas dunia hingga membenci laki-laki dan perempuan. Sisanya, pemerkosa sadis yang terobsesi penderitaan korban, kian menderita korban, pemerkosa makin terangsang.

Dari semua profil psikologi pemerkosa, mereka punya kesamaan, memiliki pandangan bias jender. “Meyakini dan menghayati pria superior, punya hak istimewa atas perempuan, dari perempuan lebih rendah daripada lelaki,” ujar Nathanael.

Untuk pemerkosaan beramai-ramai, lebih dari satu pelaku, proses kelompok seperti tekanan atau penyesuaian norma kelompok berpengaruh. Akibatnya, pemerkosaan lebih intens karena seolah tanggung jawabnya terbagi. ”Sesuatu yang dilakukan bersama membuat tanggungjawab personal turun sehingga pemerkosaan lebih impulsif,” kata Nalini.

Pemicu
Pemerkosaan akan terjadi jika seseorang yang memiliki berbagai faktor risiko biopsikososial itu menemukan pencetus. Misalnya, tontonan pornografi, minuman alkohol, hadirnya korban atau kontrol sosial lemah.

Alkohol dan pornografi bukan penyebab pemerkosaan, tetapi pencetus. Saat mabuk, pertimbangan seseorang turun. Akibatnya, saat ada calon korban, mereka mudah melampiaskan superioritas, tak peduli korban itu cantik, memiliki kesempurnaan fisik ataupun tidak.
Demikian pula pornografi. Dia merusak otak dan memengaruhi jiwa seseorang. Pornografi yang intens mendorong perendahan perempuan. Namun, itu tak langsung membuat pornografi jadi penyebab pemerkosaan. “Kemampuan mengelola hasrat dan mengatur emosi, mengembangkan pemikiran non kekerasan dan bertingkah positif bisa dilatih,” kata Nathanael.

Hukuman
Menurut kompleksitas pemerkosaan, hukuman pemerkosa, khususnya yang muda, seharusnya tak hanya menimbang efek jera, tetapi juga perlu rehabilitasi pelaku. ”Perlu pemidanaan, tetapi harus ada koreksi demi mencegah kambuhnya perilaku,” katanya.

Namun, rehabilitasi pelaku terkendala terbatasnya psikiater, psikolog klinik, atau pekerja sosial yang paham kesehatan jiwa. Dalam banyak kasus, terapi bagi korban kejahatan seksual saja banyak yang tak tertangani.

Pengebirian bisa jadi altematif, khususnya pada pemerkosa dengan gangguan hormonal hingga tak bisa mengontrol hasrat seksual. Namun, prosedur etis harus diperhatikan dan berdasar persetujuan pemerkosa.

Namun, Nalini mengingatkan, kebiri bagi pemerkosa kontroversial di negara mana pun. Hukuman itu dinilai tak arif karena pemerkosa belum tentu punya soal seksual, tetapi jiwanya. Jadi, mereka masih bisa berbuat kekerasan dan kejahatan nonseksual. “Hal utama, penegakan hukum yang memicu efek jera dan melindungi korban,” ujarnya.

Oleh: M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 24 Mei 2016
————————
Hasrat Seksual yang Tak Terkelola 

photo_2016-05-24_12-53-20Keterlibatan anak dan remaja pada sejumlah pemerkosaan sungguh memilukan. Kini, anak tak hanya jadi korban atas masalah orang dewasa, tetapi juga ikut dalam kejahatan menjatuhkan martabat manusia.

Dalam kasus pemerkosaan YY (14), asal Bengkulu, awal April lalu, lima dari 14 pelaku berstatus pelajar. Salah satu pelaku, JF, berumur 13 tahun. Demikian pula kasus pemerkosaan EP (19) di Tangerang, Banten, pertengahan Mei, salah satu pelaku R baru berumur 15 tahun. Bahkan, pada kasus pemerkosaan lain, pelaku masih berumur 9 tahun.

Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, di Jakarta, Jumat (20 5), mengatakan, sesuai perkembangan biologis dan psikologisnya, anak laki-laki 9 tahun seharusnya belum memiliki dorongan seksual. Namun, mereka bisa mengalami pubertas dini.

Dina Fine Maron dalam ”Early Puberty: Causes and Effects” di scientificamerican.com, 1 Mei 2015, menyebut pubertas dini bisa dipicu oleh kegemukan, stres dalam keluarga, hingga paparan zat kimia tertentu dari lingkungan atau makanan.

Jatuhnya anak dalam perilaku seksual menyimpang itu juga bisa dipicu oleh ketidakmampuan anak mengelola hasrat seksualnya secara tepat. ”Pengendalian dorongan seksual bisa diperoleh dari pendidikan atau sosialisasi,” kata peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat.

Namun, alih-alih mendapat pengetahuan kesehatan reproduksi yang memadai sejak dini, anak justru terpapar berbagai stimulus tak tepat, mulai dari pornografi, kekerasan intens dari video gim, tinggal dalam lingkungan atau keluarga yang menoleransi kekerasan, hingga hukuman atas kejahatan seksual.

Stimulus negatif itu justru secara tak sadar diberikan orangtua. ”Banyak orangtua tak siap jadi orangtua. Siap menikah tidak selalu identik dengan siap memiliki anak,” tambah Anna.
Meski pola asuh bukan Penyebab utama anak terjerumus menjadi pelaku pemerkosaan, saat ini pengasuhan anak menjadi masalah besar. Banyak orangtua tak tahu dan tak mau belajar mendidik anak dengan benar. Mereka justru fokus memenuhi kebutuhan fisik dan materi anak, tanpa memahami perkembangan psikologinya.

”Televisi, gawai, hingga asisten rumah tangga banyak mengambil alih peran orangtua dalam mendidik anak,” kata Rahmat. Pola pendidikan anak juga masih berkutat pada pengekangan atau sebaliknya terlalu membebaskan anak, bukan pada upaya mendisiplinkan anak.
Upaya sebagian masyarakat mendorong pendidikan kesehatan reproduksi masih menghadapi dinding tebal. Persepsi keliru tentang pendidikan itu hanya mengajarkan sisi buruk seks bebas.

”Padahal, pendidikan kesehatan reproduksi mengajarkan anak mengenal tubuhnya dan menghargai tubuh orang lain,” kata Nina. Pengajaran tentang cara berhubungan seksual memang tidak terhindarkan karena itu diperlukan bagi mereka yang menjelang dewasa agar mereka bisa menyalurkan dorongan seksualnya secara sehat.

Pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini mengajarkan anak menjaga kebersihan tubuh dan diri sehingga mampu waspada jika ada orang lain yang menyentuh tubuhnya. Rahmat mengingatkan pentingnya menciptakan lingkungan sekolah dan masyarakat yang membuat anak tetap aktif. Gerak aktif membuat anak dan remaja bisa menyalurkan atau mengelola dorongan seksualnya melalui hal-hal positif. Upaya itu tak perlu dilakukan melalui pemisahan anak laki-laki dan perempuan secara ketat.

”Interaksi anak berlawanan jenis justru bisa menimbulkan saling kontrol di antara keduanya,” Tambahnya. Pemisahan pergaulan berdasar jenis kelamin justru menginkari adanya dorongan seksual yang sebenarnya bisa dikendalikan. (MZW)

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB