Penjahat Seksual; Hukuman yang Menjerakan

- Editor

Jumat, 23 Mei 2014 - 10:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

MESKI bukan masalah baru, merebaknya kejahatan seksual terhadap anak di sejumlah daerah selama dua bulan terakhir mengagetkan masyarakat. Tuntutan memperberat hukuman pelaku pun bermunculan. Namun, usulan hukuman itu masih diragukan bisa menjerakan pelaku dan menyadarkan masyarakat.

Kementerian Sosial, pekan lalu, mendorong DPR merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hukuman bagi penjahat seksual terhadap anak yang semula 3-15 tahun diusulkan jadi 15 tahun hingga seumur hidup.

Sejumlah penggiat dan lembaga perlindungan anak mengusulkan hukuman antara 20 tahun dan seumur hidup. Hukuman bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan itu perlu diperberat dengan tambahan hukuman suntik kebiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Dalam situasi sangat emosional saat ini, unsur hukuman yang mengemuka adalah pembalasan, bukan penjeraan,” kata ahli hukum pidana/kriminologi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Nur Rochaeti, Rabu (21/5). Butuh kajian lebih lanjut untuk menentukan hukuman yang sesuai tujuan pemidanaan, yaitu menimbulkan efek jera dan tak menurunkan derajat kemanusiaan pelaku dan korban.

Kejahatan seksual yang melanggar hak-hak anak mungkin tak sepenuhnya tanggung jawab pelaku. Negara, keluarga, orangtua, sekolah, dan masyarakat punya tanggung jawab sama. Penjatuhan hukuman berat merupakan bentuk lepas tangan negara dan masyarakat yang membuat penjahat seksual leluasa mencari mangsa.

Psikiater Konsultan di RSUD Dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, menambahkan, penetapan hukuman bagi penjahat seksual harus dilakukan holistik. ”Hukuman bagi mereka memang harus diperberat, tetapi bentuk dan lama hukumannya harus dikaji mendalam,” ujarnya.

Karena itu, hukuman berat bagi pelaku saja juga tidak cukup. Hukuman juga harus memberikan efek jera jangka panjang pada pelaku dan mendorong upaya pencegahan, baik oleh negara maupun masyarakat, agar kejahatan serupa tak berulang.

Tak komprehensif
Nalini mengatakan, sebagai salah satu solusi, suntik kebiri bisa dipertimbangkan. Namun, pelaksanaannya perlu dikaji terlebih dahulu dan tak bisa dilakukan pada semua pelaku.

Suntik kebiri bersifat temporal. Setelah masa hukuman selesai, minat seksual pelaku yang menyimpang akan kembali seperti semula. Bentuk hukuman itu juga rentan balas dendam dan agresi pelaku dalam bentuk kekerasan berbeda.

Jika suntik kebiri dilakukan hanya pada paedofil, hal itu dianggap tidak adil. Korban kejahatan seksual bukan hanya anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa. Semua korban itu mengalami trauma psikologis yang sama. Penjahatnya pun, baik paedofil maupun pemerkosa, banyak yang lepas dari jeratan hukum.

Penjatuhan hukuman seharusnya memperhatikan kondisi psikodinamika pelaku yang mendorong mereka melakukan kejahatan seksual pada anak. Suntik kebiri tidak menyelesaikan persoalan itu.

Menurut Nalini, penjahat seksual pada anak bisa dipicu persoalan medis, mulai dari kelainan di otak, gangguan hormonal atau juga persoalan psikologis, baik berupa gangguan parafilia maupun soal kepribadian.

Banyak penjahat seksual terhadap anak saat ini, dulunya korban yang tak mendapat penanganan trauma dengan baik. Bahkan, beberapa di antaranya tidak terdeteksi menjadi korban hingga mereka dewasa dan melakukan hal yang sama terhadap anak-anak lain.

”Jika kepada mereka dikenakan hukuman maksimal, itu tidak adil karena negara dan masyarakat lalai mencegah hingga korban-korban baru terus bermunculan,” katanya.

Tak sekadar hukuman berat dan memperhatikan kondisi medis dan psikologis pelaku, pelaksanaan hukuman pun harus konsisten, meniadakan keringanan atau pemotongan hukuman pidana, serta proses eksekusi hukuman yang segera sejak putusan hukuman yang bersifat tetap dijatuhkan.

Semakin lama jarak antara waktu kejadian dan penetapan hukuman yang bersifat tetap serta waktu eksekusi, maka sulit menimbulkan efek jera. Kondisi itu justru sering menimbulkan simpati publik kepada pelaku.

Nur menambahkan, pemenjaraan bagi penjahat seksual terhadap anak juga perlu dipertimbangkan matang. Jika selama dipenjara mereka tidak mendapatkan rehabilitasi psikologis apa pun, proses penghukuman itu dipastikan tidak akan menjerakan pelaku. Sebab, minat seksual pelaku yang menyimpang tidak ditangani.

”Akibatnya, saat masa hukumannya habis dan keluar dari penjara, mereka akan tetap mencari korban baru,” katanya.

Oleh karena itu, selama di penjara, para penjahat seksual itu seharusnya mendapat terapi dari psikiater atau psikolog yang jumlahnya saat ini masih sangat terbatas. Pengabaian penanganan psikologis pelaku sama dengan menabung masalah karena sumber utama persoalan tak terselesaikan.

Rantai kekerasan
Perdebatan terhadap hukuman yang tepat bagi pelaku tak boleh membuat negara dan masyarakat lupa menangani korban yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pelaku. Belum lagi korban memiliki kecenderungan meniru kejahatan seksual yang sama seperti yang pernah mereka alami.

Nur mengatakan, rehabilitasi terhadap korban bisa menjadi alat yang efektif untuk memotong rantai kekerasan seksual di masyarakat. Tahap ini bukan hanya menjadi domain psikiater atau psikolog, melainkan orangtua yang lebih banyak waktu berinteraksi dengan anak punya andil paling besar.

Masyarakat dan negara pun bertanggung jawab menciptakan lingkungan ramah anak. Nyatanya, sehari-hari, anak-anak justru terpapar kekerasan verbal, emosional, fisik, dan seksual, termasuk dari lingkungan sekitar. ”Lingkungan penuh kekerasan hanya akan melahirkan generasi yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan pula,” tambah Nalini.

Oleh: M Zaid Wahyudi

Sumber: Kompas, 23 Mei 2014

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB