Sejak program kantong plastik berbayar digagas pemerintah pada November 2015, isu itu terus menggelinding. Di luar pro dan kontra, survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta harian Kompas menunjukkan, sebagian besar masyarakat sepakat langkah itu harus dimulai.
Konsumsi kantong plastik yang amat tinggi di Indonesia, mencapai 9,6 juta lembar kantong plastik per hari dari ritel modern saja, berkontribusi menimbulkan masalah timbunan sampah. Pengandaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kantong plastik sebanyak itu bisa menutup lahan seluas 65,7 hektar per bulan atau 21.024 hektar per tahun. Apabila kantong plastik ini dibuang begitu saja, bisa menutup Kota Bandung dan daerah sekitarnya. Tak heran, di mana-mana media lingkungan, sampah plastik, baik kantong plastik maupun kemasan lain, menjadi masalah.
Dukungan akan program pun bermunculan, mulai dari peritel yang diwakili Asosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (Aprindo), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), wali kota, hingga Kementerian Perdagangan. Saat mengikuti beberapa pertemuan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, para wali kota tampak antusias dengan program ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wali Kota Ambon, misalnya, langsung menyebut angka Rp 5.000 sebagai harga kantong plastik. Usulan ini 10 kali lipat lebih mahal daripada angka yang dicetuskan KLHK.
Pemerintah berharap, diciptakan sistem pemanfaatan dari sisa biaya modal yang dijadikan dana bagi pengelolaan sampah. Namun, Aprindo segera merespons tak dibebani uang pengelolaan.
Peritel yang bakal menjadi pelaksana teknis di lapangan dan berhadapan dengan konsumen tak mau mekanisme yang rumit dalam program ini. Alasannya, mekanisme pemerintah itu membuat dana konsumen ada yang dipegang peritel.
Para peritel modern yang memiliki sistem penjualan dan pengadaan terkomputerisasi serta mekanisme penjualan keberatan. Aprindo kemudian memunculkan angka Rp 200 per lembar kantong plastik. Besaran harga ini dinilai Aprindo sebagai angka ideal untuk memulai uji coba program. Alasannya memang masuk akal.
Konsumen yang biasa mendapat kantong plastik secara gratis dari peritel kini harus membayarnya. Namun, sebagian pihak berpendapat, harga Rp 200 tak akan mencapai tujuan pengurangan timbunan sampah.
Untuk sementara, pemerintah akhirnya mengalah. Harga disepakati minimal Rp 200 agar peluncuran uji coba program plastik berbayar yang menurut rencana dihadiri Presiden Joko Widodo, 21 Februari 2016, di Jakarta, bisa berlangsung sesuai jadwal untuk memperingati Hari Peduli Sampah Nasional.
Disetujui, toh, baru uji coba. Setelah uji coba berakhir 5 Juni 2016, bisa dievaluasi. Ini yang menjadi tameng pejabat terkait pro-kontra harga.
Namun, sebenarnya, apabila tujuan utama hendak mengurangi timbunan sampah dan semua sepakat memandang penggunaan plastik (atau khususnya kantong plastik) perlu dibatasi, tak perlu membuat mekanisme rumit di hilir. Cukup mengatur di tingkat hulu atau produsen plastik.
Tahun 2011, Kementerian Lingkungan Hidup-kini KLHK-mewacanakan penerapan cukai pada kantong plastik. Plastik diberlakukan seperti rokok dan minuman beralkohol yang membahayakan bagi kesehatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11/1995 tentang Cukai, cukai bisa diterapkan terhadap barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu, di antaranya konsumsinya perlu dikendalikan dan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Plastik satu di antaranya. (ICH)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Pembatasan Keresek Bisa di Hulu”.