Satu juta spesies flora dan fauna yang menuju kepunahan menandai krisis ekosistem global yang dampaknya akan dirasakan semua orang. Untuk itu, semua negara dituntut menyelaraskan pembangunannya agar tidak memperparah kriris ekosistem global ini.
Indonesia yang menjadi salah satu pemilik keragaman hayati tertinggi di dunia saat ini menjadi sorotan karena laju degradasi lingkungan dan kepunahan spesies flora dan faunanya terjadi dengan cepat.
“Pembangunan tidak bisa dihentikan, tetapi bagaimana hal itu dilakukan secara lebih ramah lingkungan sehingga tidak memperarah laju kehilangan spesies. Kita sebenarnya sudah punya banyak peraturan tentang ini, tetapi yang dibutuhkan lebih pada aksi nyata karena kondisinya memang sudah sangat mengkhawatirkan,” kata Prof Gono Semiadi, ahli biologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jakarta, Jumat (10/5). Gono merupakan National Focal Point Indonesia untuk The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Gono, dampak bagi dergradasi eksositem dan berkuranganya spesies akan sama besarnya dengan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia di masa depan. Tak hanya pemerintah, menurut Gono, masyarakat dan swasta, juga dituntut turut bertanggungjawab mengatasi persoalan bersama.
“Ada banyak inisiatif yang bisa dilakukan,” katanya. Salah satu bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah mengganti pupuk kimia dan mengurangi penggunaan pestisida agar tak mengancam serangga penyerbuk dan mikroorganisme tanah. Pertanian monokultur harus diganti dengan permakultur sehingga mengembalaikan keberagaman hayati.
“Prinsipnya kita harus menyeimbangkan berbagai kepentingan. Dunia bisnis harus betul-betul ikut bertanggung jawab, tidak hanya secara finansial, tetapi juga model bisnis yang diterapkan. Jangan beranggapan bahwa kehilangan spesies ini urusan orang konservasi, ini kepentingan semua dan akan berdampak kepada semua orang,” ungkapnya.
Laporan IPBES menunjukkan, sektor pertanian menjadi pemicu utama degradasi lingkungan dan menyusutnya spesis. Degradasai lahan yang disebabkan hilangnya mikroorganisme tanah telah mencapai tahap kritis dan mengancam kehidupan 3,2 miliar orang. Ekosistem lahan basah, termasuk gambut, termasuk yang paling parah terdampak. Telah hilang hampir 50 persen sejak 1900. Kehancuran ekosistem ini akan mengurangi produksi tanaman pangan dan obat-obatan hingga 10 persen dalam 30 tahun ke depan.
Ibukota baru
Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Suprijatna mengatakan, untuk mengurangai tekanan terhadap ekosistem, pembukaan hutan yang tersisa demi alasan pembangunan harusnya dihentikan. Pembangunan bisa mengoptimalkan hutan yang sudah telanjur dibuka.
Oleh karena itu, terkait rencana pembangunan ibukota baru diharapkan bisa menerapkan prinsip meminimalkan tekanan terhadap keberagaman hayati ini, tidak hanya pertimbangan ekonomi. Mulai dari pemilihan lokasi, hingga proses pembangunannya harus memperhatikan dampaknya terhadap eksosistem.
Pulau Kalimantan yang saat ini menjadi salah satu calon ibukota baru termasuk yang paling rusak ekosistemnya. “Hutan di sana hampir habis, terutama karena menjadi perkebunan sawit dan pertambangan skala besar. Jangan sampai lokasi ibukota baru yang dipilih dengan mengonversi hutan lagi,” kata Jatna.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Merah Johansyah menyarankan, lokasi yang diperuntukkan ibukota baru di Kalimantan sebaiknya dari area bekas konsesi pertambangan atau perkebunan sawit. “Kalau tetap mau di Kalimantan, pilihannya bekas tambang atau perkebunan sawit. Sekalian pemerintah bisa menunjukkan inisiatif baik dengan merehabilitasi lahan marjinal bekas industri untuk fungsi lebih baik,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 11 Mei 2019