BARANGKALI Arswendo Atmowiloto mengada-ada atau bercanda ketika menulis buku Mengarang Itu Gampang, karena mengarang sesungguhnya tidaklah gampang! Belakangan ini perkara pelajaran mengarang kembali mengemuka diperbicarakan. Pelajaran mengarang pun disebut-sebut akan diikutkan lagi ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran tersendiri, bukan sebagai bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia lagi.
Apakah mengarang itu sehingga dianggap penting kini? Pertama, mengarang adalah kemampuan untuk menceritakan sesuatu dengan bahasa yang baik. Isi karangan bisa apa saja, baik fakta maupun dusta, ilmiah atau mungkin fiksi. Sama sebagaimana hal-hal lain, berhasil atau gagalnya kita dalam mengarang sangat bergantung kepada kemauan kita untuk berlatih. Jadi, dalam pelajaran mengarang seseorang dibimbing untuk berlatih mengungkapkan buah pemikirannya sehubungan dengan pengalamannya, atau rekaan panca inderanya, atau pula pengamatannya terhadap fenomena alam dan lain-lain.
Tentu saja tidak ada angka buruk untuk pelajaran mengarang, selama penilaian terhadap suatu hasil karangan bukan melulu pada tata bahasa. Ingat, bahwa kita telah berikhtiar melepaskan pelajaran mengarang dari pelajaran bahasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
AGAR tidak terjebak menjadi pelajaran tata bahasa, maka pelajaran mengarang harus difokuskan pada pelatihan berkomunikasi. Benar, bolak-balik kita pasti kembali kepada bahasan tentang bahasa, sebab komunikasi mesti disampaikan melalui suatu bahasa juga, bukan? Maksudnya di sini, janganlah seseorang dibikin frustrasi dan tidak mau lagi berlatih mengarang lantaran bahasa karangannya terus-menerus dicela. Biarkan saja dulu orang mengarang dengan bahasa amburadul sesukanya dulu, karena pada giliran lain dia akan mengikuti mata pelajaran tata bahasa yang bermanfaat memperbaiki mutu bahasanya.
Mulailah pelajaran mengarang dengan menulis buku harian. Mengapa buku harian? Karena buku harian adalah monolog kepada diri sendiri yang tidak perlu dinilai ini-itunya oleh orang lain. Tidak ada orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri, bukan? Kenangan manis, caci-maki, rahasia, atau apa saja bisa kita tulis dalam buku harian dengan bahasa semau kita, dan tidak usah dibaca –apalagi dinilai–oleh orang lain!
Setelah bosan menulis buku harian, cobalah menulis surat, sebab monolog itu monoton. Lagi pula, terlalu banyak menulis buku harian bisa membuat orang menjadi gila! Kita menulis atau mengarang surat karena ingin surat kita dibaca orang lain. Supaya bisa dibaca dan dimengerti orang lain, tentu surat harus ditulis dengan terencana, cerdas, dan dalam bahasa yang agak baguslah. Cobalah menulis surat kepada sahabat terdekat dulu? Pilihlah menulis kepada sahabat yang tidak rewel dan tidak suka mengkritik. Atau, buatlah surat cinta. Usahakan menciptakan dialog.
Tahap terakhir dalam pelajaran mengarang adalah membuat tulisan yang akan dibaca semua orang dan siapa saja. Monolog dalam buku harian dan dialog melalui surat sudah kita lampaui. Sekarang kita hendak berbicara kepada dunia. Marilah kita sekarang membuat cerita yang sebagus-bagusnya dalam bahasa yang seindah-indahnya.
APA yang dapat kita lakukan untuk menciptakan suasana kondusif demi suksesnya pelajaran mengarang di sekolah? Intrik klasiknya adalah dengan mengadakan sayembara mengarang. Meskipun kuno, sayembara dengan hadiah besar masih bisa saja menarik perhatian.
Guru sekali-kali janganlah merasa terbebani oleh mata pelajaran mengarang ini. Benar belaka, bahwa meneliti karangan yang sama sekali subyektif memerlukan waktu dan perhatian yang jauh lebih besar daripada sekadar memeriksa lembar jawaban ujian obyektif yang hanya terdiri atas huruf-huruf (a, b, atau c). Di sinilah hikmahnya, siapa tahu alasan keberadaan pelajaran mengarang dan repotnya mengoreksi hasil karangan murid-murid akan ampuh mengatrol kenaikan gaji guru. Mudah-mudahanlah pelajaran mengarang ini memang suatu blessing in disquise.
Bangsa Indonesia mempunyai budaya lisan yang sangat panjang, jauh sebelum CH van Opphuijsen mentranskrip bahasa Melayu dari huruf Arab ke aksara dan ejaan Latin. Para “pokrol bambu” dan tukang dongeng adalah pencerita yang andal, tetapi mereka tidak efektif dan kurang berhasil menyumbang kepada budaya tulis, lantaran buta huruf. Boleh jadi, inilah salah satu hambatan yang menahan laju sejarah karang-mengarang kita. Tetapi, sudahlah, bukankah dewasa ini kita punya Goenawan Mohamad, Pramoedya Ananta Toer, dan Enny Arrow?
Seorang kerabat penulis pernah ditertawai ramai-ramai ketika ketahuan menulis surat kepada orang tuanya sambil bercerita tentang peristiwa ayam berkelahi yang disaksikannya beberapa hari yang lalu. “Yang begitu saja, kok, ditulis? Ha, ha, ha!” Padahal soal mengarang itu bukan masalah tema besar atau tema kecil, melainkan kemauan dan niat kita untuk memulai bercerita tentang apa saja, termasuk tentang ayam yang berkelahi atau peledakan bom!***
Lie Charlie, penulis adalah sarjana Tata Bahasa Indonesia lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2000