Sepertiga temuan fosil Homo erectus dunia ada di Indonesia. Untuk itu, Nusantara menjadi penting bagi dunia dalam mempelajari evolusi manusia melalui studi antropologi.
Mempertimbangkan potensi tersebut, seorang pastor asal Polandia, sekaligus perintis antropologi ragawi, Prof Habil Josef Glinka, SVD, menginginkan agar Indonesia jangan menjadi tamu di wilayah sendiri dalam berbagai penelitian dan penemuan penting evolusi manusia.
Pastor Glinka sejak 1965 mengabdikan hidupnya di Indonesia. Selama 19 tahun mengajar di Seminari Ledalero, Flores, imam dari kongregasi SVD (Serikat Sabda Allah) ini turut meluluskan 600 pastor yang 14 di antaranya menjadi uskup.
Kemudian, Glinka selama 27 tahun mengajar di Universitas Airlangga dan turut membangun dan mengembangkan Departemen Antropologi dengan telah meluluskan 1.000 antropolog yang 14 di antaranya doktor dan 1 guru besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Peluncuran buku berjudul Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD, Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia karya Bernada Rurit, Minggu (26/8/2018) malam, di Surabaya, Jawa Timur.
”Pastor Glinka berjasa dalam pengembangan ilmu antropologi ragawi,” ujar Bernada Rurit, penulis buku, saat meluncurkan karyanya yang berjudul Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD, Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia, Minggu (26/8/2018) malam, di Surabaya.
Pastor Glinka merupakan satu-satunya perintis antropologi ragawi di Indonesia yang masih hidup. Tiga ilmuwan lainnya telah berpulang, yakni Prof CARD Snell (Belanda) dan drg Adi Sukadana dari Universitas Airlangga, serta Prof Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada.
Pastor Glinka telah menghasilkan puluhan publikasi dan buku tentang antropologi. Dalam penelitiannya, ia membagi penduduk Indonesia atas tiga kelompok rasial, yaitu Protomalayid di Indonesia timur, Deuteromalayid di Indonesia barat, dan Dayakid di Kalimantan, Jambi, dan Filipina utara.
Data etnogenesis berguna untuk mendeteksi afiliasi suatu populasi dengan populasi lainnya. Selain itu, mendeteksi tren penyakit tertentu karena punya hubungan dengan kelompok rasial. Setiap kelompok populasi punya gene pool sendiri yang berkarakter berbeda. Nah, pengelompokan oleh Pastor Glinka menjadi rujukan peneliti antropologi ragawi internasional.
Rurit menulis pandangan palaeoantropolog UGM, Rusyad Adi Suriyanto, yang juga merupakan mahasiswa Prof Glinka. Dengan ditemukannya sepertiga fosil Homo erectus dunia, Indonesia punya harta karun yang teramat mahal bagi dunia. Palaeoantropolog jika ingin menjadi yang terkemuka tidak akan bisa jika mengesampingkan penelitian di Indonesia.
Unik
Antropologi ragawi di Indonesia, khususnya di Unair, dalam perjalanan yang turut dirintis oleh Prof Glinka dipandang unik karena berada dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Namun, antropologi ragawi itu berkelindan dengan antropologi budaya yang di dalamnya termasuk antropologi kesehatan.
Ini berbeda dengan antropologi ragawi di Eropa yang berada di Fakultas Kedokteran atau di Amerika dan Australia yang berada di bawah Fakultas Kedokteran atau Fakultas Biologi.
Unair mempunyai tiga pakar gemblengan Prof Glinka. Mereka adalah Prof Myrta Artaria, PhD yang pakar antropologi dental, Dr Toetik Koesbardiati yang pakar palaeoantropologi dan antropologi forensik, dan Dr Lucy Dyah Hendrawati yang pakar biososial manusia.
”Antropologi kesehatan masuk dalam antropologi budaya, tetapi bagaimana mengerti kesehatan dari aspek fisik dijelaskan melalui antropologi ragawi,” ujar Toetik.
Dalam pandangan Pastor Glinka, antropologi ragawi mempelajari manusia dari sudut pandang biologis dalam kerangka perkembangan hidup manusia dengan penekanan pada interaksi antara biologi, lingkungan, dan budaya. Kalangan publik kerap keliru memersepsikan antropologi merupakan studi terhadap fosil, batu, bangunan tua, suku terasing, seni tradisional, bahkan diinterpretasikan sebagai ilmu nujum perbintangan.
Padahal, dalam perkembangan zaman, antropologi ragawi dapat secara luas divariasikan dengan menyentuh aspek forensik, industri, militer, olahraga, dan antropogeografi. Dalam forensik, studi antropologi ragawi dapat membantu tim kedokteran forensik menentukan jenis kelamin, ras, dan kelompok etnis seseorang korban kejahatan.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Pastor Habil Josef Glinka, SVD menerima pemberian saat peluncuran buku berjudul Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD, Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia dari sang penulis Bernada Rurit, Minggu (26/8/2018) malam, di Surabaya.
Pastor Glinka yang telah 86 tahun dalam kesaksiannya saat menerima buku dari Bernada dari kursi roda mengatakan, perjalanan hidupnya sebagai imam dan pengajar antropologi merupakan panggilan hidup. Ia amat mencintai Indonesia meski status kewarganegaraannya tetap sebagai orang Polandia dengan warna bendera berkebalikan dengan bendera Indonesia. ”Penghargaan buku ini begitu luar biasa,” katanya dengan terbata-bata.–AMBROSIUS HARTO
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2018