“Homo Floresiensis”, Harta Arkeologi

- Editor

Kamis, 9 Desember 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Temuan Homo floresiensis di Liang Bua menunjukkan peradaban Pulau Flores sudah sangat tua. Fosil itu diperkirakan setara dengan Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo.

Kedua fosil termasuk manusia purba yang memiliki ciri-ciri berbeda dengan manusia modern (Homo sapiens). Fosil Homo floresiensis yang dijuluki hobbit (manusia kerdil) telah mengguncang dunia arkeologi dan menjadi perdebatan sampai kini.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti sejak tahun 1970-an. Sempat terhenti karena kesulitan dana, penelitian dimulai lagi tahun 2001 bekerja sama dengan peneliti dari Australia. Tahun 2003, mereka menemukan kerangka manusia kerdil yang menghebohkan itu, yaitu kerangka perempuan setinggi 100 sentimeter (cm) yang diperkirakan terpendam lebih dari 10.000 tahun lalu. Hingga kini tim masih menggali Liang Bua. Lubang menganga dengan mudah ditemui di lantai gua.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hujan mengguyur deras ketika Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT tiba di Liang Bua pada pertengahan Oktober lalu. Liang Bua (gua dingin) menjadi hunian ideal untuk berteduh dari derasnya hujan maupun teriknya matahari. Penjaga Liang Bua, Cornelis, menghampiri kami dan menawarkan jasa bertemu manusia kerdil dari Dusun Rampasasa, Kelurahan Waemulu, Kecamatan Waeriri.

Kehadiran lelaki kerdil Victor Dau (80) di Liang Bua menghidupkan gambaran tentang manusia kerdil Homo floresiensis. Dengan tinggi 135 cm, Victor yang tidak bisa berbahasa Indonesia ini mengaku sebagai keturunan dari manusia kerdil yang fosilnya ditemukan terkubur di Liang Bua.

Keberadaan manusia kerdil berukuran kurang dari 150 cm di Dusun Rampasasa memperuncing perdebatan di kalangan ilmuwan. Peneliti Puslit Arkenas meyakini Homo floresiensis adalah spesies purba yang telah punah dan tidak memiliki kaitan dengan manusia kerdil dari dusun itu.

Sebaliknya, tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipimpin almarhum Prof Dr Teuku Jacob dan Kepala Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM Etty Indriati yang meneliti warga Rampasasa berpendapat, ada hubungan erat antara Homo floresiensis dan manusia kerdil Rampasasa. Menurut mereka, temuan kerangka di Liang Bua adalah manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya kerdil. Mereka menduga, manusia Flores itu adalah salah satu subspesies Homo sapiens ras Austrolomelanesid.

Saat ini, menurut Etty, tim UGM belum melanjutkan penelitian karena kekurangan ahli antropologi forensik.

Sebelum tim Puslit Arkenas, seorang pastor yang mendirikan sekolah di Liang Bua, Pastor Verhoeven, menggali dan menemukan beragam bekal kubur serta kerangka manusia modern pada tahun 1965.

Miskin

Kendati Liang Bua telah tersohor ke seluruh dunia, warga masih dibekap kemiskinan.

Namun, warga Rampasasa sangat ramah. Tamu akan disambut dengan tetabuhan gendang, secangkir kopi, dan sebotol bir. Anak-anak dengan pandangan ingin tahu segera mengerumuni tamu yang berkunjung ke dusun yang belum tersentuh jaringan listrik maupun air bersih itu.

Empat orang kepala suku—Darius Skak, Petrus Ontas, Rovinus Dangkut, dan Victor Jurubu—menyambut kedatangan kami di rumah adat. Jagung kering tergantung di atap rumah berlantai tanah dengan kalender bergambar artis Ibu Kota menempel di dinding bambunya.

Mayoritas warga Rampasasa bekerja sebagai petani atau buruh proyek dengan upah Rp 30.000 per hari. Anak-anak harus berjalan kaki 3 kilometer (km) ke sekolah dasar dan 15 km ke sekolah menengah pertama terdekat. Sumber air mereka berasal dari sungai.

Ada 70 dari 250 warga dusun itu yang memiliki tinggi kurang dari 150 cm. Menurut Victor, warga mendengar kisah nenek moyang manusia kerdil yang tinggal di gua secara turun- temurun.

Karena desakan kebutuhan ekonomi, warga Rampasasa mulai meninggalkan kepercayaan lama. Larangan mengukur tubuh, misalnya, dilanggar demi mendapat uang. Warga juga bersedia diambil darah untuk uji DNA dengan imbalan Rp 150.000 per orang.

Ketua Tim Penelitian Liang Bua dari Puslit Arkenas, Wahyu Saptomo, tetap yakin bahwa Homo floresiensis adalah spesies berbeda dalam garis evolusi manusia. Manusia kerdil ini memiliki pergelangan kaki dan tangan dengan ciri di antara manusia kera dan manusia modern.

Ciri lain, tulang kening sangat menonjol, tidak memiliki dagu, dan volume otak hanya 430 cc. Ini berbeda dengan manusia modern yang volume otaknya 1.400 cc. Homo floresiensis diperkirakan hidup di zaman pleistosen (2 juta-12.000 SM).

Menurut ahli alat batu dari Arkenas, Jatmiko, Liang Bua memiliki empat lapisan kebudayaan prasejarah dari masa paleolitik (batu tua), mesolitik, neolitik, dan paleometalik (logam awal), berupa alat batu seperti kapak perimbas mulai dari yang buatannya masih kasar sampai halus, serta mata anak panah dari logam.

Saat ini, tim Arkenas meneliti temuan lain berupa peninggalan artefak batu berusia sekitar 1 juta tahun di Cekungan Sowa, Flores tengah.

Seluruh temuan arkeologi di Pulau Flores menunjukkan hadirnya peradaban yang sangat tua. Peradaban tua itu setara dengan dunia lama di Pulau Jawa. Saat ini, pewaris peradaban itu harus dibangkitkan dari keterpurukan akibat kemiskinan.[MAWAR KUSUMA WULAN dan BENNY D KOESTANTO]

Keterangan foto: Victor Dau, warga Kampung Rampasasa, Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/10), di situs Liang Bua, lokasi penemuan fosil manusia purba. Sebagian warga Kampung Rampasasa bertubuh kerdil dengan tinggi 130-145 sentimeter.

Sumber: Kompas, Kamis, 9 Desember 2010 | 05:16 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB