Pastikan Anak Cakap secara Emosional Saat Gunakan Media Digital

- Editor

Kamis, 16 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kegagapan orangtua dalam menggunakan teknologi informasi berdampak terhadap minimnya literasi digital pada anak. Kondisi ini membuat sebagian anak tidak paham mengenai pola interaksi digital dan etika digital yang seharusnya dimiliki. Dampaknya, ketagihan bermedia digital serta perundungan digital marak terjadi.

”Literasi digital itu tidak hanya keterampilan menggunakan media digital saja, tetapi juga punya kecakapan secara emosional. Keterampilan digital yang dimiliki akan membahayakan kalau tidak ada kecakapan emosional dari anak,” ujar peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aulia Hadi, pada diskusi publik dalam rangka memperingati Hari Keluarga Internasional, Rabu (15/5/2019), di Jakarta.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA–Anak-anak menonton video melalui kanal Youtube di perangkat tablet.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia menyampaikan, kecakapan emosional ini berarti anak sudah paham tentang pola interaksi di media digital. Anak mengerti privasi yang harus dijaga ketika menggunakan media digital, termasuk batasan dalam berbagi informasi seperti foto dan video.

Selain itu, nilai dalam masyarakat serta etika di dunia digital menjadi bekal yang harus diterapkan dalam pola pengasuhan digital oleh orangtua. Hal ini untuk mencegah terjadinya adiksi dalam bermedia digital, perundungan digital atau cyberbullying, serta eksploitasi seksual.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Aulia Hadi.

Sayangnya, kata Aulia, sebagian besar orangtua beranggapan anaknya lebih memahami media digital dibandingkan dirinya sehingga kecakapan bermedia digital yang seharusnya diajarkan orangtua tidak dilakukan. Orangtua pun cenderung enggan belajar mengenai dunia digital.

”Padahal, hanya karena anak tahu menggunakan Instagram atau Twitter tidak berarti mereka tahu bagaimana menggunakan teknologi dengan benar dan bermanfaat. Bisa jadi justru sebaliknya,” ujarnya.

Pengasuhan digital yang bisa diberikan kepada anak antara lain dengan menemani dan mengawasi anak ketika mengakses media digital. Orangtua juga harus menyeleksi aplikasi serta isi media digital yang diakses.

Ketika remaja, anak perlu mulai diajak berdiskusi dan memahami pesan dalam media digital, seperti subyek atau pembuat isi pesan, arti dari isi pesan tersebut, serta dampak dari pesan yang disampaikan. Jika perlu, latih pula anak untuk menciptakan isi media digital yang positif.

Literasi digital pada anak dan remaja sangat penting karena jumlah pengguna internet pada usia belia cukup tinggi. Dari laporan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 mencatat, dari 143,26 juta jiwa pengguna internet di Indonesia, 16,68 persen di antaranya berusia 13-18 tahun. Bahkan, hampir 20 persen anak di Indonesia sudah mengenal internet dan media digital sejak usia balita.

KOMPAS/LASTI KURNIA–Orangtua dan anak mendiskusikan berbagai hal dalam kehidupan, termasuk mendiskusikan konten yang dibaca sang anak dari gawai mereka, Jumat (3/5/2019), di Jakarta.

Peran keluarga
Oleh karena itu, keluarga menjadi fondasi utama untuk menguatkan literasi digital pada anak. Keluarga menjadi awal literasi digital dilakukan. ”Keluarga berperan kuat dalam menerapkan literasi digital sekaligus membentuk konstruksi identitas anak di dunia digital,” kata Aulia.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Agustina Situmorang, berpendapat, orangtua saat ini punya tantangan yang besar dalam mendidik anak di era digital. Apabila pola komunikasi tatap muka yang dijalin kurang baik, pendidikan literasi digital yang diberikan akan susah.

”Usia anak, khususnya remaja, sulit ditebak. Remaja kadang tidak mau jika orangtuanya turut berelasi di media sosial. Namun, ketika tidak mengikuti perkembangan dunia digital akan disebut kudet (kurang update). Meski begitu, orangtua jangan pernah berhenti untuk belajar di dunia digital,” katanya.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA—Peneliti Tim Remaja Kelompok Penelitian Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Agustina Situmorang.

Minimnya literasi digital yang dimiliki oleh anak salah satunya berdampak pada risiko kekerasan emosional yang dialami di media digital. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2018 menunjukkan, tiga dari empat anak mengalami kekerasan emosional di media digital dari teman sebayanya.

Kekerasan ini tidak hanya dialami oleh remaja di kota saja, melainkan di wilayah desa. Setidaknya, dari 4.754 remaja laki-laki dan 5.090 remaja perempuan yang diteliti, 15,1 persen remaja laki-laki yang tinggal di kota dan 13,3 persen remaja laki-laki di desa pernah mengalami kekerasan emosional di media digital. Sementara 12,6 persen remaja perempuan di kota dan 12,8 persen remaja perempuan di desa juga mengalami hal yang sama.

Agustina mengatakan, remaja yang tidak mempunyai hubungan emosional yang baik dengan orangtua lebih sering menjadi korban perundungan digital. Sebagian besar remaja tidak menceritakan masalah perundungan yang dialami kepada orangtua. Hal ini karena remaja beranggapan bahwa orangtua kurang paham dan tidak dapat melindungi mereka dari risiko ”kehidupan” di dunia digital.

”Untuk itu, orangtua diharapkan dapat lebih aktif dalam berinteraksi dengan remaja dan berusaha untuk mendengar meskipun terkadang bertentangan dengan pandangan orangtua. Anak saat ini lebih bisa menerima nasihat dengan cara berdiskusi, bukan satu arah atau otoriter,” ujarnya.

Editor EMILIUS CAESAR ALEXEY

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB