Nobel Kedokteran bagi Tiga Ilmuwan Penemu Virus Hepatitis C

- Editor

Rabu, 14 Oktober 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Nobel Committee member Patrik Ernfors sits in front of a screen displaying the winners of the 2020 Nobel Prize in Physiology or Medicine, (L-R) American Harvey Alter, Briton Michael Houghton and American Charles Rice, during a press conference at the Karolinska Institute in Stockholm, Sweden, on October 5, 2020. - Americans Harvey Alter and Charles Rice as well as Briton Michael Houghton win the 2020 Nobel Medicine Prize for the discovery of Hepatitis C virus. (Photo by Jonathan NACKSTRAND / AFP)

Nobel Committee member Patrik Ernfors sits in front of a screen displaying the winners of the 2020 Nobel Prize in Physiology or Medicine, (L-R) American Harvey Alter, Briton Michael Houghton and American Charles Rice, during a press conference at the Karolinska Institute in Stockholm, Sweden, on October 5, 2020. - Americans Harvey Alter and Charles Rice as well as Briton Michael Houghton win the 2020 Nobel Medicine Prize for the discovery of Hepatitis C virus. (Photo by Jonathan NACKSTRAND / AFP)

Penemuan virus penyebab hepatitis C mendorong dikembangkannya tes darah, obat, dan vaksin yang mampu menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

AFP/JONATHAN NACKSTRAND—Komite Nobel duduk di depan layar yang menampilkan penerima Nobel Kedokteran 2020; Harvey J Alter dari Amerika Serikat, Michael Houghton dari Inggris, dan Charles M Rice asal Amerika Serikat (dari kiri ke kanan), saat konferensi pers di Karolinska Institute, di Stockholm, Swedia, Senin (5/10/2020). Ketiganya berjasa atas penemuan virus hepatitis C. Penemuan virus hepatitis C telah mengungkap penyebab kasus hepatitis kronik dan memungkinkan pengembangan tes darah, obat-obatan baru, dan vaksin yang telah menyelamatkan jutaan nyawa.

Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2020 diberikan kepada tiga ilmuwan yang berhasil menemukan virus hepatitis C. Berkat temuan mereka, jutaan nyawa di seluruh dunia bisa diselamatkan hingga meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat global.

Sekretaris Jenderal Komite Nobel Thomas Perlmann di Institut Kesehatan Karolinska, Stockholm, Swedia, Senin (5/10/2020), mengumumkan penemu virus hepatitis C yang mendapat Nobel Fisiologi atau Kedokteran itu. Mereka adalah Harvey J Alter (85), Michael Houghton (70), dan Charles M Rice (68).

Ketiga ilmuwan tersebut hingga kini masih aktif. Alter yang lahir di New York, Amerika Serikat, pada 1935 masih bekerja di Institut Kesehatan Nasional (NIH) Bethesda, AS. Houghton, pria kelahiran Inggris tahun 1950 itu kini bekerja di Universitas Alberta, Edmonton, Kanada. Sementara Rice yang lahir di Sacramento, AS, pada tahun 1952, kini bekerja di Universitas Rockefeller, New York, AS.

Ketiga ilmuwan itu akan berbagai hadiah sama rata 10 juta krona Swedia atau sekitar Rp 16,6 miliar. Pengumuman Nobel kali ini sedikit berbeda dibanding tahun sebelumnya. Tidak banyak wartawan dari seluruh dunia yang mengikuti pengumuman Nobel secara langsung. Meski demikian, pengumuman itu tetap bisa disaksikan langsung secara virtual seperti tahun-tahun sebelumnya.

Penemuan ini penting karena virus ini menjadi penyebab utama terjadinya hepatitis C, meski penyakit ini juga bisa dipicu oleh penyalahgunaan alkohol, racun lingkungan, dan penyakit autoimun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada lebih dari 70 juta kasus hepatitis C di seluruh dunia dan menyebabkan sekitar 400.000 kematian tiap tahun.

Anggota Komite Nobel, Gunilla Karlsson-Hedestam, mengatakan, virus hepatitus C ini memicu terjadinya peradangan hati (liver) kronik hingga menimbulkan sirosis (jaringan parut di hati) dan karsinoma hepatoseluler (kanker hati). Penyakit tersebut juga menjadi penyebab utama dilakukannya cangkok atau transplantasi hati.

Meski virus penyebab hepatitis C itu sudah ditemukan, nyatanya prosesnya membutuhkan waktu panjang. Pada 1940-an, ada dua jenis hepatitis yang diketahui dunia dan keduanya menular, yaitu hepatitis A yang ditularkan melalui air dan makanan tercemar dan hepatitis yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh.

AFP—Infografik hepatitis C

Jika hepatitis A umumnya bisa disembuhkan dalam beberapa minggu, hepatitis yang ditularkan melalui darah itu bersifat kronik dan berbahaya. Dari hati yang sehat hingga menjadi sirosis atau karsinoma hepatoseluler butuh waktu antara 10-30 tahun. Saat itu, hepatitis kronik sudah menjadi masalah kesehatan global karena tingginya tingkat kesakitan dan kematian yang menyertainya.

Namun, apa yang menjadi penyebab hepatitis kronik itu belum diketahui. Pada 1960-an, Baruch Blumberg menemukan satu jenis hepatitis yang ditularkan melalui darah, yaitu hepatitis B yang disebabkan oleh virus. Atas temuan itu, Blumberg dianugerahi Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1976.

Meski tes darah untuk mendeteksi hepatitis A dan hepatitis B sudah dikembangkan, infeksi hepatitis melalui transfusi darah tetap ada. Namun, apa yang menjadi penyebabnya tetap belum diketahui. Studi yang dilakukan Alter dan tim pada 1972 menunjukkan hepatitis kronik itu bisa ditularkan ke simpanse, satu-satunya inang yang rentan hepatitis kronik selain manusia.

Mereka juga menemukan bahwa agen penyebab hepatitis kronik itu memiliki karakter sebagai virus. Karena itu, Alter dan tim menamai penyakit itu sebagai hepatitis non-A, non-B.

Dari situ, berbagai upaya mengidentifikasi virus penyebab hepatitis non-A, non-B terus dikembangkan. Namun, berbagai cara tradisional yang dilakukan untuk mengisolasi virus tidak membuahkan hasil.

AFP PHOTO /CHIACHI CHANG/NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH/HANDOUT—Harvey Alter, Ilmuwan Amerika Serikat, yang memperoleh Nobel Kedokteran 2020 karena kiprahnya dalam menemukan virus Hepatitis C.

Terobosan baru datang pada 1989 saat Houghton dan tim yang bekerja di perusahaan farmasi Chiron mengembangkan cara yang belum teruji untuk mengisolasi urutan genetik virus. ”Mereka mengombinasikan antara biologi molekuler dan teknik berbasis imunologi untuk mengkloning virus,” kata Karlsson-Hedestam.

Dari upaya tersebut, mereka berhasil mendeteksi bahwa virus yang memicu hepatitis non-A, non-B tersebut berasal dari keluarga Flavivirus yang kemudian dinamai virus hepatitis C. Meski sudah ditemukan, masih ada pertanyaan yang belum terjawab, yaitu apakah hanya virus ini yang bisa memicu hepatitis kronik tersebut atau ada penyebab lain.

Jawaban atas pertanyaan tersebut datang dari studi Rice dan tim pada 1997 yang menyuntikkan bagian tertentu dari asam ribonukleat virus hepatitis C ke simpanse. Hasilnya, tim mendeteksi adanya virus hepatitis C tersebut dalam darah simpanse dan munculnya perubahan patologis yang sama seperti yang terjadi pada manusia yang terinfeksi virus tersebut. Dari temuan ini diperoleh keyakinan bahwa virus hepatitis C saja bisa menyebabkan hepatitis kronik yang ditularkan lewat transfusi darah.

RICHARD SIEMENS / UNIVERSITY OF ALBERTA / AFP—Michael Houghton, Ilmuwan Inggris yang memperoleh Nobel Kedokteran 2020 karena menemukan virus Hepatitis C.

Anggota Komite Nobel, Patrik Ernfors, mengatakan, mengidentifikasi virus penyebab penyakit ini adalah kunci. ”Setelah identifikasi virus penyebab penyakit dilakukan, maka itu akan menjadi titik awal untuk mengembangkan obat-obatan dan vaksin untuk melawan penyakit tersebut,” katanya.

Situasi itu relevan dengan situasi dunia saat ini yang tengah dilanda pandemi Covid-19. Saat ini, ilmuwan dari berbagai dunia berusaha mengidentifikasi virus penyebab korona. Setelah karakter virus diketahui, maka alat uji, vaksin, dan obat bisa dikembangkan guna menyelamatkan jutaan nyawa dari ganasnya virus korona.

Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun ini juga menunjukkan pentingnya riset dasar. Selain itu, butuh waktu yang panjang hingga riset dasar tersebut membuahkan hasil. Selain itu, seperti diungkapkan Perlmann, Komite Nobel butuh waktu untuk menginvestigasi seberapa besar manfaat temuan ini meski riset terakhir dari penerima Nobel tersebut terjadi tahun 1997.

AP PHOTO/JOHN MINCHILLO)—Charles M Rice”Penemuan ini memberikan manfaat besar sekaligus memperbaiki kualitas hidup orang-orang di seluruh dunia,” katanya. (AP/MZW)

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 6 April 2022 - 14:26 WIB

IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya

Selasa, 8 Februari 2022 - 10:57 WIB

Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB