Saat ini telah ada teknologi untuk memantau mutu air sewaktu yang bisa dipakai untuk mengukur kualitas air sungai atau danau. Data yang terekam dari peralatan itu bisa diamati jarak jauh. Dengan teknologi itu, pelaku pencemaran di suatu lokasi bisa dicari.
Dosen manajemen bencana Universitas Pertahanan, Sutopo Purwo Nugroho, yang juga Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, memaparkan hal itu, Minggu (7/1), di Jakarta. Itu terkait kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang rusak parah, antara lain pencemaran limbah industri, limbah rumah tangga, peternakan, dan lahan kritis.
”Teknologi itu mudah dan murah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah bisa membuatnya. Pemantauan bisa dilakukan secara time series (deret waktu) dan dipasang secara spasial (ruang), jadi bisa dibuat peta. Dibuat jaringan pemantau yang mencakup daerah luas, dipantau 24 jam. Pemegang aplikasinya bisa memantau,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia bersama BPPT mengembangkan sistem peringatan dini mutu air dengan teknologi itu. Saat limbah melampaui ambang batas, itu bisa diketahui melalui aplikasi di gawai.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Saluran pembuangan limbah yang masuk ke dalam aliran Sungai Citarum di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/1). Pembuangan limbah pabrik tekstil ke aliran sungai di kawasan ini hingga kini tidak pernah dihentikan oleh pemerintah setempat dan tidak pernah diawasi secara ketat.
Perangkat itu dipasang di Danau Maninjau. Pihaknya mengamati upwelling (massa air panas naik ke lapisan atas) yang mengancam ikan-ikan di keramba jaring apung (KJA).
Penggunaan teknologi dengan pemantauan jarak jauh dan dilakukan menerus seperti itu harus dilakukan. ”Tak bisa lagi memakai cara konvensional dengan mengambil sampling di lokasi tertentu. Saat mengambil sampling, mereka tak membuang limbah,” ujarnya.
Saat ini ada teknologi untuk peringatan dini mutu air. Regulasinya pun lengkap, mulai dari undang-undang hingga peraturan pemerintah yang mengatur tata ruang, sampah, limbah, dan penanganan bencana. Namun, kondisi DAS Citarum amat parah.
”Selama ini ada pembiaran sehingga kondisinya parah. Setahun 12-15 kali banjir di Baleendah, Dayeuhkolot. Warga tambah miskin dan kian susah,” ujarnya. Laju mitigasi kalah cepat dengan laju penyebab banjir. Upaya sejak 2007 berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi bencana di DAS Citarum, tetapi tak membuahkan hasil (Kompas, 5/1).
Penegakan hukum
Sejauh ini, penegakan hukum lemah. Padahal, pembuang limbah dan pembuat pencemaran bisa diancam tuntutan pidana, perdata, dan administrasi. ”Jika penegakan hukum terus dilakukan seperti pada kasus kebakaran, ada hasilnya. Ada sanksi pidana, perdata, dan administrasi. Bisa didenda triliunan rupiah dan dicabut izinnya. Banyak pabrik nakal. Banjir jadi kesempatan membuang limbah,” kata Sutopo.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati mengatakan, penegakan hukum tak bisa dilakukan konvensional. ”Harus diterapkan tanggung renteng, siapa saja terlibat dalam pencemaran itu,” ujarnya.
Pemilik industri juga seharusnya memberi dana di depan untuk risiko pencemaran, seperti dana di pertambangan. ”Pihak perusahaan harus dimintai dana pemulihan lingkungan,” katanya. (ISW)
Sumber: Kompas, 9 Januari 2018