Mitigasi Bencana; Tanggap Darurat Tidaklah Cukup

- Editor

Senin, 15 Desember 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Longsor besar di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, sekali lagi menunjukkan ketidakhadiran negara dalam melindungi rakyatnya. Jutaan penduduk hidup di kaki-kaki tebing rapuh, sebagian besar di antaranya warga miskin tanpa pilihan lain. Dengan curah hujan tropis yang dikenal tinggi, longsor adalah bom waktu.


”Saya gemetar mendengar korban longsor yang sedemikian banyak di Karangkobar, tanpa bisa memberi peringatan langsung kepada masyarakat,” kata Edi Prasetyo Utomo (58), peneliti longsor senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Minggu (14/12).

Sudah 33 tahun Edi menjadi peneliti geologi lingkungan dengan fokus pergerakan tanah atau longsor. Tahun 2006, Edi meneliti kerentanan longsor di kawasan itu, tak lama setelah longsor di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara—sekitar 6-7 kilometer dari Karangkobar—yang menewaskan 90 orang. Laporan penelitiannya ditulis dalam Journal Landslide Society Volume 43 Nomor 1.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, menjelang akhir karier sebagai peneliti, ia belum melihat perubahan signifikan sikap pemerintah melindungi warganya dari bencana, khususnya longsor. ”Longsor akan berulang. Ciri-cirinya bisa dikenali,” katanya. Beberapa di antaranya tanah dan dinding rumah retak, pohon-pohon tampak miring, dan riwayat longsor.

images(2)Di Dusun Jemblung, seperti dikatakan salah satu warganya, Taroni (65), sebelum longsor besar, salah satu sisi Bukit Telagalele terjadi longsor kecil. Di sana ada bangunan dam kecil. ”Bukit itu sebenarnya jalur air mengalir. Di puncak bukit ada danau mengering,” tuturnya.

Minim respons
Tanda-tanda potensi longsor jelas di Karangkobar. Bahkan, pada 5 Desember 2014, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)-Badan Geologi mengirim surat peringatan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bahwa Karangkobar masuk dalam 20 kecamatan rentan longsor menengah-tinggi di Banjarnegara. ”Surat kami kirim via pos ke Kantor Gubernur Jawa Tengah,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Gerakan Tanah PVMBG Gede Suantika.

Namun, seperti sebelumnya, pemberitahuan gamblang itu tak direspons dengan baik. Informasi potensi bencana tidak ditindaklanjuti di lapangan dengan pemetaan partisipatif warga.

”Sosialisasi jarang, apalagi anjuran bagaimana hidup aman di wilayah seperti ini,” kata Tomo (60), petani penggarap kebun singkong dan kopi di Dusun Jemblung. Anak-istrinya tewas.

Menurut Kepala Desa Sampang Partono, warga belum pernah mendapat pelatihan evakuasi menghadapi longsor. Karena minim informasi, banyak warga membangun rumah berdinding tembok yang lebih rawan dibandingkan rumah kayu.

Di Yogyakarta, Teuku Faisal Fathani (39), peneliti longsor pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM), menyesali longsor dengan banyak korban jiwa itu. Tahun 2007, ia dan tim UGM bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal meneliti kerentanan longsor di Banjarnegara. Kecamatan Karangkobar masuk peringkat pertama daerah berisiko tinggi.

”Waktu itu kami siap pasang alat deteksi dini longsor di sana, tetapi ada persoalan sosial sehingga gagal terwujud. Andai saja alat itu jadi dipasang di sana, mungkin lain cerita,” katanya.

Tahun 2007, tim UGM atas bantuan UNESCO memasang alat deteksi dini longsor di Kecamatan Pagentan, kecamatan tetangga Karangkobar. Akhir tahun itu longsor besar di Pagentan, tetapi tak ada korban. Warga menyelamatkan diri empat jam sebelumnya karena alarm bahaya berbunyi. ”Longsor bisa dimitigasi dan seharusnya itulah fokus pemerintah, bukan pada tanggap darurat,” kata Faisal.

Bagaimanapun, alat deteksi dini hanyalah salah satu komponen dari mitigasi longsor. Lebih penting, kata Fasial, adalah mitigasi struktural dan juga sosial. Lereng yang rentan longsor ditata. Masyarakatnya dididik, bahkan kalau perlu direlokasi.

Kini, saatnya pemerintah pusat dan daerah mengubah perspektif dari tanggap darurat ke mitigasi bencana. Jangan sibuk pasca longsor, lalu lupa beberapa hari kemudian.

Andai saja warga mengenali tanda-tanda longsor, andai saja alat deteksi dini jadi dipasang di Karangkobar. Namun, bencana tak mengenal kata andai. Hanya ada mitigasi.(Ahmad Arif/Gregorius Magnus Finesso)

Sumber: Kompas, 15 Desember 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB