Daerah Belum Masukkan Peta Kerentanan
Tsunami yang menewaskan sekitar 160.000 warga Aceh pada 26 Desember 2004 memberi pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia. Meski sejak itu ada kemajuan mitigasi tsunami, perlu perbaikan sistem karena kejadian serupa amat mungkin terulang. Apalagi, Indonesia mengembangkan pembangunan berbasis maritim.
“Saat ini, kita sudah bisa memberikan peringatan dini tsunami dalam lima menit setelah gempa bumi terjadi atau rata-rata 30 menit sebelum tsunami tiba di pantai. Kita masih berusaha mempersingkat diseminasi peringatan ini jadi tiga menit seperti Jepang,” kata Deputi Bidang Geofisika Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Masturyono di Jakarta, Minggu (27/12), terkait peringatan 11 tahun tsunami Aceh.
Masturyono menambahkan, BMKG juga telah berkoordinasi dengan badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar peringatan dini tsunami itu ditindaklanjuti dengan prosedur yang benar, salah satunya memasang sirene tsunami di kawasan rentan. “Itu belum pernah ada 11 tahun lalu saat tsunami melanda Aceh. Karena itu, jika kita bandingkan, tingkat risikonya saat ini lebih kecil dibandingkan 11 tahun lalu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjokongko, mencatat sejumlah kelemahan sistem mitigasi tsunami yang perlu dibenahi. “Rantai peringatan dini dan perangkat pendukung, seperti sirene, belum secara rutin dicek apakah beroperasi atau tidak,” ucapnya.
Temuan Widjokongko, banyak sirene tsunami saat ini tak beroperasi, terutama yang dibangun BNPB dan BPBD. Selain itu, banyak tempat evakuasi sementara yang telah dibangun di sejumlah tempat ternyata terbengkalai dan jadi masalah sosial, misalnya di Bengkulu dan Padang. “Kemanfaatan rute dan tempat evakuasi sementara perlu dievaluasi,” ujarnya.
Peta bencana
Widjokongko menambahkan, peta yang menggambarkan tingkat ancaman tsunami di tiap kota atau daerah secara umum sudah ada, tetapi belum dalam skala rinci sehingga belum operasional. Rencana tata ruang wilayah sejauh ini juga belum memasukkan peta kerentanan bencana, padahal banyak proyek dibangun di kawasan pesisir yang rentan dilanda tsunami.
Sementara itu, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengatakan, dari aspek keberulangan, tsunami dengan kekuatan setara tahun 2004 pernah menghantam Aceh paling tidak tiga kali dalam rentang 2.800 tahun. “Penelitian terbaru membuktikan, deformasi pasca gempa 2004 masih berlangsung di wilayah Aceh sampai kini, bahkan berdampak sampai daratan Malaysia,” ujarnya.
Tak hanya Aceh atau zona subduksi di Samudra Hindia, lanjut Irwan, banyak wilayah Indonesia juga berada di kawasan rentan gempa dan tsunami. Catatan BMKG sepanjang 2015, telah terjadi lebih dari 4.300 gempa dengan 360 gempa yang dirasakan. Hal itu berarti tiap hari terdapat satu gempa terasa. Tujuh di antaranya adalah gempa yang menimbulkan kerusakan. “Artinya, tiap dua bulan sekali, Indonesia mengalami kerusakan akibat gempa. Ini tinggi sekali,” kata Irwan.
Hampir semua gempa merusak itu terjadi pada sumber gempa yang tidak didefinisikan pada gempa Indonesia tahun 2012. “Karena itu, perlu strategi efektif untuk mempercepat pendefinisian sumber gempa,” ucapnya.
Terkait hal itu, riset dasar harus menjadi prioritas, terutama karena pemerintah sedang berusaha mempercepat pembangunan infrastruktur, antara lain kereta cepat, kereta massal bawah tanah, reaktor nuklir di Serpong, dan bendungan. “Upaya itu harus disertai dengan pemahaman potensi bencana yang baik,” kata Irwan. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Mitigasi Bencana Jadi Tantangan”.