Masalah sederhana tetapi masih sangat sulit diselesaikan di negeri ini adalah sampah. Setidaknya hingga setengah abad lalu,ketika sampah masih sedikit dan didominasi material organik, mengelola sampah cukup dengan lubang galian di tanah untuk menguburnya.
Namun, ketika laju industri tak terbendung, sampah merajalela tak terkendali. Pelajaran paling sederhana, seperti ”buanglah sampah pada tempatnya” saja ternyata sudah tidak lagi cukup, sampah sudah beraneka saat ini.
Sementara edukasi untuk membuang secara benar boleh dibilang masih nol. Upaya memilah sampah dengan tong sampah yang berbeda sudah lama diperkenalkan, tetapi banyak yang tak peduli. Apalagi jika tahu sampah dari tong-tong sampah yang berbeda akhirnya diangkut dan ditimbun menjadi satu lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Heboh tas plastik berbayar sudah adem, mungkin karena masyarakat lelah berdebat. Padahal, para produsen barang ritel yang sebagian besar memakai bahan plastik hingga kini tak pernah tersentuh sama sekali. Gunungan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) masih menggila dan sungai-sungai tak lagi ramah. Maka ketika Jakarta menyingkirkan sampah dari kalinya, muncul tumpukan sampah yang ”wah”.
Saat air lindi –cairan yang merembes ke bawah dari tumpukan sampah– makin mencemari tanah, sungai, dan menjadi ancaman terjadinya gangguan minamata, maka ”horor lingkungan” pun terjadi. Satwa-satwa laut mati karena makan plastik, belum lagi horor hujan asam, masalah agenda penyelamatan lingkungan makin perlu diprioritaskan.
Sebenarnya pemanfaatan energi dari sampah diharapkan bisa jadi solusi akhir di TPA. Meski hal itu digembar-gemborkan sejak 15 tahun lalu, upaya itu tak juga berjalan. Setelah cara pembakaran dengan insinerator dilarang-karena berdampak efek gas rumah kaca-beberapa metode lain diperkenalkan, seperti pirolisis dan gasifikasi, selain ekstrasi gas. Bagaimanapun, sampah yang bercampur jadi satu itu merupakan masalah kompleks yang sulit dikelola dengan satu cara.
Sementara hal penting, yaitu mengelola di sumber asal sampah, masih diabaikan. Padahal, justru di situlah masyarakat menjadi ujung tombak, sehingga setidaknya di tingkat RT bisa diberdayakan. Jika Jakarta mampu menggaji tukang sampahnya, seharusnya dalam standar operasional mereka menjadi penggerak penyeleksian awal, misalnya memisahkan sampah organik untuk dijadikan pupuk organik sebelum sampah anorganik sisanya dibuang ke TPA.
Jika masyarakat, terutama di kota-kota besar, bisa menanam cabai organik sendiri-satu dua pot setiap rumah-itu akan menjadi sumbangan amat berarti bagi negeri penggemar sambal ini. Hal paling utama adalah mempertahankan unsur hara pada tanah yang sudah kian terkikis, sementara di sisi lain masyarakat bisa mandiri pangan tanpa pupuk kimia.
Maka, mendengar kabar pupuk organik dibiarkan teronggok di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, sungguh terasa janggal. Bagi masyarakat kota yang sudah peduli lingkungan keadaan itu menjadi aneh mengingat produk tanaman organik selalu dihargai lebih tinggi.
Dalam kunjungan ke Kampung Areng, Desa Cibodas, Lembang, petani bersama CV Energi Pratama,salah satu pengembang biogas di Bandung, sudah memanfaatkan gas dari kotoran sapi untuk memasak dan menerangi rumah. Di kampung itu, sekitar seratus rumah tangga memiliki bak reaktor biogas sederhana dengan sistem bak beton metanogenik.
Meski petani belum memanfaatkan hasil pupuk organik untuk tanaman mereka, masih ada harapan pada masa depannya. Masyarakat kota bisa diharapkan jadi perintis, memanfaatkan sisa makanan ataupun bahan organik lain, seperti sisa sayuran dan dedaunan. Bisa skala rumah tangga, atau setidaknya tingkat RT, dan sebenarnya dari sisi skalabilitas bisa dikembangkan menjadi SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas), terutama untuk kawasan terpencil.
Biogas yang dihasilkan dari TPA biasanya mengandung 50 persen gas metana (CH4) dan dengan biodigester bisa mencapai 75 persen metana. Untuk kebutuhan penggerak mesin kendaraan, memang masih membutuhkan pemurnian gas dan kompresi di tangki BBG.
Cara biologis lain menghasilkan pupuk organik menggunakan mikroorgamsme untuk mempercepat pelapukan tanpa menghasilkan gas. Metode yang sudah dilakukan sebagian warga Jakarta itu seharusnya bisa dimassalkan. Selain itu, perlu dikembangkan perangkat pendukungnya, seperti alat pencacah, tabung komposting atau bahkan rotary kiln, pengayak yang masih sulit ditemukan dan mahal.
Oleh AW SUBARKAH
Sumber: Kompas, 30 November 2016