Tingkat keberhasilan hilirisasi invensi menjadi inovasi di industri di Indonesia masih rendah, baru sekitar 3-5 persen. Penyebabnya antara lain karena keterkaitan antara lembaga penelitian dan industri sangat lemah.
Sejumlah kendala menghadang riset teknologi untuk menghasilkan inovasi yang digunakan industri hingga produknya bernilai tinggi dan laku di pasaran. Kendala itu, mulai dari minimnya sumber daya manusia yang handal dari tingkat trampil hingga yang menguasai teknologi, ketiadaan infrastruktur di bidang riset dan di industri, serta tak tersedia dana yang memadai, juga tiadanya dukungan regulasi dan manajemen yang kondusif. Belum lagi persaingan pasar juga ketat.
Tingkat keberhasilan pengembangan produk invensi untuk menjadi inovasi yang di produksi industri hingga berhasil masuk ke tahap komersial memang rendah. Dalam hal ini berlaku rumusan apabila invensi gagal di pasaran ke industri maka inovasi pun nol, atau inovasi = invensi x komersialisasi.
Kondisi ini dihadapi semua negara di dunia. Banyak invensi yang tidak selamat melewati “lembah kematian” untuk sampai ke pasar.
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa pencapaian hilirisasi invensi menjadi inovasi di industri berkisar 10-15 persen, di Cina sudah 25 persen.
Di Indonesia, tingkat keberhasilan itu masih sekitar 3–5 persen. Rendahnya kesuksesan menggulirkan invensi di negeri ini, antara lain karena keterkaitan antara lembaga penelitian dan industri masih sangat lemah. Peneliti tidak melakukan riset sesuai kebutuhan industri.
Keterkaitan antara lembaga penelitian dan industri masih sangat lemah. Peneliti tidak melakukan riset sesuai kebutuhan industri.
“Karena itu, untuk menekan kegagalan dalam berinovasi, harus dilakukan perubahan pendekatan, yaitu pendekatan berorientasi pada kebutuhan pengguna,” ujar Jumain. Prinsip itu dipegang semua kedeputian di Kemristekdikti, yang kemudian menjalin kemitraan internal.
Dalam hal ini digalang kerja sama antara Direktorat Lembaga Penelitian dan Pengembagan (Litbang) dan Direktorat Inovasi Industri. Direktorat Lemlitbang menjalani program pembinaan Pusat Unggulan Iptek (PUI) yang ada di lembaga pemerintahan dan perguruan tinggi. Direktorat Inovasi Industri yang menyediakan insentif bagi industri, memanfaatkan inovasi yang telah dihasilkan PUI.
Sejak 2011 hingga 2018, kata Patdono Suwignyo, Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Pendidikan Tinggi Kemristekdikti, telah ada 106 lembaga litbang yang masuk dalam Program PUI. Dalam masa pembinaan selama tiga tahun, lembaga litbang dalam program ini harus memenuhi 27 indikator kinerja, untuk meraih kategori utama dan unggul.
Indikator itu antara lain menghasilkan publikasi ilmiah, paten dan prototipe, serta kontrak bisnis dalam jumlah tertentu. Selain itu ada peningkatan pendidikan S3 bagi penelitinya, dan melaksanakan kegiatan ilmiah seperti seminar dan kerja sama riset.
Saat ini ada 46 PUI diantaranya telah ditetapkan sebagai PUI tingkat unggul. “Predikat unggul diberikan kepada PUI yang telah berhasil menjual paling tidak satu produk inovasi secara massal,” kata Patdono. PUI berkategori unggul juga telah dapat menghasilkan pendapatan dari paten dan prototipe yang dihasilkan, serta layanan bisnisnya.
Kontrak bisnis yang dihasilkan PUI tingkat unggul dan utama dengan mitranya sejak 2011 mencapai 2.960. “Ini termasuk kerja sama dengan Usaha Kecil dan Menengah,” tambah Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kemristekdikti, Kemal Prihatman. Dari usahanya, PUI tingkat Unggul telah dapat mandiri memenuhi biaya operasional dan risetnya.
Platform sinergi
Program PUI mulai tahun ini diperkuat dengan sarana Platform Sinergi Litbang Unggul Indonesia, dan merekrut “Agen Riset” yang ditempatkan di industri. Tujuannya untuk membangun ekosistem riset yang berorientasi industri dan mengatasi ego sektoral.
Platform sinergi ini berbasis komputer yang akan mempertemukan keterkaitan antar PUI baik dalam satu klaster maupun lintas klaster. Dalam PUI ada beberapa klaster antara lain pangan pertanian, energi, kesehatan obat, telekomunikasi, informasi dan komunikasi, transportasi, material maju, dan kemaritiman.
Pencarian simpul itu berbasis data yang dimasukkan tiap PUI ke dalam daring komputer. Basis data itu meliputi kemampuan SDM, ketersediaan peralatan, program kegiatan, hasil yang telah dicapai dan tujuan risetnya. Dari 78 profil lembaga litbang yang diinput dalam basis data, komputer mendapatkan 1.537 titik simpul kegiatan riset bersama yang dapat dijalin. Tiap simpul dapat menjaring hingga 5 PUI, salah satunya akan menjadi lembaga koodinator riset.
Setelah proses “mak comblang” atau pencarian titik-simpul kesamaan melalui komputer itu, tahap berikutnya adalah proses interaksi langsung para pengelola PUI untuk menetapkan produk yang akan dibuat. Penetapan produk prioritas sebagai “buah” dari kemitraan multipihak itu berdasarkan tiga pedomen, yaitu harus merupakan isu strategis, dibutuhkan industri dan masyarakat, serta cepat menghasilkan.
Menurut Koordinator Program PUI, Yudho Baskoro, telah ada 37 produk unggulan berpotensi inovasi yang akan dibuat sinergi PUI, yang terbentuk. Produk itu antara lain baterai litium, bioetanol berbasis aren, varietas unggul padi lahan rawan dan kering, bahan baku obat herbal, sistem pengemasan buah untuk tujuan ekspor, dan pengembangan sistem informasi untuk mitigasi bencana.
Telah ada 37 produk unggulan berpotensi inovasi yang akan dibuat sinergi PUI, yang terbentuk.
Melalui strategi ini, menurut Kemal, dicapai efisiensi anggaran pada program PUI hingga 30 persen. Tahun ini akan diakokasikan anggaran Rp 41 miliar yang diberikan untuk mendukung proses akreditasi, penguatan kelembagaan, pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual, dan koordinasi dengan industri.
Pada tahap awal ini penggalangan kerja sama masih dalam konsorsium riset. Dengan membuka akses aktivitas PUI dan hasil inovasinya ke publik terutama ke industri secara daring yang didukung sistem big data, kata Yudho, diharapkan terbentuk konsorsium lebih besar dengan melibatkan industri. Dalam lingkup kerja sama ini antara lain akan dirintis pengembangan desain N-219 versi amphibi, melalui kerja sama BPPT, LAPAN, dan PTDI, serta industri komponen pendukung.
Pengembangan jejaring untuk proses hilirisasi akan dilakukan dengan membentuk penta heliks, yang akan menggandeng semua komponen termasuk media. Pembentukan penta heliks akan dicanangkan pada Desember mendatang.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 19 Mei 2018