Mereka yang Merawat dan yang Kembali

- Editor

Senin, 5 Maret 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hampir di seluruh wilayah Indonesia, warga memakan nasi sebagai makanan pokok. Tak lagi kita dengar pangan olahan berbahan dasar ubi-ubian atau sagu. Kabar impor beras pun selalu menjadi isu krusial. Soal pangan, Indonesia seakan terbelenggu oleh ketergantungan pada beras, kehilangan kemandirian akan pangan. Padahal, nenek moyang kita tidak makan beras. Beras pada mulanya datang dari India.

Kini, kesadaran akan kemandirian pangan sebagai salah satu perwujudan ketahanan pangan semakin tumbuh subur pada beberapa komunitas dan beberapa daerah. Di sisi lain, sebagian masyarakat adat dengan sadar dan penuh ketekunan merawat warisan nenek moyang mereka. Salah satunya adalah masyarakat adat Baduy.

Mungkin kita perlu belajar kemandirian pangan dari Baduy. Bukan teknologi pertanian canggih dan cepat masa kini yang memberikan sejahtera bagi warga Baduy di Banten. Kesetiaan pada alam dan ajaran nenek moyanglah yang membuat mereka berlimpah pangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bulir-bulir padi berwarna hijau dan coklat itu merunduk karena rimbunnya. Tubuhnya tumbuh subur setinggi 1,5 meter meski ditanam di lereng bukit dengan kemiringan 25 derajat. Di antara tanaman padi tumbuh juga pisang, pepaya, kakao, hingga kelapa.

Pemilik padi ladang di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, itu adalah warga Baduy. Sejauh mata memandang, Jumat (23/2), terlihat hamparan padi ladang dengan beberapa saung di perbukitan. Di kejauhan, hutan lebat membuat suasana alami berjarak 100 kilometer dari Serang, ibu kota Banten, masih terasa.

Jaro atau Kepala Desa Kanekes, Saija, mengatakan, kunci Kanekes tetap lestari karena warga Baduy mematuhi adat istiadatnya. Luas desa itu 5.306 hektar, seluruhnya adalah tanah ulayat. Sekitar 2.150 hektar di antaranya digunakan untuk lahan guna pakai, termasuk pertanian dan tempat tinggal. Saat ini, jumlah warga Baduy mencapai 12.000 yang tersebar di 65 kampung.

”Komposisi itu tak berubah sejak nenek moyang kami dulu. Sebagian tanah lainnya untuk hutan,” ucapnya. Fenomena alih fungsi lahan pertanian tak punya tempat di Desa Kanekes.

Luas desa itu 5.306 hektar, seluruhnya adalah tanah ulayat. Sekitar 2.150 hektar di antaranya digunakan untuk lahan guna pakai, termasuk pertanian dan tempat tinggal. Komposisi itu tak berubah sejak nenek moyang kami dulu.

Asep Hidayat (23) mengamati padi huma yang mulai berbulir di tanah ulayat Suku Baduy di Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Selasa (20/2). Suku Baduy mampu mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menjaga ketahanan pangan dengan menerapkan adat istiadatnya.
Kompas/Dwi Bayu Radius (BAY)
20-02-2018
feature Ketahanan Pangan Baduy

KOMPAS/DWI BAYU RADIUS–Asep Hidayat (23) mengamati padi huma yang mulai berbulir di tanah ulayat suku Baduy di Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Selasa (20/2). Suku Baduy mampu mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menjaga ketahanan pangan dengan menerapkan adat istiadatnya.

Sapin (40), warga Baduy di Kampung Cicakal Muhara, Desa Kanekes, mengatakan, dirinya menggarap ladang seluas 7.500 meter persegi. Dari sana, dihasilkan sekitar 100 ikat atau sekitar 100 kilogram gabah saat dipanen per enam bulan. Satu ikat beratnya sekitar 5 kilogram. Hasil itu cukup untuk Sapin sekeluarga.

”Saya ingin menambah luas ladang. Tapi, saya menghormati adat istiadat mengenai lahan guna pakai yang tak bisa dikurangi atau ditambah,” ujarnya.

Tren pertanian organik ala masyarakat kota di zaman digital pun seperti ketinggalan zaman di Kanekes. Pola itu sudah hidup sejak lama dan masih eksis hingga kini.

Warga tak menggunakan bibit transgenik. Bibit padi adalah sebagian hasil panen yang sengaja disisihkan. Pupuknya menggunakan daun yang berjatuhan. Pestisidanya pun mengandalkan kekuatan alam, memanfaatkan siklus rantai makanan. Tak ada boleh hama yang dibunuh. Keberadaanya adalah bagian dari keseimbangan alam.

Hingga 60 tahun
Ketahanan pangan itu dilanjutkan dengan menyimpan padi di lumbung atau leuit. Setiap keluarga suku Baduy harus memiliki lumbung rata-rata berukuran 3 meter x 2,5 meter x 4 meter. Dinding lumbung terbuat dari anyaman bambu yang disekat dengan kayu dan beratap kirai. Lumbung itu terlihat berdiri berselang-seling dengan rumah.

KOMPAS/DWI BAYU RADIUS–Anak-anak bermain di samping leuit atau lumbung padi yang didirikan suku Baduy di Kampung Ciboleger, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (23/2). Suku Baduy mampu mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menjaga ketahanan pangan dengan menerapkan adat istiadatnya.

Saija mengatakan, jumlah leuit di Desa Kanekes ditaksir sekitar 9.000 unit. Dalam sekali penyimpanan hingga 1.500 ikat per unit, gabah bisa bertahan hingga lebih dari 60 tahun. ”Tidak pernah ada kelaparan di desa ini,” ujarnya.

Saija mengatakan, semua harus dilakukan apabila ingin terus sejahtera. Warga Baduy tak bekerja sebagai pegawai yang bakal dapat uang pensiun kelak. Oleh karena itu, persiapan harus dilakukan. Ketika muda, mereka harus giat bekerja agar tak menderita menjalani hari tuanya.

”Tidak ada suku Baduy yang menganggur. Mereka bekerja di ladang, membuat gula aren, atau menenun kain. Tidak ada yang gengsi,” katanya.

Menyebar ilmu setia
Belakangan, ilmu setia ala Baduy mulai menyebar ke luar Kanekes. Dari awalnya, dipicu keterbatasan akibat aturan adat, sebagian warga Baduy menebar kebaikan ke desa tetangga. Menurut Arwan (42), warga Baduy di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes, kepatuhan terhadap adat istiadat membuatnya menggarap lahan di luar tanah ulayat.

”Orangtua saya masih menggarap lahan keluarga. Luas lahan guna pakai tak bisa ditambah. Jadi, saya pergi ke luar Desa Kanekes,” katanya.

Arwan menanam padi huma di Desa Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar. Ladang seluas 2.500 meter persegi itu menghasilkan 45 ikat gabah per panen setiap enam bulan.

”Semua padi yang dipanen tidak dijual, tetapi disimpan sesuai adat istiadat Baduy. Setiap keluarga warga Baduy memang harus memiliki lahan garapan,” ujarnya.

Penulis buku Saatnya Baduy Bicara (2010), Asep Kurnia, mengatakan, alih fungsi lahan pertanian di perkampungan Baduy dapat dicegah karena adat mengenai tanah ulayat yang diterapkan dengan konsisten.

Adat itu sudah dipegang sejak nenek moyang mereka yang dipatuhi dengan berlandaskan semangat gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak (gunung tak boleh dihancurkan dan lembah tak boleh dirusak).

Asep mengatakan, jika terjadi kemarau panjang, bahkan hingga lima tahun ke depan tidak terjadi panen, Baduy diyakini tetap mampu bertahan. ”Kondisi itu menunjukkan kecerdasan warga Baduy disertai keteguhan mengamalkan kearifan lokal,” ujar Asep.

Jika terjadi kemarau panjang, bahkan hingga lima tahun ke depan tidak terjadi panen, Baduy diyakini tetap mampu bertahan.

Nur Agis (28), petani Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, terinspirasi cara suku Baduy berdaulat atas pangannya. Agis mengatakan, kunjungannya ke Desa Kanekes pada tahun 2016 mendatangkan inspirasi untuk menerapkan pertanian organik.

Di Desa Kanekes, Agis sering berdiskusi dengan warga Baduy dan mendapatkan informasi mengenai pertanian organik. Sebelumnya, sejak tahun 2013, Agis banyak menggunakan pestisida dan pupuk kimia.

”Saya pakai pestisida dan pupuk kimia tanpa takaran. Sekarang, sudah berkurang. Saya tidak menggunakan pestisida sebanyak dulu,” ucapnya.

Untuk pupuk organik, pemilik Jawara Banten Farm itu memadukan pertanian yang terintegrasi dengan peternakan. Pakan ternak pun diperoleh dari limbah pertanian. Di Jawara Banten Farm, dengan luas lahan sekitar 3.000 meter persegi, terlihat kandang kambing dan kebun dengan berbagai tanaman, seperti pepaya, pisang, dan mangga. Ada 80 kambing dipelihara di sana.

”Kita bisa belajar untuk menerapkan pertanian yang tak merusak lingkungan. Lumbung di permukiman warga Baduy juga menunjukkan ketahanan pangan yang ideal, baik dari cara penyimpanan hingga kualitas gabah terbaik saat tak dihidupi dengan bahan kimia berbahaya,” kata Agis yang kini mendampingi 100 aktivis pertanian Banten Bangun Desa dan berkarya bersama 10 kelompok tani di Banten.

Lumbung di permukiman warga Baduy juga menunjukkan ketahanan pangan yang ideal, baik dari cara penyimpanan hingga kualitas gabah terbaik saat tak dihidupi dengan bahan kimia berbahaya.

Dan, kemandirian pangan nenek moyang itu pun tak mati. Saat banyak yang terinpirasi, Indonesia masih punya harapan menuju negara berdaulat pangan.

Tumbuh kesadaran
Kesadaran untuk kembali ke keragaman pangan lokal sebenarnya sudah muncul di Sumba Timur sejak tahun 2009. Pada tahun itu, Bupati Sumba Timur Gidion Mbiliyora mengeluarkan Peraturan Bupati Sumba Timur Nomor 130 Tahun 2009 tentang Diversifikasi Pangan. Gerakan ini dikenal sebagai Gerbang Hilu Liwanya.

Yohanis Pati Ndamung, Direktur Yayasan Mitra Persada Sejahtera Sumba, yang turut mendorong gerakan ini mengatakan, hilu liwanya merupakan akronim dari beragam pangan lokal yang ada di Sumba. Suku kata ”hi” untuk hili atau keladi, ”lu” untuk luwaii atau ubi kayu, ”li” untuk litang atau gembili, ”wa” untuk ubi manusia, dan ”nya” untuk ganyong.

Gerakan kembali kepada keragaman pangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bupati Nomor 521/627/1 X/2012 tentang Satu Hari Tanpa Beras. ”Kebijakan ini tidak memiliki gaung ke masyarakat dan perlahan hilang kembali,” kata Yohanis.

Menurut Yohanis, kegagalan program diversifikasi pangan di Sumba Timur karena tidak diikuti dukungan program yang nyata. Apalagi, pergantian bupati kemudian berubah kebijakannya. ”Saat ini, hilu liwanya sudah enggak terdengar lagi,” ujarnya.

Kegagalan program diversifikasi pangan di Sumba Timur karena tidak diikuti dukungan program yang nyata. Apalagi, pergantian bupati kemudian berubah kebijakannya.

Stephanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba, mengatakan, saat ini Pemerintah Kabupaten Sumba Timur lebih memprioritaskan pengembangan padi, jagung, kedelai, sebagaimana kebijakan nasional saat ini. Sebagaimana program nasional, pencetakan sawah baru juga dilakukan di salah satu kabupaten terkering di Indonesia ini, seperti dilakukan di Desa Pinduharani, Kecamatan Tabundung, dengan mengerahkan aparat militer.

Padahal, menurut Stephanus yang juga Wakil Ketua Komisi Bidang Iptek dan Lingkungan Hidup Dewan Riset Daerah Kabupaten Sumba Timur, pencetakan sawah baru di Sumba Timur akan menghadapi kondisi lingkungan yang tidak mudah.

Dia mengatakan, lahan irigasi yang sudah ada tidak semuanya digarap secara optimal karena debit air bendungan tak cukup. Dia pesimistis program cetak sawah baru di Sumba akan bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Sumba Timur.

Menurut Stephanus, kemampuan produksi beras lokal Sumba Timur dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat saat ini cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras masyarakat Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.

Yohanis setuju agar Sumba kembali ke keanekaragaman pangan. ”Umbi-umbian bisa tumbuh subur di Sumba sekalipun kondisi kering. Bahkan, kami punya umbi wa yang khas di sini yang produktivitasnya tinggi.”

Umbi-umbian bisa tumbuh subur di Sumba sekalipun kondisi kering.

Sementara itu, Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana mulai melihat pada sejarah pangan di daerahnya. ”Dari dulu nasi tidak dikenal di Sangihe. Hanya ada sagu dan ubi-ubian. Dengan dasar itu, kemudian saya mencoba mengimplementasi pada kondisi riil di masyarakat karena banyak sekali pangan lokal tidak termanfaatkan,” ujar Jabes.

”Pada masa kanak-kanak saya, kami hanya seminggu sekali makan nasi, selebihnya makan makanan lokal dan sagu yang dimasak. Banyak variasinya, ubi dan sagu bisa dibuat menjadi macam-macam dengan sayur-sayur dan ikan lokal di sini,” tambah Jabes.

Saat ini di Sangihe sedang digodok peraturan daerah terkait pangan lokal. Sebelum ada perda pun, Jabes telah mencanangkan program dua hari tanpa nasi, pada Selasa dan Jumat.

Alasan lain adalah alasan ekonomi. ”Membeli beras itu terlalu berat. Masyarakat Sangihe membeli beras setiap hari sekitar Rp 750 juta. Dengan memotong seminggu dua kali, maka dapat dihemat Rp 6 miliar. Dana ini bisa kita gunakan ke pangan lokal. Untuk membeli makanan yang diproduksi masyarakat setempat seperti ubi-ubian, sagu, dan pisang,” jelas Jabes. Jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Sangihe sekitar 130.000 jiwa.

Namun kebijakan ini, menurut Koordinator Perkumpulan Sampiri, Samsared Barahama, masih ada persoalan dari rumah makan. ”Harga umbi-umbian yang masih lebih tinggi dari beras, dan dari pasar kalau tidak makan nasi, rumah makan bagaimana. Kami kebanyakan, kan, makan nasi tidak banyak yang nanya ubi jalar, singkong,” ucapnya.

”Lima buah umbi harganya Rp 10.000 itu sebanding dengan 1 kilogram beras. Sekarang warga masih terbiasa makan nasi, untuk kembali ke ’makanan tanah’ (umbi-umbian) perlu waktu. Kalau di desa atau kampung, mereka masih mengonsumsi umbi-umbian. Ketersediaan pangan lokal juga masih kurang digenjot oleh dinas pertanian sendiri, baru di level kebijakan,” tuturnya.

Perkumpulan Sampiri aktif mendorong pertanian organik untuk pertanian pangan lokal.

Dia mengungkapkan, pada acara seremoni yang dihadiri bupati, memang sudah disajikan pangan lokal jika jatuh pada hari Selasa atau Jumat. ”Kadang-kadang di belakang masih ada nasi,” ujarnya.

Menurut Sam, nama panggilan Samsared, yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat desa untuk bergerak menyediakan pangan lokal lebih banyak. ”Agar lebih murah,” katanya. Di sisi lain, berapa jumlah pengonsumsi pangan lokal pun belum terdata.

Untuk perluasan penanaman, lanjut Jabes, tidak dibutuhkan anggaran terlalu banyak karena bibit sudah ada di masyarakat. ”Yang kami butuhkan adalah perubahan perilaku,”ujar Jabes.–DWI BAYU RADIUS/AHMAD ARIF/BRIGITTA ISWORO L

Sumber: Kompas, 2 Maret 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB