CATATAN IPTEK
Persatuan Astronomi Internasional (IAU) di Paris, Perancis, Selasa (17/12/2019) mengumumkan 112 nama baru bagi 112 sistem eksoplanet. Selama ini, nama eksoplanet hanya menggunakan nama generik atau penamaan berdasarkan pencatatannya dalam katalog bintang atau eksoplanet tertentu.
KOMPAS/HAI-IAS.ORG/NAMEEXOWORLD–Posisi sistem keplanetan HD 117618 yang terdiri dari bintang HD 117618 dan eksoplanet HD 117618 b di rasi Centaurus.
Ke-112 nama sistem eksoplanet itu diusulkan 112 negara melalui sayembara di masing-masing negara. Sistem nama yang diajukan terdiri atas satu paket, yaitu nama bintang induk dan nama eksoplanetnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia mendapat jatah untuk menamai sistem eksoplanet HD 117618. Sistem eksoplanet itu ada di arah rasi Centaurus hingga bisa di amati dari Indonesia. Usulan nama yang jadi pemenang adalah döfida untuk nama bintang induknya (HD 117618) dan noifasui bagi eksoplanetnya (HD 117618 b).
Kedua nama itu dari bahasa Nias. Döfida berasal dari kata döfi yang artinya bintang dan da berarti milik kita, sehingga döfida bermakna bintang milik kita. Noifasui dari kata no yang artinya sudah dan ifasui berarti mengelilingi, jadi eksoplanet noifasui berarti telah mengelilingi bintang induknya.
NASA’S GODDARD SPACE FLIGHT CENTER–Perbandingan antara tiga eksoplanet di sistem keplanetan bintang L98-59, yaitu eksoplanet L98-59b, L98-59c dan L98-59d dengan dua planet di Tata Surya, yaitu Bumi dan Mars.
Nama döfida dan noifasui merupakan kata-kata umum, tidak merujuk bintang tertentu. Namun sama seperti suku lain di Nusantara, masyarakat Nias juga memiliki pengetahuan tentang benda-benda langit. Salah satunya, döfi madala yang merujuk pada bintang kejora alias planet Venus.
Dengan ribuan suku yang ada, Indonesia memiliki kekayaan pengetahuan langit yang sangat besar. Pengetahuan nenek moyang itu menunjukkan dekatnya hubungan dan ikatan mereka dengan langit dan lingkungannya.
Pemikiran nenek moyang
Hasil pemikiran penghuni awal Nusantara yang diwariskan turun temurun itu bukan sekedar penamaan aneka benda langit saja, tapi juga piranti penanda waktu yang memanfaatkan bayang-bayang matahari, seperti aso do milik masyarakat Dayak Kenyah atau bencet di Jawa. Keduanya memiliki fungsi sama dengan gnomon (tonggak) pada jam matahari.
Wawasan tentang langit itu juga diekspresikan dalam berbagai karya seni, mulai dari lukisan gua prasejarah, relief candi, lagu, dan tari. Ada pula cerita mitos dan legenda, seperti kisah Nini Anteh, sang penunggu bulan dari Sunda.
Informasi tentang gerak benda-benda itu juga dimanfaatkan dalam penyusunan kalender untuk menentukan waktu ritual atau ibadah hingga masa bercocok tanam atau melaut. Data tentang gerak benda langit itu juga dimanfaatkan untuk meramal atau memprediksi nasib.
NASA’S GODDARD SPACE FLIGHT CENTER–Citra artis tentang Satelit Survei Transit Eksoplanet atau Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS) milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA.
Namun, pengetahuan tentang langit hasil pemikiran nenek moyang itu saat ini terancam punah. Banyak pengetahuan itu hanya diwariskan dari mulut ke mulut, diungkapkan dalam bahasa simbol, hingga tak terbukukan. Seiring bergantinya generasi, pengetahuan itu pun banyak yang hilang.
Langit yang makin terang, khususnya di perkotaan, juga membuat banyak benda langit sulit diamati. Akibatnya, banyak pengetahuan tentang nama-nama benda langit maupun cerita legenda yang sulit dicari wujud asli benda langitnya atau tak diketahui padanannya dalam astronomi modern.
Situasi itu membuat dokumentasi lengkap pengetahuan nenek moyang kita tentang langit perlu segera dilakukan. Upaya itu tidak mudah karena terbatasnya ahli hingga sedikitnya manuskrip kuno atau dokumentasi ilmiah yang bisa dijadikan rujukan kajian etnoastronomi dan arkeoastronomi.
Bagaimana pun, pengetahuan tentang langit itu adalah kekayaan pikir warisan nenek moyang kita. Pengetahuan itu pula turut membentuk masyarakat Indonesia saat ini sehingga kekayaan pikir itu perlu terus dijaga dan dikembangkan.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor: EVY RACHMAWA
Sumber: Kompas, I18 Desember 2019