Menyatukan Pelosok dan Perkotaan

- Editor

Minggu, 15 Mei 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Meski jaringan kabel serat optik telah menyatukan pulau-pulau besar di Nusantara, kebutuhan satelit telekomunikasi di Indonesia tetap tinggi. Bahkan, lebih separuh kebutuhan jaringan telekomunikasi dalam negeri saat ini dipasok satelit-satelit asing. Karena itu, prospek industri satelit telekomunikasi di Indonesia masih terbuka lebar.

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, terentang 6.400 kilometer dari barat ke timur dan 2.500 km dari utara ke selatan, satelit telekomunikasi di Indonesia tetap akan dibutuhkan. Kebutuhan Indonesia lebih besar ketimbang wilayah kontinental lain, misalnya Eropa Barat.

Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia Dani Indra Widjanarko, di Jakarta, akhir April lalu, mengatakan, Indonesia butuh 250 transponder (transmitter responder). Kini, 110 transponder dipenuhi satelit telekomunikasi milik perusahaan Indonesia. “Sisanya, 140 transponder, dipenuhi satelit negara lain,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Transponder adalah perangkat di satelit yang menerima, memperkuat, dan mengirim sinyal di frekuensi tertentu. Satu satelit berisi 24-50 transponder, bergantung pada ukuran satelit.

Saat ini empat satelit telekomunikasi nasional beroperasi, yakni Telkom-1 dan Telkom-2 milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), Palapa-D milik PT Indosat Tbk, dan PSN VR milik PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN).

Sebentar lagi, jumlah itu akan bertambah. Tahun ini, BRISat milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) akan diluncurkan 9 Juni nanti dan Telkom-3S, akhir tahun ini. Telkom-3S jadi pengganti satelit Telkom-3 yang gagal mencapai orbit saat diluncurkan pada 6 Agustus 2012 dan menempati slot atau kapling Telkom-2. Pada 2017, satelit PSN VI milik PT PSN akan meluncur.

ecf5d3b01e28439389e6509095234db7“Dengan tambahan tiga satelit baru, Indonesia akan dapat tambahan 125 transponder pada 2017,” katanya. Karena itu, Indonesia masih butuh satelit telekomunikasi asing untuk menutup kebutuhan transponder.

Sebenarnya, Indonesia berpeluang punya satelit telekomunikasi lebih banyak. Dari tujuh kapling satelit milik Indonesia di orbit geostasioner di ketinggian 35.786 km, baru empat kapling dipakai. Kapling kosong ada di 123 derajat bujur timur (BT) yang sebelumnya ditempati satelit Garuda-1, kapling 144 BT didapat Indonesia tahun lalu, dan kapling 150,5 BT akan ditempati satelit BRISat.

Sekretaris Perusahaan BRI Hari Siaga Amijarso mengatakan, BRISat diluncurkan demi menjawab tantangan jaringan kerja. Jaringan telekomunikasi bagi layanan bank kerap terganggu (offline). Dengan aktifnya satelit BRISat, mutu layanan perbankan di Papua akan sama dengan yang diterima nasabah di Jakarta.

Satelit itu akan jadi tulang punggung BRI demi memberi layanan terbaik bagi nasabah hingga pelosok. “Siapa menguasai jaringan, bisa memberi layanan dan mutu lebih baik,” ujarnya.

Kini, BRI memiliki 22.792 anjungan tunai mandiri (ATM), 19 kantor wilayah, dan 467 kantor cabang, dengan 10.612 jaringan kerja dan lebih dari 53 juta nasabah. Itu butuh teknologi pendukung mapan dan stabil.

Komplementer
Meski jaringan kabel serat optik Palapa Ring akan beroperasi mulai 2019, belum semua daerah terhubung, seperti wilayah Papua yang berbatasan dengan Papua Niugini, pedalaman Kalimantan, atau pulau-pulau kecil di Maluku dan Maluku Utara. Di daerah pedalaman yang sulit dijangkau itu, pasar industri satelit telekomunikasi akan tetap ada.

Wilayah luas, medan sulit dan terpisah, jumlah warga dan aktivitas ekonomi terbatas, membuat nilai keekonomian pembangunan jaringan serat optik rendah dan tak menguntungkan. “Di area pelosok, satelit jadi tulang punggung telekomunikasi untuk telepon antarkota dan akses data,” kata Dani.

Namun, kebutuhan atas layanan jasa satelit telekomunikasi di daerah berkembang, termasuk sekitar Jakarta, tetap ada. Fungsi layanan satelitnya bukan untuk jaringan utama telekomunikasi, melainkan jadi jaringan akses seperti menghubungkan ATM berbagai bank di area tak terhubung atau terlalu mahal jika menghubungkan lewat jaringan serat optik.

Selain menghubungkan daerah pelosok, dosen Program Studi Aeronautika dan Astronautika Institut Teknologi Bandung, Ridanto Eko Poetro, mengatakan, satelit telekomunikasi sebagai cadangan jika jaringan serat optik bermasalah. Di sejumlah kasus, jaringan serat optik terputus sehingga menghambat komunikasi. “Ada potensi penurunan permintaan jasa satelit,” katanya.

Dani memaparkan, sebelum 2015, pertumbuhan industri satelit rata-rata 11 persen. Adanya serat optik memperlambat pertumbuhan industri satelit. Namun, pertumbuhan industri satelit diprediksi tak lebih rendah dari 5 persen karena ekonomi daerah pelosok terus tumbuh.

Sumber daya terbatas
Ridanto mengingatkan, turunnya permintaan layanan satelit bisa membuat perusahaan operator atau pemilik satelit tak meneruskan mengisi kapling satelit yang dimiliki. Jika kapling tak diisi selama tiga tahun, negara lain berhak memakainya.

“Itu membahayakan ketahanan nasional,” katanya. Apalagi, jika pertimbangannya murni komersial mengingat biaya mengelola kapling satelit amat besar.

Kapling satelit di orbit geostasioner adalah sumber daya terbatas dan sulit didapat. Orbit geostasioner hanya ada di khatulistiwa sehingga banyak negara berminat mendapatkannya untuk menempatkan satelit demi kepentingan negara mereka.

Harry P Haryono dalam Wilayah Udara Indonesia: Sudahkah Kita Menjaga dan Memanfaatkannya?, Indonesian Journal of International Law, Volume 6, 2009, menyebut, Indonesia dan sejumlah negara yang dilalui khatulistiwa pernah mendeklarasikan hak berdaulat di area orbit geostasioner. Namun, negara maju yang punya banyak satelit telekomunikasi menentangnya berdasar Perjanjian Luar Angkasa (Outer Space Treaty), 1967.

Dalam perjanjian itu, wilayah orbit geostasioner sebagai area luar angkasa berprinsip kebebasan penggunaannya. Siapa pertama yang memanfaatkannya berhak menempati area itu. Mereka harus memanfaatkannya jika tak mau diambil negara lain.

Indonesia pernah kehilangan kapling 107,7 BT karena pemilik kapling tak meneruskan pengoperasian satelit miliknya dan memilih menyewa satelit negara lain. Tahun lalu, Indonesia mendapat kapling 144 BT dan harus diisi satelit pada 2018.

Untuk mempertahankan kapling baru, Dani berharap satelit Telkom-2 ditempatkan di 144 BT karena kapling Telkom-2 akan ditempati Telkom-3S. Jadi, sumber daya yang diperoleh dengan susah payah tak hilang lagi.

Kemandirian
Meski memakai satelit telekomunikasi sejak 1976, Indonesia masih mengandalkan produsen asing untuk membuat satelit. Padahal, Indonesia berpotensi membuat satelit secara mandiri.

Kini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengembangkan satelit eksperimen. Terakhir, Lapan memproduksi satelit Lapan A3/IPB berbobot 115 kilogram (kg) dan akan diluncurkan akhir Juni nanti.

Lembaga itu menyiapkan pengembangan fasilitas produksi satelit hingga berbobot 1.000 kg. Fasilitas itu diharapkan menghasilkan satelit operasional. Itu terhambat besarnya biaya investasi fasilitas serta transfer pengetahuan dan teknologi pembuatan satelit, khususnya satelit telekomunikasi ukuran lebih besar dan rumit.

“Indonesia seharusnya mengembangkan industri pembuatan satelit telekomunikasi secara mandiri karena potensinya besar,” ucap Dani. Itu butuh dukungan pemerintah dan industri karena perlu dana besar.

Selain itu, sebagai infrastruktur penunjang telekomunikasi, perusahaan operator satelit di Indonesia perlu digabung jadi perusahaan tunggal milik negara. Sebab, kapling satelit di orbit geostasioner terbatas. “Negara lain, seperti Jepang dan Tiongkok, hanya punya satu perusahaan operator satelit,” katanya.

Konsolidasi di antara perusahaan operator satelit Indonesia akan meningkatkan daya tawar, khususnya terkait pemesanan satelit. Selama ini, operator satelit punya satu atau sejumlah satelit sehingga tak efisien pengelolaannya karena biaya mengendalikan satu atau lima satelit telekomunikasi hampir sama. (GSA)–M ZAID WAHYUDI
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul “Menyatukan Pelosok dan Perkotaan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB