Menulis Tak Cukup Berbekal Ide

- Editor

Senin, 15 Februari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bagi sebagian orang, menuangkan ide atau pemikiran menjadi sebuah karya tulis bukan pekerjaan yang mudah. Hal itu dialami para guru, termasuk guru Bahasa Indonesia di Yayasan Insan Mandiri Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Memiliki beraneka ragam ide disadari para guru tidak lantas membuat mereka mudah menuliskannya. Ada yang berhasil menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan di majalah terbitan yayasan, majalah sekolah, ataupun blog pribadi. Namun, masih lebih banyak guru yang kesulitan menuangkan idenya. Padahal, ketika dipaparkan satu per satu, ide-ide para guru itu unik karena muncul dari pengalaman mengajar dan berinteraksi dengan berbagai persoalan murid.

”Tidak semua orang mempunyai keterampilan menulis. Bahkan, meskipun menjadi seorang guru Bahasa Indonesia, hal itu tidak lantas membuat ia ahli menulis. Kalau teori, pasti sangat paham,” kata Anton Sujarwo, guru SD Katolik St Antonius Cakranegara, Mataram.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berbekal ide saja rupanya tidak cukup untuk menghasilkan karya tulis yang baik. Dibutuhkan kemampuan merangkai kata per kata dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar hingga menjadi kalimat yang sederhana, efektif, dan mudah dicerna. Langkah awal menuangkan ide menjadi tulisan ini yang dikeluhkan mayoritas guru.

Dalam pelatihan menulis bagi guru yang diselenggarakan harian Kompas dan Chevron, Sabtu (6/2) pagi, di Yayasan Insan Mandiri Mataram, para guru memperoleh penjelasan terkait berbagai teknik penulisan ilmiah populer. Materi-materi itu mulai dari mencari dan mematangkan ide, menuliskan intisari tulisan di teras berita atau lead, menyusun tubuh tulisan, hingga kesimpulan. Pada sesi penggunaan bahasa Indonesia, dikupas pula contoh-contoh kesalahan penulisan, seperti ketidaktepatan penggunaan tanda baca.

74c67f1a67dc40e0a5dbcad4427d05f7KOMPAS/ILHAM KHOIRI–Para guru mengikuti “Pelatihan Menulis” yang diselenggarakan harian Kompas dan Chevron di Yayasan Insan Mandiri Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (6/2).

”Mana yang lebih penting kita tulis terlebih dahulu? Lead atau tubuh berita?” tanya Hendrikus Slamet Supriyanto, guru SMP Katolik Kesuma Mataram.

Meskipun awalnya sulit, Ketua Yayasan Insan Mandiri Mataram Romo Kadek Aryana mengajak para romo, pastor, kepala sekolah, dan guru untuk senantiasa mewartakan ceramah dan menuliskannya secara ilmiah. Kebiasaan menulis ini lebih ditekankan kepada para guru terutama karena keterampilan menulis menjadi salah satu penilaian dalam kompetensi guru. ”Mau tidak mau, guru harus menulis, harus menjadi habitus,” ujarnya.

Pada sesi tanya jawab, para peserta antusias mengajukan pertanyaan. Mulai dari cara membedakan bentuk tulisan, membuka kalimat di awal tulisan, menuangkan hasil wawancara narasumber ke dalam tulisan, membuat majalah sekolah yang menarik, hingga proses produksi redaksi.

Setelah dua sesi teori yang berlangsung selama tiga jam, para peserta kemudian mengikuti praktik menulis selama 45 menit. Setiap guru diminta menulis sepanjang lima paragraf dengan tema kreativitas.

Secara umum, ide tulisan para guru menarik dan berbeda-beda. Hanya saja, masalahnya tetap terletak pada kalimat pembuka yang sebagian masih kurang menarik. Ada yang tulisannya bagus di paragraf awal, tetapi menjadi kurang menarik di tengah-tengah tulisan.

Bahkan, ada guru yang tidak mampu menyelesaikan lima paragraf karena merasa sudah kehabisan ide. Dari 89 peserta, terpilih 10 pemenang. Pemenang pertama adalah Ni Wayan Seruniati, guru Taman Kanak-kanak Santo Antonius Ampenan. Ia mendapat kesempatan karya tulisnya dipublikasikan di rubrik MUDA harian Kompas. (LUKI AULIA)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Menulis Tak Cukup Berbekal Ide”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 169 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB