Pada sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo menekankan agar pengelolaan sampah di perkotaan lebih baik, antara lain dimanfaatkan sebagai bahan baku energi listrik. Untuk mendorong itu, pemerintah menjanjikan subsidi jika biaya operasionalnya lebih tinggi daripada tarif listrik PLN.
Apa dasar desakan pemerintah untuk menangani sampah di perkotaan itu? Adalah sampah menggunung, tetapi nyaris tak dituntaskan. Bahkan, ada kasus warga meninggal tertimpa tumpukan sampah. Jadi, sampah tak sebatas ancaman.
Jika limbah yang sebagian besar berupa padatan biomassa itu diolah, pemerintah berharap menyumbang pemenuhan target pemanfaatan energi terbarukan sebesar 23 persen dari total bauran energi nasional pada 2025. Itu meningkat tiga kali lipat dari proporsinya saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Volume sampah di Indonesia, salah satu negara terpadat di dunia, memang tergolong besar. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, volume sampah mencapai 175.000 ton per hari atau 64 juta ton per tahun. Sampah sebanyak itu sebagian disumbang penduduk DKI Jakarta, yang tingkat kepadatannya tertinggi. Dari sekitar 10 juta orang di kota metropolitan itu dihasilkan 6.500 ton sampah per hari.
Untuk menampung sampah penduduk Ibu Kota itu, diandalkan tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantar Gebang, Bekasi, yang beberapa kali menimbulkan keributan sehingga truk-truk sampah berbau busuk diparkir di tepi jalan. TPA Bantar Gebang, dengan lokasi seluas 105 hektar yang digunakan sejak 1980-an, diperkirakan penuh dua tahun lagi. Itulah dasar penetapan status “darurat sampah” kota Jakarta.
Lalu, apa strategi untuk mengatasi kedaruratan itu? Menurut Rudi Nugroho, Ketua Tim Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sampah dari Jakarta ke TPA itu harus cepat diolah. Dengan begitu, sampah tak kian menggunung hingga terus mencemari dan potensi longsor.
Pilihan teknologi
Untuk menangani sampah, ada beberapa pilihan teknologi, tergantung dari karakteristik sampah dan lokasinya. Untuk sampah di kota besar, seperti Jakarta dan Bandung, yang tinggi kepadatan penduduknya dan tidak menerapkan pemisahan sampah organik dan non-organik, teknologi yang bisa digunakan adalah insinerator yang menggunakan proses termal (pembakaran yang terkontrol).
Cara pengolahan sampah dengan proses termal itu paling efektif untuk menghabiskan sampah di perkotaan yang volumenya sangat besar dan jenisnya beragam. Saat ini, sampah dari tingkat rumah tangga di Jakarta setiba di TPA memang dicampur jadi satu.
Untuk mengurangi volume sampah secara cepat dan jumlah signifikan, pembakaran dalam tungku bersuhu tinggi. Dengan panas pembakaran 850 derajat celsius, sampah cepat terbakar jadi abu. Lalu, dihasilkan listrik.
Demi membangkitkan listrik, kalor atau panas hasil pembakaran di insinerator disalurkan ke ketel uap untuk memanaskan air. Uap air yang dihasilkan lalu disalurkan untuk menggerakkan turbin uap hingga generator daya dapat membangkitkan listrik
Perkiraan Rudi, untuk satu ton sampah dihasilkan listrik 30 kilowatt jam (kWh). Kira-kira untuk 6.500 ton sampah yang dibuang di kota Jakarta per hari akan dibangkitkan 195.000 kWh.
Tingkat pembangkitan dari sampah di bawah batubara dan solar. Nilai kalornya rendah, di bawah yang dipersyaratkan Bank Dunia untuk insinerator, yaitu minimal 6 kilojoule per kg. Kondisi sampah di Indonesia lebih rendah lagi saat musim hujan. Di Tiongkok, meningkatkan nilai kalor dilakukan dengan menambah batubara pada pembangkit listrik tenaga biomassa.
Namun, meski nilai kalornya rendah, pemanfaatan sampah menekan biaya. Dalam sistem pengolahan sampah itu, energi listrik yang dibangkitkan bisa untuk menggerakkan mesin pembakar sampah itu sendiri, sedangkan kelebihannya disalurkan ke jaringan listrik PLN.
Sistem insinerator termal banyak digunakan di negara maju, seperti Jepang, Singapura, Perancis, Austria, dan Finlandia. Lebih dari 70 persen insinerator di negara itu dilengkapi sistem konversi panas-hasil pembakaran-jadi energi listrik.
Di negara berkembang, insinerator jadi pilihan terakhir karena harganya mahal dan proses pengolahan jadi listrik relatif rumit. Meski begitu, Indonesia, terutama Pemprov DKI, mulai mempertimbangkan penggunaan teknik pengolah sampah itu. Sebab, selain menghadapi kedaruratan sampah dari aspek lingkungan dan sosial, juga didukung anggaran untuk pembangunan dan pengoperasiannya.
“Kota besar seperti Semarang dan Surabaya sedang mengkaji kemungkinan penerapan metode pengolahan sampah dengan sistem termal,” ucap Rudi.
Efek negatif
Pembakaran menggunakan insinerator punya efek negatif. Gas buangnya, seperti sulfur, oksida nitrogen, dan dioksin, tergolong berbahaya bagi lingkungan. Dioksin dapat menimbulkan penyakit kulit dan kanker serta merontokkan daun.
Selain potensi pencemaran udara, instalasi itu juga mengeluarkan limbah beracun. “Residu sampah dari insinerator mengandung logam berat sekitar 10 hingga 15 persen,” ujar Sri Wahyono, pakar teknologi pengolahan sampah dari BPPT. Untuk menangani bahan beracun itu, ada beberapa tahapan dan teknik penyaringan, antara lain alat penyaring dengan partikel berukuran nano.
Pada diskusi yang diadakan BPPT, Nao Tanaka, pakar energi yang juga Executive Director Asian People’s Exchange, mengungkapkan, penggunaan reaktor unggun terfluida (fluidized bed) menggunakan katalis tanah liat. Insinerator itu diuji coba di Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa.
Reaksi kimia fluidisasi itu mereaksikan bahan biomassa dalam banyak fase. Fluida yang terbentuk dialirkan melalui katalis sehingga terjadi penguraian dan reduksi gas bersifat pencemar, seperti karbon.
Selain insinerator termal, dikenal pula insinerator gasifikasi dan pirolisis. Dari gasifikasi dan pirolisis, masing-masing menghasilkan sintetik gas dan minyak yang menjadi bahan bakar juga.
Pengoperasian insinerator itu, selain memerlukan kajian teknis, juga memerlukan penyiapan serangkaian aspek nonteknis, antara lain regulasi tentang emisi gas hasil pembakarannya. Selain itu, perlu alat pengukur emisi gas buang. “Izin lingkungan, petunjuk pelaksanaan dan teknisnya juga harus diatur,” kata Sri.(YUNI IKAWATI/J GALUH BIMANTARA)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Mengolah Sampah Memetik Listrik”.