Sejumlah satwa dilindungi di Indonesia masuk daftar merah Badan Konservasi Dunia. Populasi harimau sumatera dan badak adalah salah satunya. Populasi mereka terus menyusut. Mereka diburu dan organ tubuhnya diperdagangkan. Jerat menjadi pembunuh nomor satu bagi satwa liar dan dilindungi.
Berdasarkan data World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia 2018, jumlah harimau di Sumatera diperkirakan tersisa 500-600 ekor. Seiring jumlahnya yang terus menyusut, perburuan serta pembunuhan terhadap harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) terus terjadi. Kasus terbaru adalah kematian harimau sumatera yang tengah mengandung dua anaknya di Muara Lembu, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, pada Rabu (26/9/2018).
WWF RIAU–Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae) yang terlihat dalam jebakan foto yang dilakukan TIM WWF Riau di salah satu habitat harimau Sumatera di Riau
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Forum Harimau Kita menguraikan, sejak 2001 hingga 2016 terdapat 1.065 kasus konflik manusia dengan harimau sumatera. Hal ini sangat ironis mengingat harimau sumatera adalah satwa yang sangat dihormati oleh nenek moyang orang Sumatera.
Masyarakat di Sumatera sejak dulu menyematkan gelar kehormatan Datuk bagi hewan ini. Sehingga, harimau sumatera kerap dipanggil dengan sebutan Datuk Belang. Di tanah Batak, mereka dipanggil Opung, sebuah panggilan kehormatan untuk orang yang dituakan.
Hal itu mengindikasikan betapa leluhur masyarakat Sumatera menaruh hormat pada harimau. Kondisinya kini sudah berbalik. Harimau sumatera diburu. Jerat dan perangkap dipasang untuk mencelakai mereka dan diambil organ tubuhnya. Perdagangan gelap organ tubuh hewan yang dilindungi ini tak dapat dibendung.
Wildlife Conversation Society mencatat, nilai transaksi perdagangan ilegal satwa naik empat kali lipat sejak 2010. Nilai transaksi perdagangan satwa ilegal rata-rata mencapai Rp 13 triliun per tahun (Kompas, 5/3).
Berdasarkan catatan Forum Harimau Kita, kasus harimau terkena jerat lebih sedikit, tetapi akibatnya fatal. Dari 130 harimau yang terkena jerat, semuanya tidak ada yang selamat. Jerat menjadi pembunuh nomor satu bagi harimau.
Ekolog satwa liar WWF Indonesia Sunarto, Jumat (28/9/2018), menjelaskan, perburuan terhadap ‘Datuk Belang’ belum dapat dibendung. Ia menyebut, harimau diburu karena ada mitos yang berkembang tentang khasiat daging harimau. Selain itu, harimau banyak dijadikan hiasan pajangan.
KOMPAS/NIKSON SINAGA (NSA)–Petugas Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sumatera Utara menunjukkan kulit seekor harimau sumatera, di Medan, Senin (17/10). Petugas menangkap tiga orang pelaku perdagangan satwa dilindungi, Jumat (14/10). Dari pelaku juga disita 3 kiogram sisik tenggiling, 12 lembar kulit ular piton, dan 14 kilogram kulit kura-kura.
Sunarto mengatakan, sudah saatnya pemerintah lebih tegas mengatur penggunaan jerat. Perlindungan harus dilakukan sebab pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019 telah menetapkan harimau sumatera sebagai spesies yang perlu ditingkatkan populasinya.
Selama ini jerat selalu menjadi kambing hitam atas kasus kematian satwa yang dilindungi. Pelaku kerap berdalih, jerat dipasang untuk memburu hewan liar seperti rusa dan babi hutan.
“Menurut saya jerat itu sudah waktunya harus diatur penggunaannya. Tidak boleh sembarangan karena sudah terbukti sekarang kita mengalami krisis di satwa liar kita,” ujar Sunarto.
Terancam punah
Harimau sumatera masuk daftar merah Badan Konservasi Dunia (International Union for Conservation of Nature/IUCN). Satwa Indonesia lainnya yang masuk daftar merah adalah badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang tinggal 40-60 ekor dan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang tersisa 170-230 ekor.
Sunarto menyebut, perburuan liar berperan besar membawa harimau sumatera dan badak ke dalam kondisi kritis. Badak menjadi satwa yang kondisinya paling parah. Menurut Sunarto, jika perburuan liar dan penggunaan jerat tak dikendalikan, dalam jangka waktu 10 hingga 20 tahun satwa-satwa tersebut akan punah.
BALAI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON–Badak jawa bernama Samson ditemukan mati di tepi Pantai Karang Ranjang, Senin (23/4/2018).
Supriatna dalam bukunya Konservasi Biodiversitas Teori dan Praktik di Indonesia (2018) menulis, ancaman terhadap biodiversitas berakar dari peningkatan populasi dan tekanan konsumsi manusia. Pertambahan populasi manusia mendorong intensifikasi pemanfaatan sumber daya alam pada berbagai bidang.
Intensifikasi tersebut terjadi baik secara kualitas maupun kuantitas. Akibatnya bagi ekosistem adalah degradasi habitat, pemanfaatan yang berlebihan, introduksi spesies invasif, dan perubahan iklim.
Groom dalam artikelnya yang berjudul Threat to Biodiversity (2006) menjelaskan, tipe spesies yang terancam punah salah satunya adalah spesies dengan daya jelajah luas. Spesies macam ini akan sulit bertahan karena habitatnya terdegradasi dan terfragmentasi oleh kegiatan manusia.
WWF menyebut, Harimau sumatera merupakan hewan dengan daya jelajah luas. Daya jelajah satu ekor harimau sumatera berkisar antara 30-250 kilometer persegi. Pada 1940-an harimau bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah, disusul harimau jawa (Panthera tigris sondaica) pada 1980-an. Dari tiga jenis harimau di Indonesia, tinggal harimau sumatera yang tersisa.
Selain harimau sumatera, badak sumatera juga terancam punah. Syafrizaldi dalam buku Detak Konservasi Sumatra (2017) menulis, saat Indonesia berusia 10 tahun, populasi badak masih melimpah di pedalaman Sumatra. Kini jumlah badak yang tersisa di Indonesia kurang dari 100 ekor.
Pada 2011, jejak badak tak ditemukan lagi di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Di Bentang Alam Gunung Leuser hanya ditemukan sekitar 15 badak. Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, badak yang tersisa diperkirakan antara 17-14 ekor. Terakhir, di Taman Nasional Way Kambas ditaksir ada 31-37 ekor badak.
Para pakar meyakini, jika jumlah badak di suatu kawasan kurang dari 15 ekor, kepunahannya hanya tinggal menunggu waktu. Karena itu, harus ada tindakan radikal untuk menyelamatkan badak sumatera dari kepunahan.
Kesadaran masyarakat
Menurut Sunarto, menjaga harimau sumatera dan satwa dilindungi lainnya dari kepunahan bukan hanya persoalah penegakan hukum semata, melainkan juga soal kesadaran masyarakat untuk berhenti menggunakan jerat. Sunarto mengatakan, instrumen hukum untuk mengatur penggunaan jerat belum eksplisit.
“Karena masalahnya sudah sangat kronis. Makanya masih banyak yang berdalih menggunakan jerat untuk membasmi hama,” ujarnya.
Senada dengan Sunarto, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan, masyarakat tidak peduli dengan keselamatan hewan dilindungi yang berpotensi terkena jerat mereka. Ia menuturkan, meski petugas telah berkali-kali masuk hutan dan membersihkan jerat, tetapi jerat masih terus ditemukan terpasang di hutan kawasan konservasi.
KOMPAS/ZULKARNAINI–Anggota Ranger Forum Konservasi Leuser memperlihatkan kawat baja yang digunakan pemburu untuk menjerat harimau di dalam Kawasan Ekosistem Leuser di Subulussalam, Aceh, Selasa (9/5). Perburuan satwa liar, seperti gajah, harimau, orangutan, dan rangkong, di Leuser marak. Pada 2016, Forum Konservasi Leuser menemukan 300 jerat satwa di dalam Leuser yang dipasang oleh pemburu.
Langkah lainnya, petugas telah memasang sejumlah kamera di sejumlah titik dalam hutan. Kamera tersebut bisa tahan hingga 20 hari. Selama dua bulan sekali, petugas akan memeriksa apa yang terekam di kamera tersebut.
Wiratno menambahkan, alasan memasang perangkap untuk menangkap rusa atau babi hutan tidak bisa diterima karena bisa melukai satwa dilindungi. Pemasang jerat tetap akan dikenai hukuman sebagaimana tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pada pasal 21 UU itu disebutkan, setiap orang dilarang untuk menangkap, membunuh, dan melukai satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Jika terbukti melanggar, pelaku dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Ke depan, Wiratno berkomitmen akan melarang secara total penggunaan jerat. “Jerat dilarang saja, karena kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya. Nanti akan segera kami buat surat edarannya ke semua unit pelaksana teknis,” ucapnya.
Di sisi lain, Sunarto menilai regulasi terkait pemasangan jerat sudah saatnya diperbarui. Selain itu, fasilitas sumber daya patroli untuk penegakan hukum di lapangan mesti diperbaiki.
“Tentu saja penegakan hukum bukan satu-satunya solusi. Kesadaran masyarakat juga harus dibangun tentang pentingnya menjaga alam dan manfaat satwa,” katanya.
Segenap daya dan upaya sudah diterapkan pemerintah untuk menghadang jerat satwa dilindungi. Upaya itu diharapkan mampu menghalau harimau sumatera dan satwa dilindungi lainnya dari kepunahan. Namun, lebih daripada itu, kesadaran masyarakat untuk menghentikan penggunaan jerat jauh lebih penting. Agar anak cucu kita masih bisa menyaksikan Sang ‘Datuk Belang’ berkeliaran di hutan Indonesia.–I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA /ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 30 September 2018