Mengenang Tunguska, Mencegah Asteroid Menumbuk Bumi

- Editor

Sabtu, 8 Juni 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ancaman asteroid jatuh sebenarnya bisa terjadi di mana pun. Namun banyak kasus jatuhnya asteroid tidak tercatat atau tak diketahui manusia karena sebagian besar wilayah Bumi berupa lautan, dan daratan tak berpenghuni.

KOMPAS/WIKIPEDIA COMMONS—-Pepohonan tumbang akibat kuatnya gelombnag kejut yang dihasilkan dari ledakan asteroid di udara di atas wilayah Tunguska, Siberia, Rusia pada 30 Juni 1908. Citra ini diambil dari Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet melalui ekspedisi yang dipimpin Leonid Kulik pada 1927. Ledakan asteroid itu menghanguskan 25 kilometer persegi hutan dan menumbangkan 80 juta pohon di areal seluas 2.000 kilometer persegi. Kini, 30 Juni diperingati sebagai Hari Asteroid Internasional untuk membangun kesadaran adanya potensi bahaya dari jatuhan asteroid, meteorit, atau komet bagi kehidupan di Bumi.

Pada 30 Juni 1908 pagi, sekitar satu bulan setelah gerakan Budi Oetomo dideklarasikan di Jakarta, sebuah asteroid besar melintas di wilayah udara Siberia, Uni Soviet (saat ini Rusia). Gesekan dengan atmosfer Bumi membuat batuan luar angkasa itu terbakar dan bercahaya terang atau menjadi meteor hingga akhirnya meledak di atas daerah Tunguska.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat meteor mendekati permukaan tanah, terdengar suara desingan keras seperti membelah langit. Bola api itu meluncur dengan kecepatan tinggi dari arah tenggara. Ukurannya lebih besar dari Matahari namun cahayanya lebih redup dibandingkan Matahari di musim panas tersebut. Di belakang bola api itu, ada jejak awan debu berwarna biru.

Setelah itu, terdengar ledakan keras hingga menggetarkan Bumi. Suara ledakan itu terdengar keras hingga jarak 80 kilometer dari pusat ledakan. Pada jarak sejauh itu, ledakan juga memicu gelombang kejut dan hembusan angin kencang bak tornado yang berhawa panas dan mampu melempar warga yang duduk di kursi. Kuda-kuda pun berlarian karena ketakutan.

Namun, tidak ada laporan korban jiwa resmi dari peristiwa jatuhnya asteroid tersebut. Tunguska merupakan taiga atau hutan boreal, yaitu hutan dengan satu spesies tanaman yang umumnya berupa tumbuhan berdaun jarum seperti pinus atau cemara. Wilayah yang terletak di Siberia Timur itu benar-benar terpencil.

Saking terpencilnya, seperti dikutip dari Space, Rabu (30/6/2021), kondisi nyata di lokasi ledakan baru diketahui pada tahun 1927 melalui misi ilmiah yang dipimpin Leonid Kulik. Ledakan itu menghanguskan pepohonan seluas 25 kilometer persegi dan menumbangkan sekitar 80 juta pohon yang tersebar di wilayah seluas 2.000 kilometer persegi.

Meski ledakan terjadi di Tunguska, dampaknya terasa hingga wilayah yang sangat jauh. Suara ledakan asteroid itu terdengar hingga jarak 800 kilometer atau sepanjang Serang di Provinsi Banten ke Surabaya di Jawa Timur. Ledakan dari asteroid ini juga terlacak di seismograf yang ada di Observatorium Magnetografi dan Meteorologi Irkustk, Rusia dengan kekuatan 5 skala Richter.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin dalam webinar “Mitigasi Benda Jatuh Antariksa di Indonesia” yang diselenggarakan Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera Lampung (OAIL), Rabu (30/6/2021), mengatakan debu yang naik ke atmosfer akibat ledakan yang terjadi memicu terjadinya awan noktilusen.

Awan noktilusen merupakan awan yang membiaskan cahaya Matahari saat Matahari sudah tenggelam. Akibatnya, meski jam sudah menunjukkan waktu malam, warga London, Inggris masih bisa membaca koran dengan jelas di luar rumah pada saat ledakan Tunguska itu terjadi.

Meski ledakan besar yang menghanguskan taiga di Tunguska itu diduga akibat asteroid, tidak ada kawah atau lubang bekas tumbukan seperti yang biasa terlihat pada bekas hantaman meteor atau asteroid di tanah. “Diduga, asteroid ini meledak sebelum mencapai permukaan tanah, pada ketinggian sekitar 8-10 kilometer,” tambahnya.

Asteroid yang meledak di Tunguska itu diperkirakan memiliki diameter awal sebesar 100 meter dan bobot sekitar 1 juta ton. Semasa di orbitnya, asteroid ini bergerak dengan kecepatan 20-30 kilometer per detik. Energi ledakan asteroid ini diperkirakan mencapai 10-30 megaton bom trinitrotuluena (TNT) atau 1.000-3.000 kali kekuatan bom atom yang jatuh di Hiroshima, Jepang tahun 1945.

Dampak ledakan
Dahsyatnya dampak akibat ledakan asteroid di Tunguska itu membuat setiap tahunnya, tanggal 30 Juni diperingati sebagai Hari Asteroid Internasional. Ketua Umum Himpunan Astronomi Indonesia Budi Dermawan dalam lokakarya Dari Asteroid ke Meteorit di Bandung, Sabtu (26/6/2021) mengatakan peringatan ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 6 Desember 2016.

Salah satu pencetus peringatan ini adalah astrofisikawan yang juga gitaris band rock Queen, Brian May. Tujuan perayaan ini adalah untuk terus mengingatkan manusia Bumi bahwa ancaman jatuhan benda langit itu, baik asteroid, komet, ataupun meteorit, adalah nyata.

Meski frekuensi jatuhan benda langit berukuran besar yang bisa berdampak besar bagi kelangsungan makhluk hidup di Bumi itu jarang, dampaknya amat besar bila sudah terjadi. Jatuhnya asteroid berdiameter 10 kilometer di wilayah Semenanjung Yukatan, Meksiko, pada 65 juta tahun lalu yang memusnahkan dinosaurus menjadi buktinya.

Tumbukan asteroid besar itu membuat debu sisa tumbukan terbang tinggi hingga memenuhi stratosfer Bumi. Situasi itu memicu perubahan iklim besar, membuat Bumi gelap karena sinar Matahari tidak bisa menembus muka Bumi, musim dingin menjadi ekstrem dan berkepanjangan, hingga akhirnya tumbuhan tak tumbuh dan dinosaurus pemakan tumbuhan pun mati. Dinosurus karnivora pun ikut mati karena terputusnya rantai makanan mereka.

“Di masa depan, Bumi berpeluang ditabrak kembali oleh benda langit lain dalam skala besar seperti yang terjadi di masa lalu. Namun, waktunya belum diketahui,” katanya. Dengan makin banyaknya pengetahuan manusia tentang asteroid atau meteoroid (batuan antariksa sebelum memasuki astmosfer Bumi atau menjadi meteor) di sekitar Bumi yang bisa mengencam Bumi maka antisipasi bisa segera dilakukan demi menyelamatkan Bumi.

Indonesia rentan
Peristiwa Tunguska bukanlah satu-satunya kejadian jatuhnya asteroid besar yang mengancam di Bumi di era modern. Pada 15 Februari 2013, asteroid berdiameter 17 meter melintas di langit Chelyabinsk, Rusia bagian tengah atau di sebelah barat Tunguska. Gelombang kejut dari asteroid ini saat melintas di langit telah menghancurkan kaca jendela lebih dari 4.000 bangunan dan melukai sekitar 1.200 orang.

Ancaman asteroid jatuh sebenarnya bisa terjadi di mana pun. Namun karena sebagian besar wilayah Bumi berupa lautan, dan daratan yang tidak berpenghuni, maka banyak kasus jatuhnya asteroid itu tidak tercatat atau tidak diketahui manusia.

Wilayah Indonesia pun tidak lepas dari ancaman jatuhan asteroid. Pada 8 Oktober 2009 sekitar pukul 10.30 Wita, sebuah asteroid berdiameter 10 meter diperkirakan jatuh dan meledak di atas Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Saat itu, banyak warga menyaksikan kilatan cahaya merah yang disertai kepulan asap putih dan bunyi ledakan berturutan.

Semula warga mengira ledakan itu dipicu oleh jatuhnya pesawat. Namun, otoritas penerbangan tidak melaporkan adanya pesawat hilang atau jatuh. Dugaan suara ledakan itu dipicu asteroid yang meledak di udara datang dari analisis Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) terhadap suara yang ditangkap oleh alat pendeteksi suara infrasonik milik Organisasi Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBTO).

Meski demikian, ledakan asteroid yang berukuran cukup besar di Bone itu tidak tercatat dalam basis data The Meteoritical Society. Dalam catatan organisasi tersebut, ada 22 kasus jatuhnya asteroid atau meteorit di Indonesia dengan status 20 kasus tercatat resmi, satu kasus diragukan yaitu meteorid yang jatuh Jawa Tengah pada tahun 1421, dan satu meteor dari Bali yang ditemukan pada 1981 tidak diakui karena hasis analisis geokimianya menunjukkan dia bukan meteorit (meteor yang masih tersisa saat tiba di permukaan tanah).

Dua kasus terakhir jatuhnya meteor dari Indonesia yang tercatat dalam basis data itu adalah meteor yang jatuh di Astomulyo, Punggur, Lampung Tengah, Lampung pada 28 Januari 2021 dan meteorit yang jatuh di Satahi Nauli, Kolang, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada 1 Agustus 2020.

Untuk meteorit Punggur, tercatat ada lima batuan meteorit yang ditemukan dengan berat antara 50 gram sampai 2.511 gram. Salah satu meteorit seberat 2.200 gram jatuh di atas genting rumah warga dan tembus hingga membuat hangus kasur di bawahnya.

“Untung penghuni rumah yang kejatuhan meteor itu sedang berada di luar rumah hingga tidak ada korban,” kata Koordinator Pengembangan OAIL yang meneliti meteorit Punggur, Robiatul Muztaba.

Sementara meteorit yang ditemukan di Kolang ada empat buah dengan berat antara 100 gram sampai 2.100 gram. Batu ini juga jatuh menimpa atap rumah warga dan juga di sawah.

Baik meteorit Punggur maupun Kolang, lanjut Thomas, keduanya adalah meteorit batuan, bukan logam. Ini merupakan bentuk meteorit yang paling banyak ditemukan dan tidak mengandung unsur berbahaya sehingga keberadaannya tidak perlu dilindungi. Informasi ilmiah tentang meteorit batuan juga sudah banyak diketahui. Karena itu, masyarakat boleh memiliki meteorit tersebut, termasuk jika ingin menjualnya.

“Jika meteorit yang jatuh tersebut memiliki potensi bahaya, baik karena kandungan besi di dalamnya, langka diteliti dan ukurannya relatif besar sehingga memiliki nilai lebih bagi ilmu pengetahuan, maka meteorit tersebut wajib di serahkan ke Lapan,” tambahnya.

DOKUMENTASI HUMAS ITERA—Dua dosen Institut Teknologi Sumatera, Lampung, meneliti sampel meteorit yang ditemukan di Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.

Di luar meteorit yang sudah terdaftar dalam basis data The Meteoritical Society, banyaknya laporan melihat meteor di Indonesia yang tidak bisa didaftarkan karena tidak ada bukti meteorit yang ditemukan, seperti kasus asteroid yang meledak di Bone pada 2009 atau meteor yang tampak di Puncak Gunung Merapi, Di Yogyakarta pada 31 Mei 2021. Wilayah Indonesia yang sebagian besar berupa laut, hutan, atau wilayah tak berpenghuni membuat jatuhnya meteorit tidak selalu terdokumentasikan.

Meski demikian, dari data temuan meteorit maupun laporan jatuhnya meteor di berbagai daerah yang sering muncul menunjukkan Indonesia sejatinya juga rentan atas jatuhnya batuan antariksa. Meski dari sejumlah kasus yang ditemukan menunjukkan risikonya sampai menimbulkan kerugian material maupun nyawa relatif kecil, namun situasi ini tetap perlu diwaspadai.

Menjaga Bumi
Seiring berkembangnya teknologi manusia, jumlah asteroid dekat Bumi makin banyak dikenali. Sebuah asteroid dekat Bumi dinilai membahayakan Bumi jika orbit asteroid tersebut saat mengelilingi Matahari berpotongan dengan orbit Bumi yang juga memutari Matahari. Situasi itu membuat antara asteroid tersebut dengan Bumi berpeluang untuk saling bertabrakan.

Data Pusat Studi Obyek Dekat Bumi (CNEOS) yang didukung oleh Kantor Koordinasi Pertahanan Keplanetan (PDCO) NASA menunjukkan ada 889 asteroid dengan diameter lebih dari 1 kilometer yang sudah diketahui. Hingga 3 Juli 2021, sudah ada 26.136 asteroid dekat Bumi yang ditemukan pada berbagai ukuran, dengan hampir sepertiga diantaranya berdiameter 30 meter sampai 100 meter.

Sejumlah lembaga antariksa membuat sistem pertahanan Bumi dari ancaman asteroid atau komet dekat Bumi. Mereka bekerja sama mencari, menemukan dan melacak obyek-obyek di dekat Bumi yang berpotensi membahayakan Bumi. Obyek yang ditemukan itu selanjutnya akan ditentukan lintasan orbitnya, ukuran, bentuk, massa, komposisi kimia, dinamika rotasi atau parameter lainnya.

Dari data itu, dikutip dari situs Kantor Koordinasi Pertahanan Keplanetan (PDCO) NASA, para ahli akan menentukan tingkat keparahan dari kemungkinan masuknya obyek tersebut ke atmosfer Bumi atau peluang bertabrakan dengan Bumi. Tim juga akan memprediksi waktu terjadinya tabrakan tersebut sekaligus mencari solusi untuk meminimalkan risiko tabrakan yang bakal terjadi.

Sejumlah skenario untuk meminimalkan risiko tabrakan itu yakni dengan membelokkan atau mengganggu lintasan obyek tersebut. Gangguan itu akan membuat asteroid melenceng dari jalurnya hingga dapat mengurangi risiko obyek tersebut menabrak Bumi dan menyelamatkan lebih banyak kehidupan di Bumi.

“Salah satu upaya mengganggu orbit asteroid itu adalah menghantamnya dengan nuklir yang dikirim dari Bumi. Energi nuklir itu akan mendorong asteroid melenceng dari jalurnya atau tidak mengarah ke Bumi,” kata Thomas.

Meski demikian, cara itu akan efektif jika jarak antara temuan asteroid yang berbahaya dan waktunya bertabrakan dengan Bumi cukup panjang, misal puluhan tahun. Karena itu, proses deteksi dini akan sangat menentukan. Namun untuk asteroid berukuran kecil dengan diameter kurang dari 10 meter, seperti yang meledak di Teluk Bone, akan lebih sulit untuk dipantau hingga lebih mudah mengancam Bumi.

Langkah lain yang diambil adalah dengan memitigasi kehidupan Bumi, termasuk proses evakuasi penduduk Bumi. Skenario ini sudah dibuat. Pada April 2021 lalu, sempat muncul berita tak tepat di media sosial yang menyebut Indonesia dan sejumlah negara Asia akan jadi tempat pengungsian warga Eropa dan Amerika Utara yang wilayahnya akan dihantam asteroid 2021 PDC.

Padahal, cerita itu sejatinya hanya pelatihan mitigasi penyelamatan Bumi dari tabrakan dengan asteroid yang diselenggarakan dalam rangka Konferensi Pertahanan Keplanetan di Wina, Austria. Dalam skenario itu, penduduk Bumi hanya punya waktu enam bulan untuk menyelamatkan diri dari asteroid yang diprediksi menabrak Bumi pada Oktober 2021.

Meski ancaman asteroid dekat Bumi itu nyata, masyarakat tak perlu khawatir. Sejumlah ahli dan lembaga pemerintah sudah berupaya mengantisipasinya secara terukur. Sejumah teknologi pendeteksi obyek dekat Bumi juga terus dikembangkan dan berbagai skenario mitigasi bencana dibangun. Namun, potensi jatuhan obyek langit yang tak terpantau atau tidak terprediksi tetap ada. Karena itu, kewaspadaan dan kepedulian masyarakat atas bahaya asteroid itu perlu terus dibangun dan dijaga.

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 7 Juli 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB