Masalah sampah di DKI Jakarta tak kunjung terselesaikan sejak zaman Gubernur Ali Sadikin. Meski pembuangan sampah sudah terkoordinasi dengan baik, terbatasnya kapasitas TPST Bantargebang menjadi masalah.
DOK PENGURUS RUSUN BAMBU LARANGAN–Warga Rumah Susun Bambu Larangan Blok A, Cengkareng, Jakarta Barat, berkumpul untuk memilah sampah plastik dan sampah organik.
Setelah 2021, Jakarta terancam tidak bisa membuang 7.800 ton sampah warga Jakarta ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang karena penuh. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun fasilitas pengelolaan sampah antara di kota (intermediate treatment facility), yang direncanakan sejak zaman Gubernur Fauzi Bowo. Jika lancar, proyek ini baru akan selesai pada 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemprov DKI Jakarta bersama warga juga berencana membentuk lembaga pengelola sampah di tingkat rukun warga untuk pemilahan sampah di permukiman. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, bahkan ada sanksi bagi siapa pun yang melanggar.
Pada zaman Gubernur Ali Sadikin, Pemprov DKI Jakarta sampai mengkampanyekan penggunaan kantong plastik untuk menampung sampah. Alasannya, untuk menjaga kebersihan kota, dan praktis di tengah keterbatasan armada truk sampah waktu itu (Kompas, 7/4/1972).
Produksi sampah 4,5 juta jiwa penduduk Jakarta waktu itu sekitar 7.000 meter kubik per hari. Jangankan memilah sampah, membuang sampah pada tempatnya masih menjadi masalah waktu itu. Pemprov sampai menempatkan polisi kebersihan di sejumlah titik untuk menegakkan peraturan dan memberi petunjuk/bimbingan tentang kebersihan kepada warga. Pada 21 Juli 1972, Kompas memberitakan, lima orang diajukan ke pengadilan karena membuang sampah sembarangan.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Warga membuang label kemasan minuman sebelum botol plastik dijual ke Bank Sampah Warga Berguna (Sawarna) di Sekretariat PKK dan RW 04, Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (13/12/2018). Dalam satu bulan itu paling tidak terkumpul 300 kilogram aneka sampah, paling banyak kardus bekas dan botol plastik, yang kemudian disetor ke bank sampah tingkat kotamadya.
Tanggung jawab
Mengajak dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan bisa menjadi solusi, meski untuk mewujudkan gerakan ini perlu waktu. Tidak sekadar memilah, ajak juga masyarakat untuk mengelola sampah mereka.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 53 persen sampah Jakarta merupakan sampah makanan, 9 persen sampah plastik, 6 persen sampah jenis plastik PET (Polyethylen Terephtalate) yang bisa didaur ulang, 7 persen sampah kertas, dan sisanya sampah jenis lain (Kompas, 20/2/2020).
Penggunaan komposter dan lubang biopori, misalnya, bisa untuk mengelola sampah rumah tangga sehingga tidak perlu dibuang ke tempat sampah yang berujung ke Bantargebang. Sampah plastik PET dan kertas dikumpulkan melalui bank sampah. Jika ini dilakukan, lebih dari 50 persen sampah bisa dikelola di tingkat rumah tangga. Sampah tidak perlu sampai ke tempat pembuangan. Lingkungan pun bersih.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Suku Dinas Lingkungan Hidup Kota Jakarta Barat mencoba alat komposter yang dimiliki rumah susun Bambu Larang, Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (26/2/2019). Program ini menjadi bagian dari Kampung Cermat Dalam Memilah Sampah, atau disingkat Kampung Cerdas.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 7 April 2020