Lebih dari satu dekade terakhir, berbagai maskapai memberikan layanan internet selama penerbangan. Namun, internet yang disediakan mahal dan lambat. Terbatasnya kapasitas internet membuat layanan umumnya berupa teks dan belum bisa untuk mengakses video.
Menjawab tantangan itu, satelit ViaSat-2 dan Eutelsat 172B diluncurkan dari Bandar Antariksa Guyana di Kourou, Guyana-Perancis, Kamis (1/6) pukul 20.45 waktu setempat atau Jumat (2/6) pukul 06.45 WIB. Selain memberikan layanan telekomunikasi terestrial, kedua satelit juga akan melayani internet di pesawat.
ViaSat-2 ialah satelit raksasa seberat 6.418 kilogram buatan Boeing dan dioperasikan ViaSat Inc, Amerika Serikat, untuk melayani wilayah Amerika Utara dan sebagian Amerika Selatan. Sementara Eutelsat 172B seberat 3.551 kg dibuat Airbus Defence and Space, dioperasikan Eutelsat, berbasis di Perancis dan melayani internet di Asia Pasifik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski teknologi terbatas, kebutuhan internet di pesawat meningkat. Setiap tahun, pertumbuhan permintaannya dua digit hingga banyak operator satelit menekuni pangsa pasar itu.
Pada 2016, seperti dikutip BBC, Jumat, lebih dari 6.000 pesawat komersial di dunia memberikan layanan internet di ketinggian lebih dari 35.000 kaki atau hampir 11 kilometer. Pada 2021, diprediksi hampir separuh pesawat komersial atau 17.000 pesawat menyediakan internet.
Bahkan, Euroconsult, lembaga analis industri satelit, memprediksi pendapatan dari penyediaan internet di pesawat melonjak dari 1 miliar dollar AS atau Rp 13,3 triliun menjadi 6,5 miliar dollar AS atau Rp 86,5 triliun satu dekade mendatang.
Keterbatasan teknologi
Meski ada layanan internet di pesawat, umumnya pelanggan kecewa dengan kecepatan internet dan harganya yang mahal. Keterbatasan kapasitas pita lebar membuat pelanggan hanya bisa mengakses surat elektronik atau beberapa media sosial dan tak bisa melihat video.
Layanan ini hanya dinikmati saat pesawat di ketinggian 10.000 kaki atau di atas 3 km. Itu tak bisa dipakai saat pesawat lepas landas atau mendarat.
Sinyal internet di pesawat diperoleh dengan dua cara. Salah satunya dengan menangkap sinyal menara seluler terdekat di darat memakai antena khusus yang tertanam di bagian bawah badan pesawat. Saat pesawat melintasi lautan atau daratan terpencil, koneksi internet itu terganggu.
Cara lain yang lebih andal adalah memanfaatkan satelit telekomunikasi geostasioner. Satelit ini sebagai penghubung untuk menerima dan mengirim sinyal dari darat ke pesawat atau sebaliknya. Dari antena di atas pesawat, sinyal disebar ke semua pesawat memakai router.
Namun, terbatasnya kapasitas internet membuat kecepatan internet di pesawat amat lambat. Pada 2008, layanan internet di pesawat di Amerika Serikat hanya berkapasitas 3 megabit per detik (Mbps). Kapasitas kecil itu dipakai sejumlah maskapai.
Di Inggris, seperti dikutip telegraph.co.uk, 30 Januari 2017, kecepatan internet di pesawat naik menjadi 12 Mbps. Itu lebih rendah daripada kecepatan internet rumah tangga di Inggris pada 2016 sebesar 28,9 Mbps.
Internet kecepatan tinggi di pesawat itu didapat dengan memakai transponder Ku-band, Ka-band, dan Ku/Ka band. Saat ini, sedikit satelit punya transponder dalam frekuensi itu.
Layanan ini mahal karena berbagai peralatan penerima dan pengirim sinyal di pesawat memengaruhi performa pesawat hingga meningkatkan kebutuhan bahan bakar. Beban biaya bahan bakar serta perawatan dan teknis itulah yang membuat harga internet di pesawat mahal.
Seiring makin banyak satelit besar dengan transponder Ka-band, Ku-band, Ka/Ku-band pendukung layanan internet di pesawat, diharapkan layanan internet di pesawat kian murah dan cepat. (MZW)
—————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Menanti Internet Cepat dan Murah di Pesawat”.