Setiap kali penyu betina naik dan merayapi permukaan pantai untuk bertelur, pasti meninggalkan jejak. Namun, kadang tak ditemui saat pemantauan di lapangan. Rasanya aneh.
Tak kalah aneh, hanya dijumpai jejak penyu mendarat, tanpa jejak kembali ke laut. Tentu tak mungkin kalau terbang.
Memang tak mungkin. Namun, “penyu terbang” jadi bahan kelakar-lebih tepat sindiran. Penyu terbang untuk menyebut hilangnya penyu akibat ditangkap ketika pantai, tanpa pernah kembali ke laut. Ya, perburuan untuk konsumsi dan satwa awetan masih terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena “penyu terbang” ditemui Kompas saat mengikuti pelatihan pemantauan lokasi peneluran penyu, Jumat (10/6) di Pantai Sosadale, Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, NTT. Cerukan di pasir selebar 80 cm tampak melintang. Tak ada jejak kembali menuju laut.
“Ini yang beta maksud dengan penyu terbang,” kata Renhard Matita, warga Rote Tengah. “Ya, terbang ke dapur,” sambut peserta lain. Siang terik itu ada 8 jejak penyu di Pantai Sosadale.
Dalam peta zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu, lokasi peneluran penyu masuk zona pemanfaatan. Di area itu bisa digunakan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup.
Namun, itu tak termasuk izin menangkap penyu. Kepercayaan masyarakat Landu melarang membunuh penyu belimbing (Dermochelys coriacea), yang mereka sebut penyu setan.
Penyu raksasa hitam dengan karapas mirip belimbing itu pantang dikonsumsi warga desa. “Kata moyang kami, kalau makan penyu itu bisa sakit,” kata Yusuf Messaks, warga Landu yang juga masyarakat peduli penyu.
“Penyu setan” pemangsa ubur-ubur itu-bersama penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang diambil karapasnya untuk perhiasan-masuk kategori kritis (critically endangered)-satu tahap di bawah punah di alam- menurut Daftar Merah Badan Konservasi Dunia (IUCN). Jenis lain di Indonesia adalah penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu tempayan (Caretta caretta) yang masuk kategori terancam (endangered), serta penyu lekang (Lepidochelys olivacea) masuk kategori rentan (vulnerable). Adapun penyu pipih (Natator depressus) masih minim data.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sejumlah mahasiswa dan masyarakat peduli penyu, Jumat (10/6) di Pantai Sosadale, Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, NTT, berlatih pemantauan lokasi peneluran penyu. Mereka menemukan bekas lokasi peneluran penyu yang telah menetas. Keterlibatan masyarakat melindungi satwa dilindungi itu sangat vital bagi keberlanjutan sumber daya pesisir, selain penyu.
Di Laut Sawu, seluruh jenis penyu yang ada di Indonesia itu umumnya terancam perburuan, sampah, penambangan pasir, pembangunan di daerah pantai, dan dampak perubahan iklim. Tak heran, seperti dituturkan para sesepuh masyarakat, jumlah penyu mendarat kini amat minim daripada 10-20 tahun lalu.
Siklus hidup
Siklus hidup dan reproduksi penyu sangat lambat dan kompleks. Simulasi para mentor dari The Nature Conservancy Indonesia, secara alami dalam kurun 100 tahun, sepasang manusia mampu menghasilkan 6 generasi dengan satu generasi meninggal. Penyu hanya bisa menghasilkan tiga generasi dengan satu generasi mati. “Tingkat penambahan populasi penyu rendah meski waktu hidup penyu lebih panjang sampai 100 tahun,” kata Yusuf Fajariyanto, pelatih dari TNC.
Untuk mencapai dewasa atau matang gonad, penyu butuh waktu hingga 30 tahun. Mengutip paparan pakar penyu internasional asal Malaysia, Nicolas J Pilcher, sebelum “memutuskan” kawin, penyu betina harus menyiapkan diri 2-3 tahun
Masa itu digunakan calon induk mengalihkan hormon jadi sumber energi. Proses pertumbuhan dialihkan ke pembentukan sekitar 700 folikel telur. Lalu, 2-3 bulan sebelum prediksi masa peneluran, penyu betina bermigrasi dan kawin.
Penyu menganut “poliandri” atau satu betina dikawini lebih dari satu pejantan. Dalam satu masa, induk betina dikawini 4-5 penyu jantan yang tak segan menyakiti pesaingnya.
Uniknya, sistem reproduksi penyu betina mampu menyimpan sel-sel sperma dari pejantan berbeda, lalu mencampurkannya ke folikel. Itu meningkatkan variasi “darah” keturunan.
Selama 2-4 pekan, penyu betina menuju pantai untuk bertelur. Dalam periode berikutnya, penyu betina bisa mendarat 4-8 kali ke pantai untuk bertelur dengan interval 2-3 pekan. Dalam satu kali peneluran, penyu bisa menaruh 60-100 telur.
Setelah semua telurnya dikeluarkan, penyu akan kembali ke lokasi ketersediaan pakan. Itu bisa berjarak ribuan kilometer dari pantai tempat bertelur.
Selain dari manusia dan predasi, ancaman lain penyu secara alami datang dari peningkatan muka air laut akibat perubahan iklim. Pantai-pantai dengan tinggi muka air laut yang rendah sering kali terendam sehingga telur busuk atau gagal menetas.
Belum lagi soal penambangan pasir hingga pembangunan pesisir tak ramah “penyu”. Contohnya, pembangunan tembok pantai dan penggunaan sempadan pantai untuk hotel/resor yang berbuah hiruk-pikuk suara dan cahaya pengganggu penyu.
Berbagai kondisi alam dan gangguan predasi hingga kemajuan pembangunan cukup mengusik kehidupan fauna penjelajah eksotis itu. Di banyak tempat, termasuk di Pantai Sosadale, penyu penjelajah itu berakhir tragis: “terbang” entah ke mana. Perlu kesadaran banyak pihak demi keberlanjutannya.(ICHWAN SUSANTO)
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juni 2016, di halaman 5 dengan judul “Menangkal Penyu-penyu “Sosadale” Itu Terbang”.