Setelah berjam-jam mengutak-atik karakter animasi di komputer, Riska Aulia (16) mereguk sekaleng minuman soda dalam ruangan bercahaya temaram mirip kafe. Tak ada buku pelajaran, hanya perangkat komputer canggih berjajar di ruangan berinterior minimalis-modern. Tak terbayangkan, suasana ini ternyata berada di sekolah menengah kejuruan.
Di sofa oval yang terletak pada mezzanine atau entresol yang beralaskan papan kayu, beberapa remaja bersantai sambil membaca buku animasi terbitan luar negeri. Selang beberapa saat, mereka kembali ke lantai bawah dengan meluncur melalui perosotan.
Begitulah suasana Raden Umar Said (RUS) Studio, ruang kreatif yang dikelola SMK Raden Umar Said, Kudus, Jawa Tengah. Pada hari Kamis (13/10) siang itu, Riska dan belasan siswa lain sedang menggarap proyek film animasi Pasoa dan Sang Pemberani, yang akan ditayangkan di salah satu televisi swasta nasional, Februari 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini lagi membetulkan gerakan tokoh Amed Mude. Sudah mau deadline. Kelihatannya harus lembur lagi, he-he…,” ucap Riska sembari terkekeh.
Pulang larut hingga pukul 20.00, bukan hal baru bagi Riska, remaja asal Desa Gajah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, itu. Bukannya mengeluh, dia justru menikmatinya. Riska yakin, situasi kerja di industri animasi yang ingin digelutinya akan menuntutnya seperti itu.
Animasi bukan hal baru bagi Riska. Awalnya, dia hanya suka menggambar. Didukung peralatan canggih dan kesabaran guru serta mentornya di SMK tersebut, kini dia mampu menggerakkan karakter animasi sesuai naskah cerita layaknya animator profesional.
Pada ruang yang sama, di sudut lain, Rizki Ulin Niam (16) kelihatan serius saat memberi struktur kerangka pada karakter animasi. Beberapa kali, dia bertanya kepada Roy (33), sang mentor. “Ini proses paling sulit dalam animasi,” ucap remaja asal Kudus tersebut.
Walau mengerjakan hal sulit, Rizki menikmatinya. Dia yakin, iklim industri animasi seperti itu yang menjadi masa depannya. Meski masih sekolah, dia pernah menerima honor hingga Rp 500.000 atas jerih payahnya. Dia kian mantap bercita-cita menjadi animator. Sepengetahuannya, gaji seorang animator medioker bisa mencapai Rp 15 juta per bulan.
Kepala Program Keahlian Animasi SMK Raden Umar Said Agam Amintaha mengatakan, sekolah berupaya menghadirkan teaching factory, situasi dan kondisi dunia kerja yang sesungguhnya, di SMK. Kurikulum yang disusun juga menyelaraskan teori dengan praktik kerja proyek.
Demikian pula dalam penilaian, porsi tes tertulis hanya 30 persen, sedangkan 70 persen merupakan penilaian kerja proyek. Meski masih dalam tataran uji coba, dia yakin, jika program pembelajaran seperti ini berhasil, bisa dijadikan acuan SMK-SMK lain.
Metode pembelajaran tidak hanya dari guru di kelas, tetapi juga dari mentor yang mendampingi siswa. Sekolah memiliki delapan mentor yang memiliki pengalaman cukup lama di bidang animasi.
Meningkatkan kecakapan
Roy, misalnya, empat tahun bekerja di Infinite Studios di Batam dan tiga tahun di MSV Pictures Yogyakarta. Dia terlibat beberapa penggarapan film animasi internasional, termasuk Garfield.
Keberadaan para mentor sangat berperan meningkatkan kecakapan siswa. “Waktu saya datang, banyak yang pegang mouse (tetikus) saja belum bisa. Dalam waktu empat bulan, mereka sudah bisa buat cuplikan film animasi,” ujar Roy.
SMK Raden Umar Said memiliki lima program keahlian, yakni perencanaan grafika, produksi grafika, desain komunikasi visual, animasi, dan rekayasa perangkat lunak. Kepala SMK Raden Umar Said Fariduddin mengatakan, sekolah berupaya membangun jejaring dengan berbagai industri. Hal itu dilakukan melalui pameran atau datang langsung ke industri terkait. Dia mencontohkan, untuk keahlian grafika, SMK memiliki nota kesepakatan dengan 53 perusahaan percetakan.
Untuk program animasi yang baru berumur dua tahun, sejumlah studio animasi di Batam, Bali, dan Jakarta bahkan sudah “memesan” siswa-siswa SMK tersebut. “Ada studio di Bali minta 100 siswa untuk bekerja di sana. Kami belum sanggup karena mereka masih kelas XI,” kata Fariduddin.
Pada masa mendatang, SMK Raden Umar Said, terutama, program animasi, diarahkan benar-benar menjadi industri. Selain meningkatkan pengalaman siswa, hal itu juga dapat mendatangkan pemasukan bagi sekolah. Pada tahun depan, mereka akan bergabung dalam penggarapan film animasi Si Unyil.
Pembangunan RUS Animation Studio dilakukan lewat kerja sama dengan Djarum Foundation dan perusahaan Jepang. Kedua lembaga ini berperan pula dalam pengembangan SMK Wisudha Karya, sekolah kejuruan pelayaran di Kudus.
Simulator
Sama seperti studi animasi di SMK Raden Umar Said, konsep teaching factory juga coba dihadirkan pada program studi nautika kapal niaga dan teknika kapal niaga di SMK Wisudha Karya. Untuk menyiapkan tenaga pelaut yang siap pakai, pembelajaran siswa dilengkapi fasilitas simulator anjungan kapal (full mission bridge simulator).
Peralatan ini memungkinkan siswa benar-benar memahami sistem kerja berbagai kapal, mulai dari kapal kontainer, penumpang, hingga tanker. Dalam anjungan ini, siswa seolah dihadapkan pada berbagai situasi di laut dan tantangannya.
Siswa, misalnya, bisa merasakan paniknya mengendalikan kapal saat menghadapi badai, ombak besar, dan arah angin yang tidak beraturan.
Kepala SMK Wisudha Karya Sudirman mengatakan, studi pelayaran baru dibuka dua tahun lalu untuk merespons kebutuhan lulusan SMP di Kudus yang ingin menjadi pelaut. Selama ini, mereka terpaksa bersekolah ke Demak, Pati, Semarang, bahkan Surabaya.
Menurut Sudirman, banyak siswa pelayaran yang belum lulus sudah ditawari bekerja di perusahaan pelayaran dengan iming-iming gaji hingga Rp 10 juta per bulan. Jejaring dengan perusahaan-perusahaan pelayaran itu terus dikembangkan oleh sekolah.
Vendi Alfi Prayuda (16), siswa kelas XI SMK Wisudha Karya, menuturkan, profesi bidang pelayaran dipilihnya ketimbang masuk SMA karena lebih menjanjikan. “Kalau masuk SMA, saat lulus belum tentu bisa kerja. Kalau di SMK pelayaran dan menjadi pelaut, tawaran gajinya tinggi,” ujarnya.
Fariduddin dan Sudirman yakin, SMK kini dituntut menawarkan program keahlian yang dalam 20 tahun ke depan diminati pasar. Jika terus mempertahankan jurusan yang sudah jenuh, seperti akuntansi atau teknik, niscaya SMK tidak akan berkembang, bahkan malah mati.—GREGORIUS MAGNUS FINESSO
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2016, di halaman 11 dengan judul “Membangun SMK Berkualitas”.