Memahami Gempa Beruntun Lombok

- Editor

Selasa, 21 Agustus 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gempa besar lazimnya disusul oleh gempa-gempa susulan yang kekuatannya terus mengecil. Namun, persis dua minggu setelah gempa berkekuatan M 7 mengguncang Pulau Lombok, gempa berkekuatan M 6,9 terjadi pada Minggu (19/8/2018). Fenomena ini dalam khasanah ilmu kegempaan dikenal sebagai doublet earthquake atau gempa kembar.

Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono, Senin (20/8), mengatakan, episenter gempa M 6,9 pada Minggu malam terletak di ujung timur Pulau Lombok dan diikuti oleh sebaran episenter gempa yang mengikutinya dan membentuk kluster episenter dengan sebaran ke arah timur (di laut) hingga di sebelah utara Sumbawa Barat.

“Dapat disimpulkan bahwa gempa yang terjadi tersebut merupakan aktivitas ‘gempa baru’ yang berbeda dengan gempa berkekutan M 7 dan susulannya yang terjadi sejak 5 Agustus 2018,” kata dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/IQBAL BASYARI–Sejumlah warga keluar rumah dan memadati Jalan Arjuna, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, usai gempa besar berkekuatan M 7,0 Minggu (19/8/2018) pukul 22.56 Wita. Warga mencari lokasi yang aman dan jauh dari bangunan karena khawatir gempa.

Munculnya aktivitas gempa baru dengan pusat di ujung timur Pulau Lombok ini diduga karena dipicu oleh rangkaian gempa-gempa kuat yang terjadi sebelumnya, yaitu gempa berkekuatan M 6,4, M 7,0, M 6,3, dan M 5,9. “Menariknya, rekahan (rupture) batuan yang diciptakan oleh kedua gempa tersebut masih terjadi pada satu sistem sesar yang sama yaitu masih dalam kerangka sistem Sesar Naik Flores, ini tempak jelas dari mekanisme pusat gempa yang terjadi,” kata Daryono.

Dalam ilmu gempa bumi atau seismologi aktivitas kedua gempa kuat semacam ini, menurut Daryono, disebut sebagai “gempa kembar” (doublet earthquakes) mengingat kekuatannya tidak terpaut besar, lokasi dan kedalamannya yang berdekatan, serta terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.

Namun jika melihat banyaknya rangkaian gempa kuat yang terjadi, serangkaian gempa Lombok ini bisa juga disebut sebagai aktivitas “multi gempa” (multiplet earthquakes). Gempa kembar ini tergolong langka, dibandingkan dengan pola umumnya, yaitu gempa besar yang diikuti sejumlah gempa susulan. Apalagi dalam kasus gempa Lombok jarak pusat gempa dan waktunya relatif sangat dekat.

“Gempa-gempa berdekatan di lokasi berdekatan seperti di sesar naik utara Lombok kali ini sangat jarang. Kami belum menemukan padanannya yang persis,” kata ahli gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano, kepada Kompas, Senin (20/8).

Selama ini, para ilmuwan kerap merujuk fenomena doublet erathquake pada gempa M 8,3 yang melanda Kepulauan Kuril, di antara Rusia dan Jepang, pada 15 November 2006 yang diikuti dengan gempa M 8,1 pada 13 Januari 2007. “Tidak sama persis, tetapi memang gempa Lombok ini bisa mirip dengan yang di Kuril,” kata Irwan.

Pernah terjadi
Sementara itu, ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natadwidjaya mengatakan, doublet erathquake juga pernah terjadi di Indonesia. “Dua gempa Singkarak pada 2007 itu juga tergolong doublet. Gempa pertama (M 6,1) di selatan Danau Singkarak dan yang kedua M (6,3) di utaranya dengan beda waktu tiga jaman. Sebelumnya, pada tahun 1927 di lokasi yang sama juga doublet juga dengan beda waktu tujuh jam,” kata dia.

Danny Hilman mengatakan, gempa kembar ini terjadi dalam satu zona patahan yang terdiri dari banyak segmen yang memiliki bidang kuncian beda, namun berdekatan siklusnya. “Seperti di Lombok, siklus gempanya cenderung homogen. Satu jalur gempa yang segmennya besar dibagi menjadi tiga segmen, tengah, barat, timur. Semuanya terisi penuh. Satu lepas lainnya ikut lepas,” kata dia.

Menurut Danny, lebih berbahaya jika tiga segmen ini runtuh bersamaan sehingga bisa memicu gempa lebih besar. “Kalau runtuh bersamaan gempa Lombok bisa lebih dari M 8, tetapi karena dicicil jadi lebih kecil. Itu kalau bicara sisi positifnya, walaupun dampaknya kalau gempa beruntun seperti ini secara sosial bagi masyarakat juga berat,” kata dia.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 20 Agustus 2018
————–
Penanganan Bencana Diambil Alih Pusat

KOMPAS/IQBAL BASYARI–Pasien RS Risa Sentra Medika di Jalan Pejanggik, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, berhamburan keluar usai gempa berkekuatan Magnitudo 7,0 kembali mengguncang Lombok, Minggu (19/8/2018) malam. Gempa susulan terus terjadi di Lombok setelah gempa berkekuatan M 7,0 dua pekan silam. Gempa ini membuat warga panik dan berupaya mengungsi ke tempat aman.

Pemerintah pusat mengambil alih tanggung jawab penanganan bencana gempa di Lombok, NTB. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, serta Kepolisian RI menangani korban dan menyiapkan dana rehabilitasi area terdampak.

Perintah penanganan gempa itu akan dituangkan dalam Instruksi Presiden yang tengah disiapkan Istana. “Hari ini (Senin) sudah finalisasi rancangan Inpres, mudah-mudahan besok (Selasa) sudah naik ke Presiden,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (20/8/2018).

Data terakhir BNPB, gempa bermagnitudo 6,9, di Lombok Timur, Sumbawa Besar, dan Sumbawa Barat, Minggu kemarin, menewaskan sepuluh orang dan melukai 24 orang. Dengan demikian, total korban meninggal sejak gempa 29 Juli lalu sebanyak 514 orang dan 1.054 orang terluka. Kerusakan bangunan mencapai puluhan ribu dan lebih dari 430 ribu orang mengungsi. Nilai kerugian ditaksir Rp 7,7 triliun.

Soal status penanganan gempa, Inpres takkan mengatur penetapan status sebagai bencana nasional. Inpres akan mengatur gempa Lombok ditangani khusus pemerintah pusat. “Penanganannya persis seperti bencana nasional,” kata Pramono.

Sebelumnya, usai menerima kedatangan Perdana Menteri Korea Selatan Le Nak-yon di Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa status bukan paling penting, “Yang paling penting adalah penanganan langsung di lapangan.”

Penanganan langsung di lapangan yang dimaksud Presiden adalah bahwa pemerintah pusat akan memberikan dukungan dan bantuan sepenuhnya kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. ”Dan, tentu saja paling penting adalah kepada masyarakat. Intinya ke sana,” kata Presiden.

Presiden mengatakan bahwa terus memantau perkembangan dampak bencana gemba bumi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Atas gempa susulan yang terjadi lagi pada Minggu (19/08/2018), Presiden berencana akan kembali mengunjungi NTB. ”Saya akan atur lagi waktu untuk pergi ke Lombok dalam waktu dekat ini,” kata Presiden.

KOMPAS/NINA SUSILO–Di sela mengunjungi posko-posko pengungsian gempa Lombok, Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi, menyambangi rumah sprinter juara dunia 100 meter kategori U-20 Lalu Muhammad Zohri, Selasa (14/8/2018).

Ada sejumlah indikator sebuah bencana ditetapkan sebagai bencana nasional. Selain soal jumlah korban dan kerusakan, ada pertimbangan fungsi pemerintah daerah. Sejauh ini, pemerintah provinsi dan pemkab dinilai masih berfungsi.

Pemerintah tak ingin tergesa-gesa menetapkan bencana nasional, salah satunya mempertimbangkan dampak pariwisata di Tanah Air. “Begitu ditetapkan sebagai bencana nasional, seluruh Pulau Lombok itu akan tertutup bagi wisatawan. Kerugiannya akan lebih banyak,” kata dia.

Gempa kembar
Gempa berkekuatan sama dalam waktu dekat di Lombok masih dipelajari. Lazimnya, gempa besar akan disusul gempa lebih kecil. Yang terjadi di Lombok dikenal sebagai gempa kembar.

“Dapat disimpulkan itu aktivitas ‘gempa baru’ yang berbeda dengan gempa M 7 dan susulannya sejak 5 Agustus 2018,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika Daryono.

Munculnya aktivitas gempa baru dengan pusat di ujung timur Pulau Lombok ini diduga karena dipicu oleh rangkaian gempa-gempa kuat sebelumnya, yaitu gempa berkekuatan M 6,4, M 7,0, M 6,3, dan M 5,9. “Menariknya, rekahan (rupture) batuan yang diciptakan kedua gempa tersebut masih terjadi pada satu sistem sesar yang sama yaitu masih dalam kerangka sistem Sesar Naik Flores, ini tempak jelas dari mekanisme pusat gempa yang terjadi,” kata Daryono.

Dalam ilmu gempa bumi atau seismologi, aktivitas kedua gempa kuat semacam ini, menurut Daryono, disebut sebagai “gempa kembar” (doublet earthquakes) mengingat kekuatannya tidak terpaut besar, lokasi dan kedalamannya yang berdekatan, serta terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.

Namun, jika melihat banyaknya rangkaian gempa kuat yang terjadi, serangkaian gempa Lombok ini bisa juga disebut sebagai aktivitas “multi gempa” (multiplet earthquakes). Gempa kembar ini tergolong langka, dibandingkan dengan pola umumnya, yaitu gempa besar yang diikuti sejumlah gempa susulan. Apalagi dalam kasus gempa Lombok jarak pusat gempa dan waktunya relatif sangat dekat.

“Gempa-gempa berdekatan di lokasi berdekatan seperti di sesar naik utara Lombok kali ini sangat jarang. Kami belum menemukan padanannya yang persis,” kata ahli gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano.

Selama ini, para ilmuwan kerap merujuk fenomena doublet erathquake pada gempa M 8,3 yang melanda Kepulauan Kuril, di antara Rusia dan Jepang, pada 15 November 2006 yang diikuti dengan gempa M 8,1 pada 13 Januari 2007. “Tidak sama persis, tetapi memang gempa Lombok ini bisa mirip dengan yang di Kuril,” kata Irwan.

Tren gempa Lombok setelah gempa M 6,9 pada 19 Agustus 2018. Sumber: BMKG, 2018

Sementara itu, ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natadwidjaya mengatakan, doublet erathquakejuga pernah terjadi di Indonesia. “Dua gempa Singkarak pada 2007 itu juga tergolong doublet. Gempa pertama (M 6,1) di selatan Danau Singkarak dan yang kedua M (6,3) di utaranya dengan beda waktu tiga jaman. Sebelumnya, pada tahun 1927 di lokasi yang sama juga doubletjuga dengan beda waktu tujuh jam,” kata dia.

Gempa kembar ini, kata dia, terjadi dalam satu zona patahan yang terdiri dari banyak segmen yang memiliki bidang kuncian beda, namun berdekatan siklusnya. “Seperti di Lombok, siklus gempanya cenderung homogen. Satu jalur gempa yang segmennya besar dibagi menjadi tiga segmen, tengah, barat, timur. Semuanya terisi penuh. Satu lepas lainnya ikut lepas,” kata dia.

Menurut Danny, lebih berbahaya jika tiga segmen ini runtuh bersamaan sehingga bisa memicu gempa lebih besar. “Kalau runtuh bersamaan gempa Lombok bisa lebih dari M 8, tetapi karena dicicil jadi lebih kecil. Itu kalau bicara sisi positifnya, walaupun dampaknya kalau gempa beruntun seperti ini secara sosial bagi masyarakat juga berat,” kata dia.

Guncangan gempa di Lombok Timur itu membuat warga kembali mengungsi ke lapangan. “Sekarang rumah ambruk dan kami takut gempa lagi,” ucap Ari (23), warga Desa Sugihan, Sambelia.

Bila sebelumnya banyak warga masih berani tidur di teras rumah karena merasa bangunan masih kokoh, mulai kemarin mereka terpaksa membangun tenda di tempat terbuka. Kondisi itu rentan bagi mereka, karena panas di siang hari dan dingin saat malam tiba.

KOMPAS/HARRY SUSILO–Gempa berkekuatan Magnitudo 6,9 yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan diikuti gempa beruntun membuat area parkir di dalam kawasan Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur, penuh retakan, seperti terlihat, Senin (20/8/2018). Akibat gempa, pelabuhan penyeberangan dari Lombok ke Sumbawa ini sempat ditutup selama 12 jam. Area parkir, ruang tunggu, dan satu dermaga rusak.

Gempa berkekuatan M 6,9 juga merusak sejumlah fasilitas di Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur. Pelabuhan penyeberangan dari Pulau Lombok ke Sumbawa tersebut sempat ditutup selama 12 jam sejak Minggu malam hingga Senin siang.

Dari pantauan, Senin (20/8/2018), kerusakan terlihat di area parkir, bangunan ruang tunggu, dan dermaga 2. Kerusakan terparah tampak di area parkir pelabuhan yang retak memanjang dan sebagian permukaan tanahnya terangkat.

Kepala Balai Pengelola Tranportasi Darat Wilayah Bali dan NTB Agung Hartono mengungkapkan, hanya bus dan truk kecil yang untuk sementara diperbolehkan menyeberang dari pelabuhan ini menyusul kerusakan akibat gempa. “(Untuk kendaraan besar) ditunda dulu sampai ada hasil investigasi terhadap kerusakan tersebut,” kata Agung, di Pelabuhan Kayangan.

Dengan hanya mengoperasikan satu dermaga, Agung mengakui, jumlah kendaraan yang dapat melintas di Pelabuhan Kayangan dipastikan berkurang dari biasanya 90 perjalanan hanya menjadi 48 perjalanan.

Penutupan pelabuhan membuat kendaraan harus menunggu berjam-jam. Wildan (30), sopir truk yang hendak menyeberang ke Sumbawa harus menunggu dari pukul 04.00 sebelum akhirnya bisa masuk ke area pelabuhan dan antre ke kapal feri pada pukul 11.30. “Padahal, biasanya hanya 1 jam untuk antre masuk kapal,” ucap Wildan.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang NTB Wedha Magma Ardhi menambahkan, perlu ada evaluasi terhadap kerusakan yang terjadi di Pelabuhan Kayangan. Untuk area rusak perlu diberi garis polisi agar tidak dilewati warga karena berbahaya. “Untuk sementara perlu dilakukan penimbunan. Nanti perlu ada aspal ulang,” kata Wedha.

Pascagempa, Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Badjang menginstruksikan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah di Pemprov NTB tetap bekerja. Namun, seluruh SD-SMA akan diliburkan.

Menurut Zainul Majdi, sekolah diliburkan menyusul rangkaian gempa yang terjadi beruntun sehingga dikhawatirkan ada bangunan seolah yang rusak dan membahayakan keamanan siswa maupun guru. Selain itu, orang tua siswa juga berharap anaknya sekolah saat situasi sudah aman.

KOMPAS/IQBAL BASYARI–Sejumlah warga melintas di bibir pantai Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (18/7/2018). Pelaku wisata di Gili Trawangan mulai berbenah memperbaiki fasilitas yang rusak akibat gempa. Satu hari setelah itu, Minggu (19/8/2018), Lombok kembali diguncang gempa M 7,0 yang berpusat di Lombok Timur.

Gempa beruntun juga tidak memengaruhi aktivitas di Pemerintah Kota Mataram dalam memberikan pelayanan publik. Dinas/instansi yang awalnya menempati gedung sebagian terpaksa berkantor di bawah tenda yang dipasang di halaman kantor itu.

Di Jakarta, Kementerian Pariwisata kembali mengaktifkan Tourism Crisis Center (TCC) atau Pusat Krisis Pariwisata terkait gempa yang terjadi berturut-turut di Lombok pada Minggu malam (19/8/2018). “Sebenarnya saat ini posisi Lombok masih tanggap darurat untuk pemulihan setelah gempa tanggal 5 Agustus 2018 lalu. Sudah banyak wisatawan yang keluar dari Lombok, tetapi kami ingin memastikan kondisi keamanan di Lombok mengingat Lombok adalah destinasi prioritas,” kata Menteri Pariwisata, Arief Yahya di Jakarta, Senin (20/8/2018).

Selain pelayanan informasi dan penanganan wisatawan, tugas utama TCC Kementerian Pariwisata (Kemenpar) adalah memantau atraksi wisata, amenitas, dan aksesibilitas.

Aksesibilitas menjadi fokus utama TCC Kemenpar sebagai fasilitas pendukung pergerakan wisman, seperti bandara, pelabuhan, dermaga, terminal bus, jalan, infrastruktur dasar, dan utilitas dasarnya.(SYA/ZAK/RUL/LAS/INA/ AIK/E22/SEM/ARN)–ANITA YOSSIHARA / HARRY SUSILO

Sumber: Kompas, 21 Agustus 2018
—————————

Data Kondisi Bangunan demi Meminimalkan Korban

DOKUMEN PUSDALOPS BALI–Dampak gempa bumi yang kembali melanda Lombok pada Minggu (19/8/2018). Sejumlah bangunan hancur akibat gempa tersebut. Belum dihitung total berapa kerusakan yang terjadi akibat gempa berkekuatan magnitudo 7,0 tersebut. Termasuk belum secara rinci jumlah korban jiwa akibat gempa tersebut.

Gempa beruntun dengan kekuatan sama sebulan terakhir di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, perlu dibarengi upaya meminimalisir korban jiwa. Pendataan kondisi konstruksi bangunan perlu dilakukan, di antaranya pada kawasan permukiman, perhotelan, tempat ibadah, sekolah-sekolah, kampus, dan gedung perkantoran.

Frekuensi gempa puluhan kali dengan magnitudo di atas 5 memungkinkan banyak konstruksi bangunan retak-retak, rapuh, atau rusak parah. Dari 29 Juli 2018, lalu tanggal 5, 6, 7, 9, 10, 19 dan 20 Agustus 2018 telah terjadi gempa di Lombok hingga 26 kali dengan Magnitudo 5 lebih.

“Yang bisa dilakukan masyarakat tetap waspada, karena gempa bumi tektonik tak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Dengan situasi gempa seperti saat ini, bahkan masih terjadi dengan kekuatan besar tanggal 19 Agustus dengan Magnitudo 7,0. Bagi pemda perlu fokus untuk meminimalisasi korban, yaitu dengan mendata kondisi bangunan yang ada,” kata Kepala Pusat Studi Geologi Lingkungan, Rekayasa dan Kebencanaan Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dicky Muslim di Bandung, Jawa Barat, Senin (20/8/2018).

Menurut Dicky, dalam situasi alam yang tidak menentu seperti di Lombok saat ini, warga yang tempat tinggalnya berdekatan sumber gempa sebaiknya berlindung dulu di selter-selter darurat. Tidak dianjurkan tinggal di bangunan lama.

DOKUMEN BADAN GEOLOGI–Salah satu dinding bangunan Pos Pemantauan Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat yang roboh akibat gempa pada Minggu (19/8/2018) malam.

“Karena yang dikhawatirkan, konstruksi bangunan lama dengan guncangan gempa beberapa kali tak kuat lagi dan bisa roboh. Apalagi dari BMKG menginformasikan, kejadian gempa tanggal 19 dan 20 Agustus merupakan aktivitas (sumber gempa) baru, yang tidak dapat dipastikan apakah akan ada gempa susulan atau berapa lama akan terjadi rentetan gempa lagi,” ujarnya.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun perlu segera turun ke lapangan untuk melakukan pendataan terhadap konstruksi bangunan di Lombok. “Para relawan bencana bisa dilatih supaya dapat membantu pendataan di lapangan, mana bangunan yang masih bagus konstruksinya, yang rusak parah, atau yang kondisinya masih dapat diperbaiki, sehingga pemerintah dapat membantu alokasi anggaran untuk rehabilitasi rumah masyarakat,” ucap dia.

Secara terpisah dosen Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano menyinggung, yang perlu diperhatikan juga kondisi bangunan fasilitas publik di antaranya rumah sakit yang memuat banyak orang.

“Karena jika terjadi gempa lagi walaupun dengan magnitudo lebih kecil, bangunan yang dilanda guncangan gempa berulang kali, konstruksinya bisa tidak kokoh lagi. Oleh karenanya supaya tidak menimbulkan korban jiwa lagi, seperti rumah sakit perlu dikaji konstruksinya,” ucap Irwan.

KOMPAS/IQBAL BASYARI–Sejumlah warga keluar rumah dan memadati Jalan Arjuna, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, usai gempa besar berkekuatan M 7,0 Minggu (19/8/2018) pukul 22.56 Wita. Warga mencari lokasi yang aman dan jauh dari bangunan karena khawatir gempa.

Selter bambu
Sementara itu, tim Satuan Tugas ITB membantu membuatkan selter bambu untuk hunian sementara di Lombok. Selter tersebut selain kuat untuk menahan angin dan hujan, tahan lama, juga lebih ekonomis.

Desain selter bambu tersebut dibuat oleh Andry Widyowidjatmoko dari Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB.

Untuk satu shelter bambu dengan tinggi 2,2 meter dan luas ruang 3,8 x 5 meter diperlukan bambu sebanyak 16 buah. Ikatan yang digunakan memakai tali plastik dengan ikatan teknik khusus supaya kuat. Bagian atap selter dari bahan terpal.

“Selter yang sudah didirikan di Desa Tanjung, Lombok Utara. Pendirian selter ini relatif mudah, diharapkan warga yang sudah memperlajarinya bisa membuat sendiri,” kata Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Alumni, dan Komunikasi ITB Miming Miharja.

Aktivitas vulkanik
Secara terpisah Volkanolog ITB Mirzam Abdurrachman mengatakan, kejadian lima kali gempa beruntun yang terjadi di Lombok diharapkan tidak memengaruhi aktivitas vulkanik Gunung Rinjani. Mengingat pusat gempa tersebut sangat dekat dengan Rinjani.

“Ada tiga gunung api aktif di sekitar Lombok, yaitu Gunung Agung, Tambora dan Rinjani. Akan tetapi untuk Tambora dan Rinjani saat ini berada dalam kondisi stabil, artinya kecil kemungkinan gempa di Lombok akan memberikan efek dan membuat kedua gunung api ini erupsi,” kata Mirzam yang juga dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi dan Geokimia Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.

Namun untuk Rinjani, Mirzam menuturkan, dilihat dari sejarah letusan, setidaknya sejak awal tahun 1900-an hingga sekarang, letusan pertama terjadi pada 1915 kemudian disusul berurutan 1944, 1966 dan 1994, serta letusan kecil tahun 2004, dan 2009.

Pola letusan Rinjani sejak 1915 sampai 1994 rata-rata intervalnya adalah 26,3 tahun. Artinya, Rinjani akan mempunyai pola perulangan letusan jangka panjang sekitar rentang waktu tersebut. Apabila letusan terakhir yang cukup besar terjadi tahun 1994, dan interval letusan yang dimilikinya 26,3 tahun.–SAMUEL OKTORA

Sumber: Kompas, 21 Agustus 2018
————————-

Gempa Lombok Tidak Berstatus Bencana Nasional

Rentetan gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat sejak 29 Juli 2018 lalu tidak ditetapkan statusnya sebagai bencana nasional. Kemampuan Pemerintah Daerah NTB untuk mengatasi bencana serta kesediaan pemerintah pusat dalam hal pendanaan menjadi alasannya.

Suatu bencana dapat ditetapkan sebagai bencana nasional jika memenuhi lima indikator. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, kelima indikator itu adalah jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Penetapan itu hanya dapat dilakukan oleh presiden RI.

KOMPAS/IQBAL BASYARI–Seorang warga melintas di sebuah jalan yang berada di Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Minggu (12/8/2018). Pariwisata di Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, lumpuh akibat gempa bumi.

“Ada satu indikator lagi yang sulit diukur, yaitu kondisi pemerintah setempat, baik keberadaannya, maupun fungsinya efektifnya. Maksudnya, apakah Pemda masih berdaya atau tidak,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Selasa (21/8/2018).

KOMPAS/HARRY SUSILO–Gempa berkekuatan Magnitudo 6,9 yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan diikuti gempa beruntun membuat area parkir di dalam kawasan Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur, penuh retakan, seperti terlihat, Senin (20/8/2018). Akibat gempa, pelabuhan penyeberangan dari Lombok ke Sumbawa ini sempat ditutup selama 12 jam. Area parkir, ruang tunggu, dan satu dermaga rusak.

Menurut Sutopo, Pemda NTB telah menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab terhadap penanganan bencana gempa. Hal ini disampaikan pada sebuah rapat terbatas dua minggu lalu. Oleh sebab itu, penetapan status bencana nasional tidak diperlukan.

Walaupun ditangani oleh Pemda NTB, pemerintah pusat juga turut terlibat dengan mendanai penanganan bencana hingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa. Pendanaan dari pemerintah pusat dibutuhkan karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTB tidak cukup untuk mendanai penanganan pascagempa yang diperkirakan mencapai Rp 7 triliun. APBD NTB pada tahun 2018 adalah sekitar Rp 5,2 triliun.

SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS–Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Selasa (21/8/2018).

Menurut data yang dihimpun dari BNPB, sejumlah penyediaan fasilitas telah dilakukan di empat kabupaten/kota yang terdampak gempa, yaitu Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, dan Lombok Tengah. Fasilitas yang dimaksud antara lain adalah prasarana dan sarana air bersih serta sanitasi; penyediaan air baku; mobilisasi alat berat; hingga perbaikan jalan dan jembatan.

Data dari Kementerian PUPR mencatat ada 36.000 unit rumah yang dinyatakan rusak berat. Oleh karena itu, pembangunan 20 unit Rumah Instan Tahan Gempa (RISHA) dan 4 Rumah Unggul Sistem Panel Instan (RUSPIN) sudah dimulai. Pelatihan pembangunan RISHA pun sudah dilakukan dengan melibatkan 150 fasilitator dari berbagai instansi, seperti Kementerian PUPR, BUMN, dan Pemda.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Warga telah hampir tiga pekan bertahan di tenda pengungsian di Lapangan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/8/2018). Proses rehabilitasi rumah rusak mulai dilakukan dengan meruntuhkan rumah-rumah yang terdampak gempa dan membangunnya kembali melalui bantuan pemerintah.

“Tanggung jawab tetap ada pada Pemda. Pemerintah pusat yang memperkuat dari segi pendanaan, logistik, hingga manajerial. Status bencana nasional tidak diperlukan. Tapi, penanganannya sudah skala nasional,” kata Sutopo.

Negara mandiri
Indonesia terakhir kali menetapkan status bencana nasional saat Aceh dilanda tsunami pada 2004. Selain itu, status bencana nasional juga pernah ditetapkan saat gempa dan tsunami terjadi di Flores pada 1992.

Penetapan status bencana nasional tidak hanya menunjukkan skala bencana yang terjadi. Penetapan itu juga berarti negara terbuka dengan bantuan dari negara-negara lain. Dengan kata lain, negara secara tidak langsung, negara mendeklarasikan kemampuannya yang terbatas untuk menangani bencana yang terjadi.

Berkaca dari penetapan status bencana nasional pada tsunami Aceh, BNPB menyatakan, beberapa masalah acap kali muncul dari bantuan internasional yang diperoleh. Masalah yang dimaksud antara lain menyangkut pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. “Status bencana juga bersinggungan dengan kedaulatan,” kata Sutopo.

”Status itu menunjukkan kelemahan negara. Kita mau menunjukkan kekuatan dan bahwa negara kita tangguh. Potensi nasional juga masih sanggup menangani ini,” lanjutnya.

Dalam waktu dekat, presiden akan mengumumkan Instruksi Presiden (Inpres) terkait percepatan penanganan pemulihan dampak gempa yang terjadi di NTB. Inpres itu bertujuan agar setiap lembaga dan kementerian terkait dapat membantu rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa, khususnya dalam hal pendanaan.

Rehabilitasi infrastruktur
Menurut Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, rehabilitasi rumah yang rusak pascagempa mulai dilakukan hari ini, Selasa (21/8/2018). Pendanaan rehabilitasi akan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, sedangkan pembangunannya menjadi tanggung jawab masyarakat.

“Kita mau membangun rumah yang baik, rumah yang tahan gempa. Yang harus dilakukan pembangunan rumah tahan gempa, minimum 9 SR, di sini kemarin 7 SR,” kata JK.

Hingga kini, Pos Komando Penanganan Darurat Bencana Lombok NTB 2018 mencatat ada 73.843 rumah yang rusak. Pembangunan satu rumah diharapkan dapat selesai dalam waktu satu bulan, sedangkan pembangunan untuk seluruh rumah rusak ditargetkan selesai dalam waktu enam bulan. Rumah dengan kategori rusak berat akan memperoleh dana sebesar Rp 50 juta, rumah rusak sedang Rp 25 juta, dan rumah rusak ringan Rp 10 juta.

Selain pembangunan rumah, sejumlah infrastruktur juga sedang dibangun. Sebanyak 43 sekolah dan lebih dari 500 sekolah rusak sudah memasuki tahap pembangunan. Hal ini disampaikan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono. Selain itu, tenda-tenda darurat untuk kegiatan belajan dan mengajar terlah didirikan oleh Kementerian Pendidikan.

BNPB mencatat, sejak 5 hingga 19 Agustus 2018, terjadi 825 kali gempa susulan, sedangkan sejak 19 Agustus 2018 hingga hari ini, tercatat ada 180 gempa susulan yang terjadi. Hingga kini, jumlah korban meninggal dunia adalah 515 orang dan korban luka mencapai 7.145 orang. Di sisi lain, jumlah pengungsi mencapai 431.416 orang. (SEKAR GANDHAWANGI)–ADHI KUSUMAPUTRA

Sumber: Kompas, 22 Agustus 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB