Kontestasi politik jelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 bisa diisi dengan isu-isu substansial, misal pengembangan energi terbarukan. Komitmen politik ini penting agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dalam kemandirian energi yang bersih dan berkelanjutan.
Di satu sisi lain, pengembangan energi terbarukan ini juga memanfaatkan potensi sumber energi yang melimpah. Berada di cincin api dunia, Indonesia memiliki potensi potensi panas bumi yang tinggi. Belum lagi posisi geografis di area katulistiwa membuat radiasi sinar matahari sangat tinggi sepanjang tahun.
Potensi tenaga air, angin, dan bioenergi juga bisa dikembangkan dalam bentuk mini atau mikro grid sesuai keunggulan sumber daya masing-masing daerah. Ini bisa terjadi apabila masyarakat sadar dan menggunakan kekuatan politik untuk mendorong penguasa menciptakan atmosfir pemanfaatan energi terbarukan yang kompetitif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bagaimana agar semua kandidat (calon presiden dan wakil presiden) menunjukkan platformnya terkait perubahan iklim, di antaranya pemanfaatan energi terbarukan. Kalau perlu bikin kontrak politik. Jadi siapa pun yang menang, bumi ini tetap yang diuntungkan,” kata Yenny Wahid, tokoh pluralisme yang juga Direktur Wahid Institute, Jumat (8/9/2018), di Jakarta, dalam diskusi Indonesia Bersatu untuk Energi Terbarukan (Unite Indonesia for Clean Energy).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Rise for Climate, aksi serentak di sejumlah negara – termasuk sejumlah kota di Indonesia – untuk mendorong penggunaan energi terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim. Aksi serentak, Sabtu (8/9/2018), di Jakarta, diisi dengan bincang Indonesia Bersatu untuk Energi Terbarukan di @america, Pasific Place. Tampak pembicara (kanan ke kiri) Yenny Wahid (tokoh pluralisme), Dinar Prasetyo (Presiden Direktur Eksekutif Energi Bersih Indonesia/Erbi), Andhyta F Utami (Peneliti World Bank dan pemerhati isu pembangunan dan perubahan iklim), dan Romo Andang Binawan SJ (rohaniawan dan praktisi lingkungan hidup), moderator Ranitya Nurlita (aktivis lingkungan). Diskusi ini sepakat menggalang dukungan dan aksi agar Indonesia memanfaatkan potensi energi terbarukan secara maksimal.
Diskusi di @america tersebut digelar dalam rangka aksi global mempercepat pengembangan energi bersih yang dilakukan serentak di 95 negara. Di Indonesia, berbagai kegiatan dilakukan di 19 kota oleh 76 organisasi demi mendorong kepemipinan dan komitmen pemerintah nasional dan lokal dalam pengembangan energi bersih.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Rise for Climate, aksi serentak di sejumlah negara – termasuk sejumlah kota di Indonesia – untuk mendorong penggunaan energi terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim. Aksi serentak, Sabtu (8/9/2018) di Jakarta, diisi dengan bincang Indonesia Bersatu untuk Energi Terbarukan di @america, Pasific Place. Tampak para aktivis gerakan Rise for Climate berfoto bersama usai diskusi tersebut. Diskusi ini sepakat menggalang dukungan dan aksi agar Indonesia memanfaatkan potensi energi terbarukan secara maksimal.
Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan baru 20,2 persen dari target Rencana Umum Energi Nasional 2025 sebesar 45,2 gigawatt. Pengembangan energi terbarukan ini baru 2,1 persen dari potensi Indonesia yang mencapai 431,7 gigawatt.
Yenny mengapresiasi percepatan bauran energi biodiesel hingga 20 persen yang saat ini dilakukan pemerintah. Meskipun hal itu dilakukan karean faktor “keterpaksaan” untuk menekan impor minyak bumi dengan memanfaatkan produk minyak sawit yang melimpah di Indonesia.
Devin Maeztri, Koordinator Rise for Climate Indonesia mengatakan, saran dari Yenny Wahid terkait pemanfaatan kontestasi Pemilihan Presiden 2019, sangat penting dijalankan. Namun Rise for Climate sebagai sebuah gerakan dan aliansi berbagai kelompok belum memiliki agenda khusus terkait hal ini.
Ia mengatakan, sejumlah organisasi nonpemerintah di Indonesia telah melakukan hal-hal serupa. Seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia telah memasukkan isu-isu lingkungan hidup kepada Komisi Pemilihan Umum pada 9 Agustus 2018. Walhi ingin memastikan pesta demokrasi tidak hanya prosedural tetapi tercapai tujuan dari demokrasi bagi kesejahteraan dan keselamatan rakyat.
Pada diskusi di @america tersebut, Andhyta F Utami, peneliti Bank Dunia mengatakan energi fosil seperti batubara saat ini terkesan murah karena ada kegagalan pasar atau market failure. Ia mengatakan bila pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batubara ini dikaitkan dengan isu kesehatan, emisi gas rumah kaca, serta dampak lingkungan akan tambang bisa jadi akan lebih murah pemanfaatan energi terbarukan.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 10 September 2018