Lima pasang rusa timorensis atau rusa jawa kini menjadi “warga” Indramayu, sebuah kabupaten yang salah satu ikonnya adalah kijang. Rusa edemik Pulau Jawa dan Bali ini, hasil penangkaran Badan Penelitian Dan Pengembangan Hutan KHLH Bogor.
Lima pasang rusa tersebut tiba di Indramayu pada Kamis (2/11) dini hari dengan menggunakan dua buah truk. Satwa dilindungi ini berangkat dari penangkaran rusa Balitbang Hutan di Hutan Cifor Kota Bogor pada Rabu pukul 22.00.
Tidak seperti pengakutan ternak lainnya, setiap rusa lebih dahulu dimasukan ke dalam kandang kotak. Satu ekor rusa satu kandang. Setelah itu kotak berisi rusa dinaikan ke truk untuk dibawa ke Indramayu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rumah baru lima rusa ini adalah taman seluas dua hektar yang dijadikan lokasi penangkaran mereka selanjutnya. Taman ini berlokasi di Perumahan Bumi Patra Pertamina Balongan Indramayu.
“Kami memang mempunyai program lingkungan hidup. Untuk yang fauna sudah ada konservasi hutan magrove. Untuk satwa, banyak pilihan, namun kami ingin yang memiliki nilai konsetvasi tinggi. Pilihannya ke satwa endemik yang dilindungi, rusa jawa ini,” kata Hermawan Budiantoro, Manajer HSE PT Pertamina (persero) RU VI Balongan, Kamis.
Hermawan menambahkan, perlu waktu satu tahun untuk mempersiapkan program konservasi penangkaran rusa jawa tersebut, sampai akhirnya lima pasang rusa jawa tiba di Indramayu.
“Ikon Indramayu ada kijang, ada mangga. Jadi, kedatangan rusa jawa, singkron juga dengan ikon Indramayu. Ini yang pertama kalinya ada rusa di Indramayu. Penangkaran rusa jawa ini akan diresmikan bersama Pemda Indramayu saat Pertamina ulang tahun pada Desember mendatang,” katanya.
BALITBANG HUTAN KLHK BOGOR–Sejumlah rusa jawa diserahkan ke Indramayu.
Peneliti rusa dari Balitbang Hutan KHLH Bogor, Dr Hendra Gunawan, mengatakan, selama sejalan dengan misi Balitbang Hutan, pihak-pihak yang ingin melakukan konservasi dan penangkaran rusa jawa, akan diizinkan dan dibantu dalam mewujudkan program penangkaran rusa jawa. Bantuan ini bukan hanya diberikan satwanya, tetapi juga bantuan pelatihan tehnik penangkaran dan perawatan satwa bagi keeper rusa jawanya. Peminat sebelumnya harus memenuhi berbagai syarat dan perizinan.
“Karena semua persyaratan dan perizinan sudah dimiliki Pertamina Balongan Indramayu, hari ini kami serahkan lima pasang rusa jawa untuk ditangkarkan di sini. Taman seluas dua hektar ini, selain baik, secara ekologis juga bagus,” katanya.
Balitbang Hutan juga pernah memberikan rusa jawa untuk di tangkar kepada PT Antam, Taman Wisata Matahari, dan Bumi Serpong Damai. Untuk yang Antam, yang penangkarannya di Cibaliung, Pandeglang, Banten, diberikan lima pasang rusa lima tahun lalu dan kini sudah menjadi 40 ekor, katanya.
Rusa jawa, lanjut Hendra Gunawan, asli endemik Pulau Jawa Bali walaupun namanya Rusa timorensis. Rusa jawa ditemukan di NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua karena dibawa ke sana saat masa kolonial Belanda, untuk keperluan logistik tentaranya di daerah-daerah tersebut.
Rusa jawa di habitan aslinya di hutan-hutan Jawa dan Bali masih ada, namun jumlahnya tidak diketahui. “Kemungkinan berkurang seiring makin sedikit hutan alami di Jawa Bali,” katanya.
Menurut Hendra Gunawan, ada tiga manfaat menangkarkan rusa jawa, yakni untuk objek wisata, dipanen velvetnya (tanduk muda), dan diternak untuk diamanfaatkan dagingnya.
“Velvet rusa untuk obat stamina tubuh. Diambil setahun sekali sebelum tanduk muda itu menjadi tulang. Pemotongannya itu seperti kita potong kuku. Setelah dipotong akan tumbuh lagi. Saat ini kebutuhan dunia akan velvet dipasok dari Selandia Baru dan Australia. Harga velvet itu lebih mahal dari dagingnya dan dijual gram-graman,” tuturnya.
Daging rusa pun lebih mahal dari pada daging kambing. Dengan ukuran yang sama, harga kambing Rp 4 juta sedangkan rusa mencapai Rp 12 juta. Daging rusa pun lebih enak dibanding kambing, apalagi jika diolah jadi dendeng dan sate.
“Sebab itu, penangkaran rusa jawa pun diarakan ke domestikasi, sehingga nantinya, rusa bisa diternak sebagaimana ternak kambing, di kandang yang tidak terlalu besar,” kata Hendra.
RATIH P SUDARSONO
Sumber: Kompas, 3 November 2017