Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

- Editor

Selasa, 15 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di suatu pagi yang tampak biasa di Bumi, sinyal komunikasi mendadak tersendat. Pesawat komersial kehilangan koneksi dengan menara pengawas selama beberapa menit. Operator satelit merapatkan protokol mitigasi, dan aurora borealis tiba-tiba menari di langit Texas, jauh dari kutub tempat biasanya ia bermukim. Tak banyak yang tahu, kejadian itu bermula dari tempat yang jauhnya 150 juta kilometer dari sini — dari satu letusan api yang muncul di wajah Matahari.

Wajah Matahari yang Tak Pernah Tenang

Di balik silau yang menyilaukan mata, Matahari menyimpan kegelisahan kosmik. Bintik-bintik hitam, tampak seperti tahi lalat raksasa di wajahnya, sebenarnya adalah medan magnet luar biasa kuat yang membekukan panas di bawah permukaannya. Mereka disebut sunspots — bintik matahari. Dari sanalah, sering kali, lahir ledakan yang bahkan tak terdengar oleh manusia, tapi mampu mengguncang teknologi dan komunikasi global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setiap 11 tahun, wajah Matahari menjadi lebih ramai. Bintik-bintik itu bermunculan, bergerombol, dan menari dalam pola-pola yang sukar ditebak. Inilah yang disebut sebagai siklus 11-tahunan Matahari — semacam napas panjang Matahari, di mana ia menghembuskan badai partikel bermuatan dan gelombang elektromagnetik ke arah planet-planet di sekitarnya.

Menurut para ilmuwan, siklus ke-25 yang sedang berlangsung ini adalah salah satu yang terkuat dalam satu abad terakhir. Bahkan ada teori tentang siklus jangka panjang, yang disebut Centennial Gleissberg Cycle, menunjukkan bahwa kita mungkin berada di awal dari dekade-dekade penuh gejolak aktivitas surya.

Ledakan Kosmik: Solar Flare dan CME

Ketika medan magnet bintik matahari saling bertubrukan dan melilit seperti ular liar, maka terjadilah sesuatu yang disebut solar flare. Ini adalah ledakan radiasi paling ganas di Tata Surya — sinar-X, ultraviolet ekstrem (EUV), dan gelombang radio merambat secepat cahaya ke arah Bumi.

Namun, itu baru permulaan. Dalam banyak kasus, solar flare disusul oleh semburan lebih lambat tapi jauh lebih berbahaya: coronal mass ejection (CME), yakni lontaran plasma superpanas dan medan magnet yang terlempar ke angkasa, mengarah ke planet-planet di sekitarnya. Jika mengenai Bumi, hasilnya bisa menggetarkan magnetosfer, menyulut badai geomagnetik, dan melumpuhkan sistem teknologi modern.

Ketika Langit Bumi Merespons

Pada April dan Mei 2024, matahari melemparkan beberapa flare kelas X — yang tertinggi dalam skala ledakan matahari — ke arah Bumi. NASA mencatat flare-flare ini sebagai peristiwa X terbesar dalam dua dekade terakhir. Satelit harus dimatikan sementara, sistem komunikasi radio di samudra Pasifik terganggu, dan aurora terlihat hingga ke lintang Texas, Spanyol, bahkan Tiongkok bagian selatan.

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi lapisan atas atmosfer, tapi juga kehidupan sehari-hari. Di lapisan D ionosfer, flare menyebabkan ionisasi masif dalam hitungan menit, membuat sinyal komunikasi frekuensi tinggi (HF) seperti radio dan penerbangan menjadi tidak stabil. Di beberapa wilayah, GPS mengalami kesalahan posisi hingga ratusan meter.

Menurut studi Hayes et al. (2021), respons atmosfer bagian bawah terhadap flare sangat linier terhadap kekuatan sinar-X yang dilepaskan Matahari. Artinya, semakin kuat flarenya, semakin besar gangguan yang dirasakan di Bumi. Bahkan flare kelas C — yang tergolong kecil — bila terjadi berulang dapat merusak sinyal radio dan sistem navigasi di daerah tropis seperti Asia Tenggara.

Pengetahuan yang Terkumpul di Bawah Cahaya

Penelitian demi penelitian mengungkap betapa rumitnya interaksi antara Matahari dan Bumi. Observasi terbaru dari wahana Solar Orbiter milik ESA berhasil memotret kutub Matahari untuk pertama kalinya — area penting yang berperan dalam mengatur pembalikan medan magnet Matahari setiap 11 tahun. Gambar-gambar ini diharapkan memberi petunjuk baru tentang bagaimana bintik matahari dan flare terbentuk.

Di sisi lain, studi berbasis darat di Asia Tenggara merekam perubahan drastis sinyal radio frekuensi rendah (VLF) selama flare berlangsung. Bahkan lapisan D dan E atmosfer menunjukkan reaksi yang berlawanan arah, membuka pertanyaan baru tentang dinamika vertikal atmosfer atas kita.

Dalam ranah prediksi, model statistik berbasis Long Short-Term Memory (LSTM) mulai digunakan untuk meramalkan waktu puncak flare berdasarkan pola sebelumnya. Ini adalah upaya awal umat manusia untuk memahami ritme Matahari, bukan hanya sebagai bintang, tapi sebagai “cuaca luar angkasa” yang menentukan kestabilan dunia modern.

5. Matahari, Kiamat, dan Ketahanan Teknologi

Ketika flare besar meledak pada 20 Juni 2025, proton yang menuju Bumi mencapai 700.000 partikel per meter kubik — angka yang lima kali lipat lebih tinggi dari batas normal. Dalam satu hari, Matahari melontarkan energi setara dengan miliaran ton TNT, lebih besar dari semua senjata nuklir di Bumi dikumpulkan bersama.

Tapi tak ada ledakan, tak ada kilat di siang hari. Hanya sinyal yang hilang. Navigasi melenceng. Dan pada malam harinya, aurora merah jambu menggantung di atas Samudra Hindia.

Kita belum pernah mengalami badai sekelas Carrington Event (1859) — badai geomagnetik terbesar yang tercatat. Tapi para ilmuwan sepakat, jika peristiwa seperti itu terulang hari ini, maka transformator listrik bisa meledak, internet global bisa lumpuh, dan pemulihan bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Menatap Langit, Merancang Bumi

Di tengah ketakberdayaan manusia menghadapi letupan raksasa dari bintang induknya, satu hal yang pasti: pemahaman adalah bentuk kesiapan. Penelitian tentang flare, CME, bintik matahari, dan siklusnya bukan semata keingintahuan saintifik, melainkan fondasi pertahanan sistem global dari bencana tak terlihat.

Langit bukan hanya tempat memandang bintang. Ia adalah panggung di mana masa depan planet kita ditentukan — oleh satu ledakan, oleh satu bintik gelap, yang muncul tanpa suara di wajah Matahari.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merujuk pada laporan NASA, ESA, artikel Rumah Pengetahuan (2024–2025), serta hasil riset ilmiah dari Hayes et al., Le H., dan berbagai jurnal di The Astrophysical Journal, Frontiers in Space Science, dan ResearchGate. Ditulis untuk memudahkan publik memahami ancaman dan keajaiban dari Matahari, bintang yang hidupnya terlalu besar untuk kita abaikan.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB