Keriuhan Isu ”Badai Matahari”

- Editor

Sabtu, 16 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Beberapa hari terakhir, sejumlah media daring ramai memberitakan datangnya badai Matahari yang akan menerjang Bumi, Jumat (15/3/2019). Kabar itu umumnya mengacu pada prakiraan cuaca antariksa yang dikeluarkan Badan Meteorologi Inggris atau Met Office pada Rabu (13/3/2019).

Jika dicermati, peringatan Badan Meteorologi Inggris itu bukanlah terjadinya badai Matahari, melainkan datangnya angin Matahari. Aliran angin Matahari itu bersumber dari pancaran partikel bermuatan dari Matahari. Energi partikel bermuatan itu tidak terlalu besar.

Angin Matahari itu lepas bebas ke ruang antarbintang tanpa adanya hambatan medan magnet Matahari. Saat ini, aktivitas Matahari sedang minimum hingga aktivitas magnetik di permukaan Matahari pun melemah dan memicu terbentuknya lubang pada korona atau lapisan atas atmosfer Matahari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

SDO.GSFC.NASA.GOV–Citra dari Solar Dynamic Observatory yang menunjukkan lubang korona dan kondisi Matahari pada Rabu (13/3/2019). Posisi lubang korona yang ada di sekitar khatulistiwa Matahari membuat angin Matahari bisa mengarah ke Bumi. Namun, dampaknya hanya menimbulkan aurora di sekitar kutub Bumi, tidak membahayakan manusia atau teknologi buatan manusia.

”Jika lubang korona itu ada di sekitar khatulistiwa Matahari, seperti yang terjadi 13 Maret lalu, pancaran angin Matahari-nya akan mengarah ke Bumi,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin di Jakarta, Jumat.

Sebaliknya, badai Matahari justru terjadi ketika aktivitas Matahari sedang maksimum. Badai Matahari bersumber dari ledakan atau semburan partikel berenergi tinggi akibat terjadinya suar atau lidah api (flare) dan lontaran material korona (CME).

Ukuran lubang korona yang terbentuk 13 Maret 2019 pun tidak terlalu besar hingga semburan angin Matahari yang muncul tidak besar. Konsekuensinya, muntahan aliran angin Matahari itu hanya akan sedikit memicu badai magnetik di Bumi.

Badai magnetik di Bumi itu diperkirakan baru terjadi Jumat (15/3/2019) kemarin. Sesuai dengan perkiraan, gangguan geomagnetik Bumi yang muncul itu hanya masuk dalam kelas G1 atau paling lemah. Sebagai perbandingan, badai magnetik Bumi terkuat memiliki skala G5. Dampak badai magnetik G1 itu akan menimbulkan aurora di sekitar kutub Bumi.

The Aurora Borealis (Northern Lights) is seen over the sky near Rovaniemi in Lapland, Finland, October 7, 2018. Pictures taken October 7, 2018. REUTERS/Alexander Kuznetsov TPX IMAGES OF THE DAY

REUTERS/ALEXANDER KUZNETSOV–Aurora Borealis (Cahaya Utara) terlihat melintasi langit di dekat Rovaniemi, di Lapland, Finlandia, Minggu (7/10/2018).

”Dampaknya tidak signifikan untuk memengaruhi satelit atau lapisan ionosfer Bumi,” ujarnya.

Aurora atau pancaran cahaya warna-warni yang bisa disaksikan di sekitar kutub itu justru jadi fenomena alam menakjubkan yang diburu para penikmat keindahan langit. Peluang terlihatnya aurora makin besar di puncak musim dingin karena langit menjadi cukup gelap dalam waktu cukup lama.

Saat ini di belahan Bumi utara sedang memasuki awal musim semi, maka peluang terlihatnya aurora lebih kecil. Aurora masih berpeluang terlihat di daerah-daerah yang dekat dengan kutub utara saja.

Sementara itu, wilayah tropis seperti Indonesia tidak terdampak aliran angin Matahari. ”Angin Matahari tidak memengaruhi kenaikan suhu di Bumi,” kata komunikator astronomi dan pengelola situs langitselatan.com, Avivah Yamani.

Kalaupun sampai terjadi badai Matahari, dampaknya pada manusia sangat sedikit. Secara alami, Bumi dilindungi medan magnet Bumi yang bisa menahan pancaran partikel bermuatan dari Matahari. Badai Matahari itu lebih mengancam berbagai teknologi manusia, baik yang ada di Bumi maupun di luar angkasa.

Sistem satelit, telekomunikasi, navigasi, jaringan listrik di daerah lintang tinggi, pesawat antariksa berawak, hingga penerbangan sipil paling rentan terhadap badai Matahari. Namun, itu tak perlu dikhawatirkan karena manusia telah memiliki sistem pendeteksi ledakan Matahari hingga dampaknya pada berbagai teknologi itu bisa diantisipasi.

Selain itu, badai Matahari umumnya memiliki siklus 11 tahunan. Puncak badai Matahari terakhir terjadi 2013 lalu. Artinya, puncak badai Matahari berikutnya diperkirakan baru akan terjadi sekitar tahun 2024.

Karena itu, masyarakat tak perlu cemas dengan isu badai Matahari di sejumlah media beberapa hari terakhir karena yang sesungguhnya terjadi adalah angin Matahari. Jika badai Matahari saja tidak terlalu berpengaruh bagi manusia, apalagi angin Matahari.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 16 Maret 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB