Kegagalan menyelamatkan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dari kepunahan membayangi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Riau. Tanpa upaya yang serius untuk menyelamatkannya, satwa endemik itu berada di ambang kepunahan.
Sampai awal 1980-an, Riau masih menyisakan satwa badak sumatera. Habitat terbesar hewan bercula itu berada di kawasan Rumbai, yang sekarang masuk ke dalam administrasi Kota Pekanbaru. Pemerintah pernah melakukan upaya penangkaran badak liar yang jumlahnya sekitar 20 ekor untuk ditempatkan di kebun binatang. Sayangnya pengetahuan tentang perawatan dan pangan pengganti di penangkaran minim sehingga upaya menyelamatkan badak itu gagal.
ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN–Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kebun Binatang Taman Rimbo, Jambi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Setelah badak punah, sekarang ini kita sedang menyaksikan kepunahan harimau di Riau. Harimau yang dahulu banyak dijumpai di Riau bagian utara kini hanya tersisa di Senepis (wilayah Dumai dan Rokan Hilir). Di Blok Libo (PT Chevron) dan Balai Raja (Duri, Bengkalis) harimau juga sudah punah. Untungnya gajah di Balai Raja masih mampu bertahan dari perambahan hutan dan berganti dengan kebun kelapa sawit,” kata Sunarto, ahli spesies satwa liar WWF Riau yang dihubungi, Rabu (8/5/2019).
Sunarto mengatakan, laporan IPBES tentang kerusakan biodiversivitas yang bakal menyebabkan kepunahan 1 juta spesies di dunia sebenarnya bukanlah hal baru. Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Riau, termasuk WWF, sudah memperingatkan hal yang sama sejak 20 tahun lalu. Sayangnya, peringatan dari Tanah Air belum berujung pada perbaikan. Bahkan, kerusakan alam dalam dua dekade terakhir justru semakin buruk.
”Laporan IPBES memang menyentak kita semua. Ini bagus buat peringatan. Sekarang ini yang terancam bukan biodiversitas, tetapi manusia. Di Riau saat ini, untuk melihat kondisi biodiversitas, cukup dengan melihat kondisi harimau,” kata Sunarto.
Menurut Sunarto, sekarang ini sangat sedikit ekosistem di Riau yang benar-benar aman untuk kehidupan satwa liar, apalagi yang berstatus satwa langka dan dilindungi seperti gajah dan harimau. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang dahulunya seluas 83.000 hektar kini hanya tersisa 15.000 hektar akibat perambahan.
Jumlah estimasi harimau di TNTN, kata Sunarto, diperkirakan hanya tersisa dua ekor lagi. Untungnya gajah diperkirakan masih mencapai 100 ekor. Gajah memiliki daya adaptasi yang lebih besar dibandingkan dengan harimau. Namun, belakangan ini makanan gajah di areal hutan tanaman industri di sekitar TNTN semakin berkurang dengan digantinya tanaman akasia menjadi eukaliptus.
”Gajah tidak mau memakan daun eukaliptus. Kondisi ini berbahaya karena dapat menyebabkan populasi gajah semakin berkurang. Gajah tidak leluasa di TNTN dan lebih banyak berada di wilayah HTI yang lebih kecil konfliknya dengan manusia. Namun, kalau tidak tersedia makanan gajah di HTI, ini ancaman serius,” kata Sunarto.
KOMPAS–Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) jantan bernama Harapan (8) menjalani proses karantina di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Kamis (5/11/2015). Harapan ialah badak sumatera yang tiba dari kebun binatang Cincinnati, Amerika Serikat, untuk menjalani program konservasi badak di Indonesia.
Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam Riau Suharyono yang dihubungi secara terpisah mengatakan, jumlah total harimau sumatera di Riau diperkirakan tersisa 80 ekor. Adapun gajah sekitar 200 ekor. Dua jenis satwa langka itu memang mengalami penurunan populasi yang sangat besar.
Tekanan kepada satwa langka, kata Suharyono, memang sangat besar. Namun, berita baiknya, sudah ada perubahan signifikan untuk upaya pelestarian. Pada masa lalu, upaya konservasi seolah-olah hanya urusan pemerintah pusat, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam di daerah. Hal itu disebabkan perundang-undangan negara masih menempatkan urusan kehutanan tidak diserahkan sebagai hak otonomi di daerah.
”Dahulu daerah kurang care terhadap konservasi. Itu adalah urusan pusat. Kalau ada konflik manusia dengan satwa harimau atau gajah, terdapat kecenderungan satwa yang bersalah. Satwa (yang berkonflik) pun seakan boleh dibunuh. Sekarang ini ada perubahan besar, beberapa konflik manusia dan harimau dalam tahun 2009 ini di Riau belum ada satwa yang dibunuh. Pemerintah daerah, polisi, dan TNI sangat terbuka untuk membantu,” kata Suharyono.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Sebanyak 25 gajah sumatera masih berkeliaran di kawasan Duri, Riau, pada 2015. Gajah ini beradaptasi dengan perkebunan kelapa sawit warga yang merambah kawasan hutan Suaka Margasatwa Balai Raja yang dahulunya merupakan rumah gajah.
Kebersamaan antarintansi itu, kata Suharyono, menjadi modal dasar untuk konservasi satwa dilindungi pada masa depan. Kesadaran terhadap pelestarian satwa dapat menjadi modal untuk mempertahankan populasi sekaligus berharap mengembangkan jumlah satwa dari proses reproduksi baru.
”Sekarang kami terus menyosialisasikan konsep hidup berdamping dengan alam. Semua pihak harus terlibat. Perusahaan HTI punya kewajiban untuk ikut menjaga satwa dengan menyediakan pangan dan membuat koridor untuk jelajah satwa. Kami berharap petugas hukum juga dapat membantu dengan menertibkan penggunaan senjata berburu. Sementara kejahatan membunuh satwa langka mesti dihukum semakin berat,” kata Suharyono.
Oleh SYAHNAN RANGKUTI
Sumber: Kompas, 9 Mei 2019