Kelimutu yang Terus Berubah

- Editor

Selasa, 17 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Danau Kelimutu yang merupakan kawah Gunung Kelimutu menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik karena warna airnya yang terus berubah tanpa bisa diduga. Terletak sekitar 65 kilometer dari Kota Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tiga kawah dengan warna air yang berbeda-beda, membuat danau ini disebut sebagai Danau “Triwarna” Kelimutu.

Meskipun biasanya tiga kawah Kelimutu menyuguhkan tiga warna air yang berbeda, tetapi dalam perjalanannya selama ini ada masa air ketiga kawah tersebut serupa. Uniknya, walaupun warna air ketiga kawah itu hijau, tetapi tetap dengan gradasi warna hijau yang berbeda-beda. Bahkan pernah terjadi, salah satu kawah Kelimutu menampilkan dua warna, sehingga air di ketiga kawah itu menjadi empat warna.

Biasanya perubahan warna air yang terjadi pada ketiga kawah Kelimutu menyeluruh pada masing-masing kawah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Air di salah satu kawah Danau “Triwarna” Kelimutu, di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur telah berubah warna, Minggu (21/6/2009). Warna air yang berubah itu pada danau yang biasa disebut oleh warga Ende-Lio dengan Tiwu Ata Polo, danau tempat arwah orang-orang jahat (paling kiri atas). Perubahan warna terjadi Desember 2008 lalu, dari warna cokelat tua kehitaman menjadi hijau seperti warna pakaian tentara (army green).

Harian Kompas, 25 Juli 1992 mencatat, sebelumnya warna air ketiga kawah Kelimutu itu hijau, biru dan coklat. Akan tetapi pada 18 Juni 1992 salah satu kawah itu airnya berubah warna menjadi hijau-merah. Perbedaan warna air itu seakan membelah air dalam satu kawah. Setelah tiga hari, warna airnya baru kembali hijau seperti semula.

Biasanya perubahan warna air yang terjadi pada ketiga kawah Kelimutu menyeluruh pada masing-masing kawah. Oleh karena itulah, perubahan warna sebagian air di salah satu kawah Kelimutu tersebut, dicatat sebagai yang pertama kali terjadi.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Tim Jelajah Sepeda Flores-Timor yang diadakan harian Kompas merayakan kemerdekaan Indonesia di Danau Kelimutu, Ende, Nusa Tenggara Timur, Rabu (17/8/2016). Tim Jelajah Sepeda menempuh rute Kelimutu-Maumere.

Danau Kelimutu terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Walaupun terletak di puncak Gunung Kelimutu, jangan dibayangkan Anda harus berjalan mendaki selama berjam-jam untuk menikmati keindahan Kelimutu.

Dari tempat parkir kendaraan, Anda hanya perlu berjalan sekitar satu kilometer melewati jalan setapak dan tangga-tangga yang sudah disemen dengan rapi. Di sisi tangga-tangga itu tersedia rel panjang untuk pengunjung yang memerlukan pegangan tangan.

Perjalanan dari tempat parkir kendaraan ke Danau Kelimutu sekitar 30 menit. Biasanya turis berusaha mencapai Danau Kelimutu sebelum matahari terbit untuk melihat keindahan alam yang maksimal. Pada saat inilah keindahan warna air di ketiga kawah terlihat jelas. Setelah sekitar pukul 08.00-09.00 kabut tebal mulai turun dan ketiga kawah itu bisa tak terlihat lagi.

Kawasan Kelimutu seluas 5.365 hektar dinyatakan sebagai Taman Nasional Kelimutu sejak 26 Februari 1992. Kelimutu merupakan gabungan kata “keli” yang berarti gunung dan “mutu” yang artinya mendidih. Kawasan taman nasional ini secara administratif berada dalam wilayah lima kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona dan Kecamatan Detusoko.

Gemuruh
Sebagai gunung api, Kelimutu beberapa kali bergejolak. Kompas, 16 Oktober 1968 memberitakan, selama beberapa hari Gunung Kelimutu mengeluarkan suara gemuruh. Danau tiga warna pun mengalami perubahan. Danau yang airnya berwarna merah mengeluarkan uap gas, danau yang semula airnya berwarna putih menjadi hijau lumut. Sedangkan danau yang airnya berwarna hijau berubah menjadi putih kecoklatan.–CHRIS PUDJIASTUTI

Sumber: Kompas, 16 Juli 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB